Posmodernisme membawa dunia kepada sebuah
babakan sejarah dari grand narrative modernisme yang menjejak dalam
realitas pedamba keajegan dalam seluruh kehidupan manusia, menuju dunia tanpa
pusat dan tanpa narasi apapun yang tunggal. Modernisme menawarkan satu ide
tentang kebenaran tunggal yang memaksa setiap manusia untuk berdesak-desakan
mencapainya. Krisis dalam berbagai sektor kehidupan menjadi tidak terhindarkan,
kebenaran menyisakan lubang hitam yang kian menganga, alih-alih menyelamatkan
umat manusia, mereka justru terjerumus dalam liang kegelapan tak bertepi. Jalan
sempit modernisme menyisakan pertumpahan darah di antara setapak yang dijejali
caci maki.
Kelahiran posmodernisme ditandai dengan
melebarnya jalan-jalan menuju kebenaran, kemunculan lubang-lubang kecil di
kanan-kiri lubang besar modernisme yang kian sepi. Posmodernisme adalah kisah
tentang runtuhnya narasi-narasi besar yang menjadi sentral dan poros dalam
sejarah peradaban manusia. Ia adalah anak kandung modernisme yang salah satu
wataknya adalah dekonstruksionis. Kita tidak bisa lepas dari nama Derrida dalam
hal ini. Seorang filsuf posmodernisme asal Prancis yang oleh karena pengaruh
pemikirannya di Amerika, ia dijuluki sebagai Derridium yang merupakan
plesetan dari dellidium.
Dekonstruksi adalah sebuah nalar tentang
membaca, yang bertujuan memahami dan menafsirkan segala apa yang membentang di
hadapannya. Dekonstruksi mempertanyakan segala macam yang tampak di antara
ribuan penampakan yang-lain yang mengelilinginya. Ia menyangsikan secara
berani, menyanggah dengan menghadirkan yang lain sebagai pembanding sekaligus
peruntuh segala klaim yang dimiliki oleh sebuah realita. Sebuah teks dilucuti
dari otoritas pengarangnya, segala realitas dibiarkan datang kemudian pergi
dengan dan tanpa kehadiran jejaknya. Segala kebenaran dibiarkan menyesak dan
membumbung di tengah kehadiran-kehadiran baru yang tak berakhir. Dekonstruksi
adalah nalar yang meruntuhkan segala klaim totalitas, parsialitas dan
singularitas, menuju sebuah kemajemukan yang tak terhindari.
Kita hidup dalam bentangan teks yang terus
beranak-pinak. Reproduksi teks yang terus menerus mengisi gugus sejarah panjang
tentang apa yang kita pikirkan dan yang tak kita pikirkan. Dekonstruksionisme
Derrida membawa sebuah proyek besar untuk memahami bentangan teks tak
berkesudahan itu, salah satunya adalah menjadikannya sebagai teks yang terbuka
(the openning of text) sebagai penanda tentang berakhirnya segala macam
otoritas yang mengelilinginya, hal ini meniscayakan kematian sang pengarah (the
died of the author), konsekuensi dari hal tersebut adalah berakhirnya
sejarah buku (the end of the book). Tiga hal ini menandai runtuhnya
segala macam tindakan yang hendak merebut otoritas kebenaran dari langit-langit
teks, serta melibas segala macam nalar yang hendak menyeragamkan berbagai
perbedaan yang terus tumbuh dan tak terhindari.
Nalar dekonstruksi adalah sebuah nalar
kompleks yang bisa kita gunakan dalam membaca teks yang hadir. Sebuah logika
interpretasi yang memungkinkan setiap produksi makna untuk terkoneksi dan
berdialog dengan beragam makna di kanan-kirinya. Merajut benang-benang kusut
sebagai cara untuk terus survive di tengah keberagaman yang tak
terhindari. Dekonstruksi adalah puncak dari perenungan dan pencarian manusia
akan hakikat makna yang tak kunjung usai diperdebatkan. Alih-alih berusaha
untuk mencari makna yang final, Derrida dengan proyek dekonstruksinya justru mengajak
manusia untuk terus membaca teks sembari menerima segala macam pemaknaan apa
adanya dengan segala kemembelumannya. Teks akan terus menguat, makna akan terus
hadir tanpa mengimpikan kepunahan makna-makna lain di sekitarnya. Dialog-dialog
akan terbuka. Ketika inklusivitas terbuka, terkuburlah segala eksklusivitas dan
narasi-narasinya tentang kebenaran yang tunggal.
Kita sudah menyaksikan berbagai keragaman dan
perbedaan yang begitu saja hadir di dunia ini. Tuhan menganugerahkannya dengan
segala unsur baik dan buruknya. Dari sini, kehadiran dekonstruksionisme adalah
ingin memberikan konfirmasi tentang keberadaan yang liyan (the other)
merupakan hal yang tak dapat dielakkan. Dalam berbagai level kehidupan, sesuatu
yang lain adalah sebuah keniscayaan dari sebuah keberadaan. Bahkan, eksistensi
sesuatu hanya mungkin bila yang liyan menyertai kehadirannya. Kita tidak
bisa membayangkan sesuatu sebagai sebuah eksistensi yang unik dan esensial
tanpa menggambarkan kehadiran yang liyan tersebut.
Jika logosentrisme dengan metafisika
kehadirannya yang terus menerus berupaya untuk menyeragamkan segala eksistensi
dalam berbagai level kehidupan. Maka, dekonstruksi menyadarkannya, bahwa
keseragaman itu tidak berbuah apapun kecuali pengekangan, penindasan naif serta
pengucilan atas sesuatu yang lain. Nalar binary yang membelah dunia ke
dalam dua hal yang bersifat oposisional, diruntuhkan dengan memutarbalikkan
berbagai kategori, hingga suatu nalar ‘benar’ dan ‘salah’, ‘baik’ dan ‘buruk’
menjadi melentur dan saling merekah untuk menerima dan mengadaptasi yang lain
di sisinya.
Indonesia, sebagai sebuah negara besar di
dunia ini menyusun mimpi-mimpinya untuk membangun sebuah peradaban kemajuan
yang didambakan. Berbagai hal dilakukan untuk menguatkan fondasi yang menjadi
prasyaratnya, mulai dari pendidikan, kesehatan, kebudayaan, politik dan juga
ekonomi semuanya dibangun oleh negara dalam sebuah tata sistem yang
memungkinkan hadirnya percepatan perkembangan lahirnya kemajuan yang
dicita-citakan itu. Algoritma kemajuan begitu mahal untuk dibeli, sehingga
berbagai hal pun harus dijual demi mencapai angka-angka ‘mistik’ tentang prosentase
‘kemajuan’. Indek perkembangan ekonomi nasional menjadi lebih penting dari
harga sekilo beras, jumlah publikasi jurnal jauh lebih penting dari
produktifitas dan kreatifitas pemikiran yang produktif yang berserak dalam
buku-buku karya anak bangsa.
Demikianlah ‘term’ kemajuan itu begitu kuat
mengisi kolong langit Indonesia, sehingga setiap orang seperti harus mengakui
bahwa kemajuan harus dicapai, ‘kemunduran’ harus dienyahkan. ‘Percepatan’ harus
diutamakan, dan ‘lambat’ tanda kelambanan dan harus dihindarkan. Istilah-istilah
yang berbentuk oposisi biner itu telah begitu kuat mencengkram ruang bawah
sadar kita, tak ubahnya dengan mitos-mitos tentang ‘kesuksesan’ dan
‘kebahagian’ yang membuat banyak manusia kian sempit memaknai dunia ini. Dekonstruksi
mula-mula mengubah dan memutarbalikkan dua kalimat yang berbentuk oposisi biner
dan membiarkan makna dari kedua kata menggugurkan klaim-klaimnya, seketika itu,
makna baru dihadirkan dengan melakukan rekonstruksi atas masing-masing kata dan
pemaknaannya. Hal ini sangat mungkin, mengingat setiap kata mengandung durinya
sendiri, dalam bahasa lain, setiap kata menyimpan kontradiksi-kontradiksi
internal yang lambat laun akan membunuh makna utuh dari kata itu sendiri.
Teks adalah hasil dari tenunan kata yang terus
menerus memanjang dalam realitas kita. Ia adalah perwujudan dari totalitas
kehidupan. Kata sendiri selalu menuntut makna yang tak pernah final. Makna akan
terus mengada dan dan berkembang biak. Kata semisal ‘kemajuan’ tak akan punya
makna kecuali di sisi yang berbeda terdapat kata ‘kemunduran’ sebagai sebuah
keniscayaan dan membentuk dunia bagi yang lain. Kata terakhir akan terus
membayangi kata pertama, menyertai dan sesekali masuk untuk meruntuhkan
berbagai makna yang mencoba masuk ke dalam. Stabilitas makna kata pertama
(kemajuan) akan terus ‘diganggu’ oleh kehadiran yang lain yang kedua. Hal ini
karena kata yang pertama, telah melahirkan kata kedua secara niscaya. Maka,
paradoks akan muncul dalam setiap kata, kemajuan akan senantiasa menyembunyikan
berbagai ‘kemunduran’ yang integral namun bungkam di dalamnya.
Dekonstruksionisme memberikan peringatan
kepada setiap realitas yang ingin membakukan satu makna tunggal yang tak retak,
bahwa kehadiran yang lain di sisinya, yang niscaya, integral nan bungkam akan
terus membayangi. Kemajuan yang diimpikan bangsa ini, seharusnya senantiasa
berhati-hati tentang berbagai distabilitas teks yang menyimpan
kontadiksi-kontradiksi internal di dalamnya. Sadar atau tidak, suka atau pun
tidak, kemunduran bukanlah musuh yang bisa dihindari, ia adalah makna dari
‘kemajuan’ dalam bentuknya yang lain. Dalam dunia teks yang terus membelum ini,
dekonstruksionisme menabuh genderang, pertanda bahwa perang perebutan makna
harus dihentikan, karena sesuatu yang bungkam tak dapat dibungkam lagi.
Komentar
Posting Komentar