Memahami Tanda Semesta (1)

 

Ketika kita melihat suatu benda pertama kali, apa yang ada di dalam benak pikiran kita? Mungkin hati kita berujar “oh, benda ini ada”. Sama halnya ketika kita melihat barang-barang yang dijual pada sebuah toko, sebagian dari kita melihat benda-benda dan memastikan bahwa apa yang kita cari ada dan tersedia di sana. Ketika barang yang kita lihat nyata ada di dalam toko tersebut, misalnya baju, maka pikiran apa yang pertama kali bergelayut dalam benak? Sebagian besar dari kita mungkin hanya berpikir bagaimana mendapatkannya.

Nah, logika yang mengantarkan kita untuk berkesimpulan bahwa Tuhan itu ‘ada’ sebenarnya lebih mudah dari itu. Kok bisa gitu?

Perhatikan langkahnya, ketika kita melihat baju di sebuah toko, maka secara pasti pikiran kita, baik sadar atau tidak, telah menetapkan beberapa hal berikut; 1) benda (baju) itu ‘ada’. Setelah sampai pada kesimpulan ini, maka segera kita susul dengan pikiran kedua, 2) baju ini pasti ‘ada’ yang membuat, yaitu penjahit. Dengan dua rumusan berpikir ini, maka kita akan dengan mudah sampai pada kesimpulan tentang keberadaan Tuhan, berikut jalannya.

1.        Alam ini nyata ‘ada’

2.      Maka pasti ada yang membuat alam ini

Ketika kita sudah memastikan dalam pikiran, bahwa alam ini nyata ‘ada’, maka kita hanya tinggal masuk pada upaya untuk membuktikan bahwa keberadaan alam ini karena diciptakan oleh suatu hal. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, ‘siapakah yang membuat alam ini menjadi ada?’. Setiap orang muslim akan menjawab, bahwa Allah-lah yang membuat alam ini ada, karena Allah Maha menciptakan. Tapi, kalau kita tanya lebih lanjut, ‘apakah buktinya bahwa memang Allah yang menciptakan alam ini?’. Nah, sampai di sini, hanya orang yang mau belajar dan berpikir tentang Allah saja yang akan bisa menjawab.

Baiklah, lantas dari mana kita akan sampai pada kesimpulan yang memberi bukti bahwa memang Allah yang menciptakan alam ini? Pertama-tama, kita jangan membahas Allah terlebih dahulu, tapi mari kita bahas alam ini. Apakah yang disebut dengan Alam? Mula-mula pertanyaan ini harus kita jawab.

Alam (عالم) terangkai dari tiga akar kata yaitu ‘ain, lam, mim, yang bermakna mengetahui, tanda, ciri-ciri, pengenal, atau alamat. Secara umum, kata ‘alam bermakna sebuah tanda yang merujuk kepada tinanda (yang ditandai). Karena alam ini tanda, maka kita tidak boleh hanya terjebak pada tanda tersebut, kita harus segera mencari tahu, ‘alam ini menjadi tanda untuk apa?’, ‘apa yang ditandai oleh alam ini?’. Sama halnya ketika kita melihat lampu merah di jalan, dengan cepat kita memahami bahwa itu merupakan tanda agar pengguna jalan berhenti sejenak demi ketertiban lalulintas. Dengan demikian, maka tanda ‘lampu merah’ menunjuk pada tinanda ‘berhenti sejenak’ bagi pengguna jalan.

Hubungan antara ‘tanda’ dan ‘tinanda’ ini bersifat niscaya, karena kita tidak bisa menerima kebenaran sebuah ucapan; ‘sebuah tanda tidak menunjukkan apa pun’ yang bahkan kata ‘tidak menunjuk apa pun’ itu juga merupakan tinanda. Pikiran kita tidak akan membenarkan bahwa ‘lampu merah, kuning dan hijau di setiap titik jalan itu’ tidak menunjukkan hal apa pun. Oleh karena itu, ketika kita percaya dengan pasti bahwa setiap ‘tanda’ mengharuskan adanya ‘tinanda’. Dengan demikian, kalau alam ini adalah sebuah hamparan tentang tanda, maka pasti ‘ada’ yang menjadi tinanda. Akal kita tidak akan menerima, kalau ‘tanda’ yang berupa alam semesta ini tidak menunjuk pada ‘tinanda’ apa pun.

Sampai di sini, kita sudah sampai pada satu poin yang memberikan bukti secara akal tentang keharusan adanya sesuatu yang ditandai (tinanda) oleh alam. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang objek ditandai oleh alam? Pertanyaan ini mengharuskan kita- mula-mula memahami dua hal, 1) yaitu fungsi tanda dan 2)sifat dari sesuatu yang menjadi tinanda.

Pertama fungsi dari sebuah tanda. Fungsi tanda salah satunya adalah ‘memberikan gambaran singkat dalam benak kita tentang suatu hal yang berkaitan dengan tinanda, dan dengan memahami tanda itu, kita dapat menyimpulkan atau melakukan sesuatu’. Dengan melihat tanda lampu merah, misalnya, kita memahami bahwa perjalanan harus berhenti sejenak, dan kita melaksanakan itu. Meski pun tidak seorang pun yang menyuruh kita berhenti, tapi kekuatan tanda itu telah membuat kita mengerti bahwa berhenti itu merupakan keharusan jika ingin berjalan dengan selamat dan lancar.

Kedua, segala sesuatu yang memiliki tanda, menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak mungkin bisa dipahami secara langsung oleh karena beberapa sebab, misalnya kompleksitasnya, keunikannya atau ketidakterjangkauannya. Dengan demikian, sebuah tinanda pasti sesuatu yang tinggi, akal manusia tidak akan mampu menangkap secara sistematis dan langsung kecuali melalui media tanda tersebut. Tanda ini berhasil merangkum sekian hal yang rumit, unik dan kompleks itu ke dalam suatu hal yang mudah dicerna oleh akal. Lampu merah yang menjadi tanda berhenti digunakan untuk menggambarkan beberapa hal yang kompleks tentang keselamatan dan ketertiban dalam berkendaraan. ‘Selamat’ dan ‘tertib’ adalah sebuah ide yang kompleks tentang menghindari bahaya lakalantas dan juga menertibkan pengendara. Tapi, dengan adanya lampu merah, maka Pak polisi tidak perlu berlama-lama berdiri dipinggir jalan hanya untuk mengatur setiap gerak kendaraan yang mengisi ruas jalan.

Dari dua hal ini, maka kita dapat menggambarkan kira-kira apa yang menjadi tinanda dari alam, hal ini setidaknya bisa kita pahami dari ungkapan berikut ‘alam ingin membenakkan sesuatu dalam pikiran kita tentang sebuah tinanda yang unik dan kompleks di baliknya’. Sampai di sini, kita rehat sejenak, seruput lagi kopi dan bersantailah! Karena perjalanan untuk sampai pada kesimpulan bahwa ‘Allah pencipta alam semesta’ masih panjang.

Baiklah, setelah kita sukses mendudukkan tentang fungsi tanda dan ciri utama tinanda, sekarang saatnya kita mendudukkan ‘alam’ sebagai sebuah ‘tanda’. Syarat suatu hal disebut tanda adalah; ‘suatu hal yang terjadi berulang-ulang dan teratur.’ Misalnya, adanya mendung menjadi tanda –secara kebiasaan- akan adanya hujan, adanya asap menjadi tanda –secara kebiasaan- akan adanya api. Adanya suara –secara niscaya- menjadi tanda bagi adanya sumber suara. Mendung, asap atau suara adalah tanda bagi sebuah hal yang menjadi tinandanya yakni hujan, api atau sumber suara. Keberulangan dan keteraturan antara tanda dan tinanda itulah yang nantinya menjadi hukum kebiasaan (hukum adah) atau hukum rasional (hukum aqal) dengan perbedaan masing-masing keduanya.

Alam diposisikan sebagai sebuah tanda oleh karena ia memiliki hukum-hukum yang menunjukkan adanya keteraturan dan perubahan terus menerus. Keteraturan misalnya tentang siang dan malam yang tak pernah tertukar, fungsi matahari dan rembulan yang tak berubah, keserasian yang saling melengkapi segala hal yang ada di dalamnya. Sedangkan perubahan; seperti adanya gerak dan diam bagi benda-benda yang ada di alam semesta. Inilah hukum alam semesta yang membentuk sebuah gugusan tanda. Selanjutnya, adanya ‘perubahan’ dan ‘keteraturan’ ini menandakan apa? Kalau lalulintas yang ada di sisi jalan itu senantiasa berubah secara teratur, lalu apa yang kita tangkap dari kejadian itu? Jawabannya adalah, kita yakin bahwa ada sesuatu yang mengubah dan mengaturnya. Demikian pula dengan alam semesta, kita bisa pula menjawab dengan yakin bahwa alam semesta dengan hukum perubahan dan keteraturannya itu juga meniscayakan adanya sesuatu yang merubah dan mengatur. Akal kita tidak bisa menerima kalau ada sebuah ‘perubahan’ atau ‘keteraturan’ tanpa ada yang mengubah atau mengaturnya.

Kita sudah sampai pada satu kesimpulan secara rasional, bahwa alam ini menjadi tanda dari adanya sesuatu pengatur dan perubah di atasnya yang sangat unik dan kompleks. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah yang bersifat pengubah dan pengatur itu? Orang ateis yang tidak rasional –karena tidak menggunakan akalnya- itu seringkali mengatakan, bahwa alam semesta ini teratur dengan sendirinya, misalnya tentang pergantian siang dan malam, bagi mereka hanya sekadar sistem alam yang bekerja dengan prinsip-prinsip sains belaka. Dengan ‘mendewakan’ sains, mereka telah menolak satu kesimpulan rasional yang sangat fundamental dari akal, yakni ‘segala yang baharu, pasti ada yang memperbaharui’ atau ‘segala yang berubah pasti ada yang merubah’.

Komentar