Ketika
kita melihat suatu benda pertama kali, apa yang ada di dalam benak pikiran
kita? Mungkin hati kita berujar “oh, benda ini ada”. Sama halnya ketika kita
melihat barang-barang yang dijual pada sebuah toko, sebagian dari kita melihat
benda-benda dan memastikan bahwa apa yang kita cari ada dan tersedia di sana.
Ketika barang yang kita lihat nyata ada di dalam toko tersebut, misalnya baju,
maka pikiran apa yang pertama kali bergelayut dalam benak? Sebagian besar dari
kita mungkin hanya berpikir bagaimana mendapatkannya.
Nah,
logika yang mengantarkan kita untuk berkesimpulan bahwa Tuhan itu ‘ada’
sebenarnya lebih mudah dari itu. Kok bisa gitu?
Perhatikan
langkahnya, ketika kita melihat baju di sebuah toko, maka secara pasti pikiran
kita, baik sadar atau tidak, telah menetapkan beberapa hal berikut; 1) benda
(baju) itu ‘ada’. Setelah sampai pada kesimpulan ini, maka segera kita susul
dengan pikiran kedua, 2) baju ini pasti ‘ada’ yang membuat, yaitu penjahit.
Dengan dua rumusan berpikir ini, maka kita akan dengan mudah sampai pada
kesimpulan tentang keberadaan Tuhan, berikut jalannya.
1.
Alam ini nyata ‘ada’
2.
Maka pasti ada yang membuat alam ini
Ketika
kita sudah memastikan dalam pikiran, bahwa alam ini nyata ‘ada’, maka kita
hanya tinggal masuk pada upaya untuk membuktikan bahwa keberadaan alam ini
karena diciptakan oleh suatu hal. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, ‘siapakah
yang membuat alam ini menjadi ada?’. Setiap orang muslim akan menjawab, bahwa
Allah-lah yang membuat alam ini ada, karena Allah Maha menciptakan. Tapi, kalau
kita tanya lebih lanjut, ‘apakah buktinya bahwa memang Allah yang menciptakan
alam ini?’. Nah, sampai di sini, hanya orang yang mau belajar dan berpikir
tentang Allah saja yang akan bisa menjawab.
Baiklah,
lantas dari mana kita akan sampai pada kesimpulan yang memberi bukti bahwa
memang Allah yang menciptakan alam ini? Pertama-tama, kita jangan membahas
Allah terlebih dahulu, tapi mari kita bahas alam ini. Apakah yang disebut
dengan Alam? Mula-mula pertanyaan ini harus kita jawab.
Alam (عالم) terangkai dari tiga akar kata yaitu ‘ain, lam, mim,
yang bermakna mengetahui, tanda, ciri-ciri, pengenal, atau alamat. Secara umum,
kata ‘alam bermakna sebuah tanda yang merujuk kepada tinanda (yang
ditandai). Karena alam ini tanda, maka kita tidak boleh hanya terjebak pada
tanda tersebut, kita harus segera mencari tahu, ‘alam ini menjadi tanda untuk
apa?’, ‘apa yang ditandai oleh alam ini?’. Sama halnya ketika kita melihat
lampu merah di jalan, dengan cepat kita memahami bahwa itu merupakan tanda agar
pengguna jalan berhenti sejenak demi ketertiban lalulintas. Dengan demikian,
maka tanda ‘lampu merah’ menunjuk pada tinanda ‘berhenti sejenak’ bagi pengguna
jalan.
Hubungan antara ‘tanda’ dan ‘tinanda’
ini bersifat niscaya, karena kita tidak bisa menerima kebenaran sebuah ucapan;
‘sebuah tanda tidak menunjukkan apa pun’ yang bahkan kata ‘tidak menunjuk
apa pun’ itu juga merupakan tinanda. Pikiran kita tidak akan membenarkan
bahwa ‘lampu merah, kuning dan hijau di setiap titik jalan itu’ tidak menunjukkan
hal apa pun. Oleh karena itu, ketika kita percaya dengan pasti bahwa setiap
‘tanda’ mengharuskan adanya ‘tinanda’. Dengan demikian, kalau alam ini adalah
sebuah hamparan tentang tanda, maka pasti ‘ada’ yang menjadi tinanda. Akal kita
tidak akan menerima, kalau ‘tanda’ yang berupa alam semesta ini tidak menunjuk
pada ‘tinanda’ apa pun.
Sampai di sini, kita sudah sampai pada
satu poin yang memberikan bukti secara akal tentang keharusan adanya sesuatu
yang ditandai (tinanda) oleh alam. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang objek
ditandai oleh alam? Pertanyaan ini mengharuskan kita- mula-mula memahami dua
hal, 1) yaitu fungsi tanda dan 2)sifat dari sesuatu yang menjadi tinanda.
Pertama fungsi dari sebuah
tanda. Fungsi tanda salah satunya adalah ‘memberikan gambaran singkat dalam
benak kita tentang suatu hal yang berkaitan dengan tinanda, dan dengan memahami
tanda itu, kita dapat menyimpulkan atau melakukan sesuatu’. Dengan melihat
tanda lampu merah, misalnya, kita memahami bahwa perjalanan harus berhenti
sejenak, dan kita melaksanakan itu. Meski pun tidak seorang pun yang menyuruh
kita berhenti, tapi kekuatan tanda itu telah membuat kita mengerti bahwa berhenti
itu merupakan keharusan jika ingin berjalan dengan selamat dan lancar.
Kedua, segala sesuatu yang
memiliki tanda, menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak mungkin bisa dipahami
secara langsung oleh karena beberapa sebab, misalnya kompleksitasnya,
keunikannya atau ketidakterjangkauannya. Dengan demikian, sebuah tinanda pasti
sesuatu yang tinggi, akal manusia tidak akan mampu menangkap secara sistematis
dan langsung kecuali melalui media tanda tersebut. Tanda ini berhasil merangkum
sekian hal yang rumit, unik dan kompleks itu ke dalam suatu hal yang mudah
dicerna oleh akal. Lampu merah yang menjadi tanda berhenti digunakan untuk
menggambarkan beberapa hal yang kompleks tentang keselamatan dan ketertiban
dalam berkendaraan. ‘Selamat’ dan ‘tertib’ adalah sebuah ide yang kompleks
tentang menghindari bahaya lakalantas dan juga menertibkan pengendara. Tapi,
dengan adanya lampu merah, maka Pak polisi tidak perlu berlama-lama berdiri
dipinggir jalan hanya untuk mengatur setiap gerak kendaraan yang mengisi ruas
jalan.
Dari dua hal ini, maka kita dapat
menggambarkan kira-kira apa yang menjadi tinanda dari alam, hal ini setidaknya
bisa kita pahami dari ungkapan berikut ‘alam ingin membenakkan sesuatu dalam
pikiran kita tentang sebuah tinanda yang unik dan kompleks di baliknya’. Sampai
di sini, kita rehat sejenak, seruput lagi kopi dan bersantailah! Karena
perjalanan untuk sampai pada kesimpulan bahwa ‘Allah pencipta alam semesta’
masih panjang.
Baiklah, setelah kita sukses mendudukkan
tentang fungsi tanda dan ciri utama tinanda, sekarang saatnya kita mendudukkan ‘alam’
sebagai sebuah ‘tanda’. Syarat suatu hal disebut tanda adalah; ‘suatu hal yang
terjadi berulang-ulang dan teratur.’ Misalnya, adanya mendung menjadi tanda
–secara kebiasaan- akan adanya hujan, adanya asap menjadi tanda –secara
kebiasaan- akan adanya api. Adanya suara –secara niscaya- menjadi tanda bagi
adanya sumber suara. Mendung, asap atau suara adalah tanda bagi sebuah hal yang
menjadi tinandanya yakni hujan, api atau sumber suara. Keberulangan dan
keteraturan antara tanda dan tinanda itulah yang nantinya menjadi hukum kebiasaan
(hukum adah) atau hukum rasional (hukum aqal) dengan perbedaan
masing-masing keduanya.
Alam diposisikan sebagai sebuah tanda
oleh karena ia memiliki hukum-hukum yang menunjukkan adanya keteraturan dan
perubahan terus menerus. Keteraturan misalnya tentang siang dan malam yang tak
pernah tertukar, fungsi matahari dan rembulan yang tak berubah, keserasian yang
saling melengkapi segala hal yang ada di dalamnya. Sedangkan perubahan; seperti
adanya gerak dan diam bagi benda-benda yang ada di alam semesta. Inilah hukum
alam semesta yang membentuk sebuah gugusan tanda. Selanjutnya, adanya
‘perubahan’ dan ‘keteraturan’ ini menandakan apa? Kalau lalulintas yang ada di
sisi jalan itu senantiasa berubah secara teratur, lalu apa yang kita tangkap
dari kejadian itu? Jawabannya adalah, kita yakin bahwa ada sesuatu yang
mengubah dan mengaturnya. Demikian pula dengan alam semesta, kita bisa pula
menjawab dengan yakin bahwa alam semesta dengan hukum perubahan dan
keteraturannya itu juga meniscayakan adanya sesuatu yang merubah dan mengatur. Akal
kita tidak bisa menerima kalau ada sebuah ‘perubahan’ atau ‘keteraturan’ tanpa
ada yang mengubah atau mengaturnya.
Kita sudah sampai pada satu kesimpulan
secara rasional, bahwa alam ini menjadi tanda dari adanya sesuatu pengatur dan
perubah di atasnya yang sangat unik dan kompleks. Pertanyaan selanjutnya adalah,
siapakah yang bersifat pengubah dan pengatur itu? Orang ateis yang tidak
rasional –karena tidak menggunakan akalnya- itu seringkali mengatakan, bahwa
alam semesta ini teratur dengan sendirinya, misalnya tentang pergantian siang
dan malam, bagi mereka hanya sekadar sistem alam yang bekerja dengan
prinsip-prinsip sains belaka. Dengan ‘mendewakan’ sains, mereka telah menolak
satu kesimpulan rasional yang sangat fundamental dari akal, yakni ‘segala yang
baharu, pasti ada yang memperbaharui’ atau ‘segala yang berubah pasti ada yang
merubah’.
Komentar
Posting Komentar