Derrida: Runtuhnya Logosentrisme Dalam Tafsir

Derrida, seorang filsuf asal Prancis yang namanya selalu bersanding erat dengan dekonstruksionisme. Sebuah filsafat yang mereduksi realitas ke dalam serangkain teks yang otonom dan terbuka. Filsuf yang terinspirasi dari Heidegger ini menubuhkan seluruh gagasannya untuk memperteguh bangunan filsafat yang hampir seluruh perjalanan sejarahnya telah kehabisan tenaga untuk berlepas diri dari logosentrisme. Term terakhir ini adalah titik kumpul seluruh varian filsafat Barat yang nanti akan dibongkar (destruksi) oleh Heidegger, ketika ia menulis dalam karyanya Sein un Zeit. Derrida menyimpulkan, bahwa filsafat Barat terlalu berambisi untuk mencari satu kebenaran utuh yang tak retak, darinya world view Barat terbentuk, narasi-narasi besar modernisme dibangun.

Untuk memahami dekonstruksi sebenarnya tidaklah sulit. Oleh karena term ini tidak merujuk kepada satu metode atau teori yang mengharuskan tunduk dan patuh ke dalam satu dari sekian rambu-rambu berpikir yang padu. Dekonstruksi adalah sebuah upaya meruntuhkan kemapanan untuk membangun sebuah bentuk baru dari puing-puing bangunan yang telah hancur sebelumnya. Alih-alih untuk membangun sebuah bangunan baru yang lebih kuat dan mapan, dekonstruksi justru memilih puing-puing itu, menghimpun secara acak untuk dirubuhkan lagi. Demikian seterusnya, dekonstruksi adalah membangun dan menghancukan terus menerus segala macam tatanan.

Derrida mula-mula melakukan dekonstruksi untuk menemukan kerancuan dan kontradiksi internal yang selalu terkandung dalam segala kemapanan, tak terkecuali dalam filsafat yang merupakan titik berangkat Derrida. Segala hal yang mapan selalu saja mengandung duri-duri yang tumbuh dari dalam dan menusuk, hingga akhirnya, sebuah kemapanan runtuh bukan karena dihancurkan oleh pihak luar, tapi mekanisme internal di dalam yang selalu meniscayakan lahirnya kontradiksi telah mencapai titik kulminasi tertentu dari sebuah perlawanan.

Demikian Derrida menemukan duri-duri tajam dalam filsafat Barat sepanjang sejarahnya dalam mencari kebenaran. Dengan membaca secara saksama teks-teks kunci filsafat, kemudian menginterpretasikannya, ia menemukan kesimpulan tentang problem metafisika kehadiran yang selama ini menjadi impian filsafat Barat. Ketika metafisika kehadiran ini meneguhkan eksistensinya di alam pikiran filosofis, di sisi yang lain, duri metafisika tanda justru diabaikan, disubordinasi dan seolah terbaca. Dalam bahasa yang lain, ketika buku ditulis, maka teks menjadi terkunci, otoritas pengarang menjadi penentu makna, kebenaran diutuhkan, dan kesalahan dienyahkan.

Derrida menyerang logosentrisme dengan menyasar mula-mula fonosentrisme Saussure yang memberi prioritas atas bunyi dalam tanda, seraya mengenyampingkan teks dalam proses penandaan. Teks bagi Derrida dijadikan sebagai satu-satunya jalan untuk menumbangkan fonosentrisme dengan sebuah kata nirmakna yang dijadikan sebagai alat olok-olok bagi strukturalisme; Differance. Dengan kata ini, Derrida memikirkan sekurang-kurangnya tiga hal, pertama adalah fakta bahwa bunyi tidak bisa mewakili teks. Huruf ‘a’ dalam kata defferance tidak ada perbedaan dalam bunyi dengan tulisan difference. Kedua adalah momen bungkam, di mana bunyi tak bisa menjadi hakim bagi teks, karena teks itu sendiri bungkam. Ketiga adalah perbedaan dan penangguhan yang terus menerus hadir dalam setiap makna di balik teks.

Ini adalah sebuah keniscayaan, di mana narasi modernisme yang bermimpi untuk membangun sebuah persepsi tunggal tentang dunia harus terganjal beragam vulnerabilitas yang menyertainya. Posmodernisme adalah duri-duri tajam yang ketika modernisme menginjakkan kakinya pertama kali untuk melangkah, seiring itu pula posmodernisme menyertai, menggentayangi dan menunggu waktu untuk menyuguhkan ‘anggur’ kematian baginya. Ketika modernisme membangun narasi tentang standar-standar ilmiah sebuah tulisan, memberikan kriteria dan berbagai macam kategori, duri posmodernisme menyumbul, mengintai, mengelilingi dan menjadi benalu bagi standar-standar itu. Hingga satu momen yang tepat, modernisme kian kropos bak batang pohon tua yang telah lama digrogoti lumut, benalu dan mulai kehilangan serat-serat aktif yang menguatkannya. Di ujung kerapuhan, seiring detik keruntuhannya, posmodernisme muncul dan membawa tunas-tunas baru yang sama sekali berbeda.

----------------------

Tafsir adalah palagan paling luas bagi teks dan makna, di mana berbagai kekuatan bertarung untuk merebut kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah sesuatu yang berada di luar teks dan didamba kehadirannya. Sebuah kebenaran yang tunggal dan mutlak, sepanjang sejarah upaya manusia untuk memahami, kehadiran makna teks yang transenden telah mengenyampingkan vitalitas teks yang nyata terus meminta makna yang hampir tiada habisnya. Akibatnya dari kebenaran yang terus ingin dihadirkan itu, jalan menuju kebenaran absolut menjadi begitu sempit, sesak dan dipenuhi dengan pertikaian. Di sinilah asal mula truth claim (klaim kebenaran) dimulai, ketika setiap kelompok berusaha untuk mematenkan segala macam kebenaran tafsir mereka atas satu hal. Tarik menarik pun di mulai, yang berbeda adalah musuh yang harus dimusnahkan karena menjadi batu ganjal bagi orisinalitas metafisik kebenaran yang dirindukan.

Tak terkecuali dalam tradisi tafsir al-Quran. Ruang tafsir atas kitab suci umat Islam ini selalu terbuka sejak lama. Penafsiran adalah ruang paling besar perkembangannya dalam studi al-Quran. Sejak lama, penafsiran atas al-Quran terus beranak-pinak, semuanya mendamba sebuah kebenaran yang diidealkan di alam sana nan transenden. Kebenaran ‘di sana nun jauh’ menjadikan produk tafsir al-Quran ke ambang eksklusifitas. Kebenaran yang metafisik dan dinginkan hadirnya telah mencerabut aspek paling penting dari al-Quran itu sendiri, yakni tekstualitasnya. Ketika al-Quran memaklumatkan diri sebagai sebuah sabda dari Tuhan, nama yang mula-mula dipergunakan al-Quran itu hal itu adalah “al-Kitab” yang berarti ‘tulisan’. Unsur tekstual al-Quran adalah yang paling pokok dan primer, tanpa ada teks, tak ada makna, dan tak ada apa-apa.

Derrida dengan dekonstruksi sebagai proyek berpikirnya berusaha untuk mengemansipasi teks sebagai basis dari segala sesuatu. Sebagai sebuah pemangku dari makna, teks adalah serangkain wacana yang terus membelum. Metafisika kehadiran adalah sesuatu yang tak benar-benar bisa merampas teks dari tekstualitasnya. Alih-alih merampas, metafisika kehadiran itu justru mengalami nasib malang dengan ketertolakannya secara terus menerus oleh teks itu, teks selalu menunda dan meminta makna lain yang berbeda. Dalam kondisi ini, sekuat apa metafisika kehadiran mampu bertahan? Dalam sinisme yang sama, kita bisa bertanya, sekuat apakah ekslusifitas penafsiran al-Quran dapat bertahan dari gempuran tekstualitas al-Quran itu sendiri?

Tentu saja masih kuat ingatan kita tentang peristiwa al-Maidah 51 yang menghabiskan separuh tenaga kita untuk mereportase masalah tersebut. Sekelompok orang –dengan segala jerih payah- telah berjuang untuk menunggalkan penafsiran terkait kata awliya’ yang diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’, hal ini memberikan legitimasi bagi pilihan politik mereka untuk meruntuhkan satu calon dan kemudian mengunggulkan calon yang lain. Di sisi yang berbeda, kata ‘awliya’ justru diberi makna yang berbeda seperti teman setia, koalisi dan lain-lain, dengan tujuan menunjukkan bahwa makna dari kalimat ini tidaklah tunggal, ia musytarak (polisemi). Sehingga maknanya tidak bisa diputuskan. Lebih jauh, para pegiat hermeneutika al-Quran jutsru berusaha membawa ayat ini ke dalam satu konteks politik spesifik pada masa turunnya, sehingga alih-alih teks ini akan berbicara untuk hari ini, justru hanya ditangkap maghza (maqshad) atau signifikansinya yang filosofis saja, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa mereka juga tidak bisa keluar dari kurung logosentrisme.

 

Komentar