Oleh: Ulfa Mina Azkiyah/20205032041
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan keragaman, baik suku, budaya, bahasa, dan
agama. Sebagai negara dengan berjuta keragaman menjadi simbol persatuan yang
dikemas dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan persatuan Indonesia tertuang dalam
asas Pancasila sila ke-5. Persatuan Indonesia mengandung arti bersatunya
macam-macam corak dan warna yang beragam (keragaman Indonesia) menjadi
satu-kesatuan yang utuh dan serasi. Bahkan pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia, persatuan Indonesia menjadi kunci yang paling kuat yang dipegang
oleh para pejuang sebagai sumber semangat, motivasi, dan penggerak perjuangan
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia hendaknya senantiasa
menjaganya agar tetap utuh dan harmonis. Namun sayang, belakangan ini Indonesia
justru malah seringkali diterpa krisis toleransi. Perbedaan yang ada bukan lagi
dimaknai sebagai simbol persatuan, akan tetapi justru menjadi pemicu utama akan
terjadinya perpecahan.
Menolak
lupa dengan adanya perseteruan yang terjadi pada beberapa waktu lalu saat
menjelang pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019. Rakyat Indonesia seolah-olah
terpecah menjadi 2 bagian. Satu bagian menjadi kubu yang pro akan pasangan calon
nomor 1, dan satu bagian yang lain berpihak pada kubu pasangan calon nomor 2. Bahkan
dalam Pemilihan Presiden 2019 muncul panggilan
"cebong" bagi pendukung calon presiden petahana Joko Widodo dan
"kampret" untuk pendukung Prabowo Subianto. Berbagai hoaks dan
ujaran kebencian terjadi dimana-mana, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Pada waktu itu, saat dimana para kubu saling mengunggulkan masing-masing calon
presiden dan calon wakil presiden.
Mengenai
hoaks dan ujaran kebencian, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) berhasil mengidentifikasi berita bohong (hoaks) pada Maret 2019
mencapai jumlah 453 hoaks. Jumlah tersebut meliputi hoaks terkait politik,
pemerintahan, hoaks yang berisikan fitnah terhadap individu dan kelompok
tertentu, terkait kejahatan, hingga terhadap isu keagamaan. Angka tersebut
menunjukkan bahwa jumlah hoaks dan ujaran kebencian meningkat sangat drastis
menjelang pemilihan presiden pada tahun 2019. Selain itu, berita hoaks yang
beredar dalam media sosial diduga menunjukkan adanya kampanye negatif antar
pendukung Paslon (Pasangan Calon) masing-masing. Narasi dalam politik identitas yang muncul sebelum
dan setelah pemilihan presiden 2019 menguak potensi keretakan sosial di
masyarakat. Berbagai keretakan muncul, dari pertemanan, keluarga, bahkan
terdengar kabar bahwa ada pasangan suami-istri yang bercerai akibat berbeda
pilihan presiden.
Perseteruan
tersebut tidak hanya sampai pada hoaks dan ujaran kebencian, melainkan hingga
berujung pada kerusuhan hebat yang mengguncang Jakarta dan beberapa daerah
lainnya hingga menelan korban jiwa. Kerusuhan hebat yang mengguncang Jakarta
setidaknya menyebabkan 6 orang tewas, lebih dari 700 orang terluka, dan lebih
dari 200 orang ditangkap. Kerusuhan tersebut terus berlanjut hingga Pemilihan
Presiden (Pilpres) usai dilaksanakan dan hasil surat suara dikumandangkan.
Demonstrasi kembali terjadi, hingga tuduhan terjadinya kecurangan perhitungan
surat suara dalam Pilpres tersebut. Di Indonesia, demonstrasi memang bukan
menjadi sesuatu yang tabu, akan tetapi kekerasan jalanan yang anarkis dan
banyak memakan korban terhitung sudah lama tidak terjadi sejak lengsernya
presiden Soeharto pada tahun 1998. Saat itulah persatuan Indonesia
dipertaruhkan, rakyat Indonesia seakan sudah tidak lagi mengenal arti
toleransi, dan rasa kasih sayang terhadap saudara seakan sudah hilang.
Nasehat
dari para pemuka agama pun seakan tak mampu menghentikan aksi demonstrasi dan
rasa saling benci. Sebagaimana sebelumnya jauh sebelum Pemilihan Presiden
dilaksanakan, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada waktu
itu telah menghimbau agar masyarakat Indonesia terutama umat Muslim tidak boleh
terpecah belah hanya karena perbedaan kepentingan politik. Oleh sebab itu, ia
berpesan kepada para pemuka agama Islam untuk sama-sama mengedepankan ukhuwah Islamiyah secara internal sesame
umat Islam. Pemuka agama harus mengedepankan persatuan di tengah-tengah
perbedaan yang ada. Selain itu, harus dikembangkan pula persatuan dengan
seluruh komponen bangsa, agar kesejahteraan bias dirasakan oleh seluruh
masyarakat tanpa memandang perbedaan.
Analisis Pembacaan Tanda dan Penanda
Ferdinand De Saussure
Ferdinand
De Saussure merupakan seorang filosof kontemporer yang lekat dengan ilmu tata
kebahasaan (linguistik). Konsep tanda (sign), penanda (signifier), dan pertanda
(signified) menjadi ciri khas dari kajian kebahasaan Ferdinand De Saussure,
sampai ia mendapat julukan sebagai bapak semiotika modern. Semiotika tidak lain
halnya dengan ilmu kebahasaan dengan kajian yang berhubungan dengan tanda. Kajian
tanda dan penanda memang penting dilakukan untuk dapat membaca realitas dalam
kehidupan, karena pada hakikatnya kita hidup dalam dunia tanda, maka kita tidak
akan mampu memahami realitas kehidupan tanpa membongkar makna di balik tanda
tersebut, sehingga terungkap makna yang ada di dalamnya.
Pada
dasarnya kajian De Saussure dengan semiotika nya memiliki harapan yang sangat
besar untuk dapat menstabilkan bahasa, di situlah cikal bakal lahirnya
pendekatan strukturalisme. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa bahasa
memiliki struktur atau unsur-unsur yang saling berkaitan. Oleh sebab itu,
keberadaan bahasa harus berdasarkan kesepakatan, dan terstruktur. Karena De
Saussure memiliki pandangan bahwa ternyata manusia hidup tidaklah individual,
melainkan lahir dari berbagai struktur, khususnya struktur sosial dan
lingkungannya. Di sini De Saussure juga memandang bahwa setiap manusia pasti
dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budayanya. Oleh sebab itu, dalam berbahasa
pun manusia selalu mengikuti struktur yang ada di dalam lingkungannya.
Selain
itu, pendekatan strukturalisme De Saussure juga ingin mengantarkan tanda dan
penanda pada satu kesatuan atau kesepahaman, atau dalam kata lain sebuah bahasa
atau tanda sebenarnya ingin mengkomunikasikan ide atau gagasan tertentu.
Misalnya “persatuan Indonesia”, kalau Indonesia mau bersatu, maka harus ada
kesepakatan antara tanda dan penanda dalam memahami arti persatuan Indonesia.
Apabila persatuan tersebut dimaknai sebagai bersatunya seluruh rakyat Indonesia
dari Sabang sampai Merauke, atau sebagaimana yang dikutip dari Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan RI istilah persatuan berasal dari satu kata yang
berarti utuh dan tidak terpecah belah, maka semua orang harus sepakat akan hal
itu, apabila ada orang yang tidak memahami makna persatuan tersebut, maka
menjadi rusak makna persatuan itu, dan yang terjadi hanyalah perpecahan.
Sebagaimana
fenomena di atas, dimana Indonesia sangat rentan terhadap perpecahan, terlebih
saat sebelum dan sesudah dilaksanakannya Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun
2019. Hal tersebut tentu dilatarbelakangi oleh salahnya pemaknaan terhadap
persatuan Indonesia. Menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum seluruhnya
mampu mendalami dan sepakat terhadap makna persatuan, sehingga yang terjadi
justru adanya perpecahan. Dengan demikian, maka kita tidak dapat menyebut
Indonesia apabila tidak adanya persatuan di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar