Konsep Keesaan dalam Sila Pertama (Perspektif Picture Theori Wittgenstein)

 


Oleh: Latifatun Nafisah (20205032029)

Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut ideologi berketuhanan, hal ini terbukti dengan sila pertama dalam Pancasila sebagai pilar negara yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan sila pertama dari Pancasila adalah disarikan dari hakekat kehidupan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah bangsa yang religius apapun agamanya, apapun kepercayaannya semua mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah realitas dalam kehidupan bermasyarakat dengan keragaman agama dan kepercayaan tapi masih tetap bisa hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati satu sama lain, bahkan bisa berhasil secara bersama-sama mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah ini bukan suatu karunia kehidupan yang indah bagi bangsa Indonesia?

Diterima tidaknya, pancasila tetap sebagai landasan dasar negara, hal ini membawa konsekuensi logis bahwa nilai pancasila harus dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi pengaturan dan penyelenggaraan suatu negara. Hal ini diusahakan yaitu dengan menjabarkan nilai-nilai pancasila tersebut ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedang pengakuan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengharuskan kita sebagai bangsa untuk mentransformasikan nilai-nilai pancasila itu ke dalam sikap dan perilaku nyata baik dalam perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya transformasi nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan nyata, maka pancasila hanya sekedar nama tanpa makna, pancasila hanya sebagai hiasan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945.

Seorang filsuf bernama Wittgenstein berusaha untuk mengembalikan hakikat bahasa. Baginya, bahasa bukan merupakan sarana propaganda penggerak masa, melainkan suatu kejelasan. Penggunaan bahasa logika yang sempurna, sebagaimana dijelaskan mengandaikan pemakaian alat-alat bahasa (kata, kalimat) secara tepat, sehingga setiap kata mempunyai suatu fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Suatu bahasa logika yang sempurna mengandung arti sintaksis sehingga mencegah suatu ungkapan menjadi tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas. Oleh karena itu, filsafat bagi Wittgenstein merupakan sarana untuk menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dikatakan. Maka dari itu filsafat harus mengandung kejelasan.

Upaya yang dilakukan oleh Wittgenstein untuk membuat jelas suatu ungkapan ditentukan melalui kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Pandangan ini lebih dikenal dengan teori gambar (Picture Theory) atau seringkali disebut sebagai teori tentang makna. Teori gambar mengungkapkan bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada penggambaran suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.

Fungsi teori gambar sebagaimana dijelaskan oleh G.H. Von Wright terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan unsur-unsur dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita dapat saja membalik arti kiasannya dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi. Struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.

Sebagai bangsa yang bersatu keberadaan agama di Indonesia yang plural, menghendaki pemahaman Pancasila yang baik, sehingga terhindar dari gesekan dan konflik. Potensi konflik yang sangat rentan adalah perbedaan keyakinan agama. Salah satu langkah untuk meminimalisir petensi konflik tersebut adalah melalui jalur pemahaman nilai pancasila, terutama pada sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengingat Indonesia memiliki keragaman agama dan budaya, pancasila adalah jalan kunci bagi terbangunnya stabilitas nasional. Adapun munculnya aksi teror dan radikalisme agama adalah karena mulai pudar dan rapuhnya ideologi pancasila. Untuk itu pancasila harus dikuatkan sebagai mentalitas kehidupan berbangsa. Termasuk dalam kehidupan beragama, pancasila harus menjadi landasan teologis, sehingga kehidupan umat beragama dapat terwujud dengan tidak ada saling klaim tuduh salah benar, dan sebagainya.

Ketuhanan dalam pancasila menjadi faktor transcendental, unsur pembentuk ilahi dari prinsip kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Berarti ketuhanan dalam pancasila sudah berimplikasikan pluralism dan pluralitas. Ketuhanan dalam pancasila bukanlah teori ketuhanan, melainkan merupakan bagian hakiki perjuangan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa nation. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara menjadi acuan nilai bagi kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama. Prinsi-prinsip pancasila, yakni berketuhanan mesti menjadi visi bersama bagi tiap sendi kehidupan berbangsa. Melalui nilai-nilai tersebut dengan mudah akan terjalin kehidupan harmoni agama, politik, sosial, budaya, dan juga ekonomi.

Wittgenstein melihat bahwa filsafat tidak dapat dipahami oleh masyarakat pada umumnya sehingga, menurut Wittgenstein, ketidaktahuan masyarakat terhadap pemikiran para filsuf terletak pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh para filsuf itu sendiri. Mereka tidak mengerti penggunaan logika bahasa dalam berfilsafat. Karena itu, filsafat bagi Wittgenstein tidak sekadar mengandung pembahasan mengenai suatu persoalan, tetapi juga mengenai kejelasan.

Komentar