kEBUMIKAN DIRIMU

 

Guru kebijaksanaan asal Alexandria, yakni Ibnu Atha’illah al-Sakandari (w. 1309 M) dikenal dengan sebuah karyanya yang tak lekang oleh waktu, yakni al-Hikam. Sebuah kitab yang berisi aforisme-aforisme penting bagi seorang yang ingin menempuh jalan menuju Allah (Salik). Ada sekitar 264 aforisme kebijaksanaan yang ditulis oleh Ibnu Atha’illah, dan semuanya masih terus dikaji oleh orang-orang yang ingin menegak lautan spiritualitas dengan mendalam.

Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abu al-Fadl Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Atha’illah al-Sakandari. Lahir di Mesir pada pertengahan abad ke-7 H/ atau abad ke-13 Masehi, ia wafat pada tahun 709 H/ 1309 M. Secara nasab, Ibnu Atha’illah besar dari keluarga terdidik dalam bidang agama yang mengikuti mazhab Maliki. Ibnu Atha’illah adalah murid dari Abu al-Abbas al-Mursi (w. 686 H) seorang sufi dan murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656 H), pendiri tarekat Syadziliyah.

Selain al-Hikam, Al-Sakandari sebenarnya memiliki beberapa seperti Latha’if al-Minan, Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, dan beberapa karya lainnya. Hanya saja, kitab al-Hikam adalah karyanya yang paling masyhur dan banyak dikaji sampai hari ini. Al-Hikam dikenal dengan muatan nasihatnya yang mendalam, logis serta begitu kuat menghunjam ke dasar jiwa. Sehingga wajar kalau banyak orang yang tergila-gila dengan al-Hikam, salah satunya adalah Gus Dur.

Membaca al-Hikam, sebenarnya memiliki beberapa level, bagi seorang yang sudah menapak jalan spiritual, maka aforisme-aforisme itu memiliki pesan yang sarat dengan nuansa sufistik, yang mana hal tersebut tidak akan dipahami kecuali oleh mereka yang merasakannya. Sedangkan bagi seorang pembaca biasanya, nasehat-nasehat al-Hikam sangat berguna terutama untuk menalar kehadiran Tuhan dalam setiap penggal kehidupan. Di antara aforisme al-Hikam yang sangat kuat, -dan Gus Dur juga menyukainya- adalah aforisme ke-sebelas sebagai berikut:

إدفِنْ وُجودَكَ في أرض الخُمولِ فما نَبَتَ ممّا لَم يُدْفَنْ لا يتمُّ نَتاجُهُ

“Tanamlah eksistensimu di tanah yang tidak dikenal, karena sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam, tak akan berbuah dengan sempurna”.

Hikmah ini mengajarkan tentang sebuah filosofi ‘menanam’ yang sangat baik. Ibnu Atha’illah mengajarkan tentang rumus umum bagi setiap orang yang menghasrati kesempurnaan hasil dari sebuah proses. Rumus itu diserap dari ketentuan Allah yang realitasnya sangat dekat dengan manusia, yakni tumbuhan. Sebuah pohon yang berdiri kokoh, tak rubuh diterjang angin, serta tak runtuh diguyur air, oleh karena struktur batangnya yang tegap dan juga akarnya yang kuat mencengkram tanah.

Seorang yang ingin meraih sebuah kesuksesan, dalam bentuk dan bidang apapun, maka mereka harus mengamalkan falsafah menanam sebagaimana diajarkan oleh Ibnu Atha’illah di atas. Langkah pertama adalah ‘mengebumikan eksistensi diri’. Hal ini berarti ‘eksistensi’ ibarat sebuah benih yang harus ditanam. Kata wujud yang digunakan oleh Ibnu Atha’illah berarti totalitas dari seorang manusia.

Dalam konteks seorang pelajar, penting sekali bagi mereka untuk memendam eksistensi dalam sebuah ‘tanah tak dikenal’, dalam arti menghindari sinar ‘lampu sorot’ yang kerap melenakan. Dalam fase ‘pemendaman’ ini, seorang berada di bawah ‘tanah’ yang gelap, basah, sempit dan tentu saja kotor. Boleh jadi tak seorang pun melihat benih itu, hanya gerak takdir yang bisa membuat benih itu bergerak. Dengan air kemudian benih itu bergerak, sedikit demi sedikit membelah diri, hingga tumbuhlah tunas dan akhirnya secara perlahan tampak dipermukaan.

Prinsip ‘membenamkan jati diri’ tidak hanya berlaku bagi seorang pencari ilmu yang ingin meraih kesuksesan, tapi falsafah ini juga berlaku bagi setiap mereka yang ingin mencapai kematangan dalam hal apapun. Dalam karir misalnya, mereka yang ingin mencapai kematangan, harus melewati fase ‘pembenaman’ terlebih dahulu, memulai dari sebuah proses yang paling mendasar, terus belajar untuk berkembang hingga sedikit demi sedikit membelah diri, memunculkan tunas sebelum akhirnya berkembang menjadi sebuah batang yang terus menguat seiring waktu.

Penggal akhir dari aforisme di atas menegaskan tentang ketidaksempurnaan sesuatu yang tidak pernah ditanam dengan sempurna. Seorang pelajar misalnya, yang tak pernah membenam eksistensi dirinya di ‘tanah yang tak dikenal’, tentu saja tak akan memperolehkesempurnaan dalam pencariannya. Kesempurnaan sebuah hasil selalu bergantung pada bagaimana sebuah proses dimulai dan dilakukan.

Dengan pola menanam yang baik atas jati diri, maka seorang akan mencapai suatu kematangan tertentu dalam segala hal yang ingin dicapai. Demikianlah Ibnu Atha’illah mengibaratkan jalan sebuah proses dengan hukum Allah yang berlaku bagi tumbuhan. Kematangan sangat diperlukan dalam segala hal, khususnya dalam perkara yang punya kaitan dengan ilmu dan agama. Beberapa kekacauan dalam banyak aspek kehidupan selalu disebabkan oleh ketidakmatangan atas suatu hal.

 

Komentar