Musik



Mahar meloncat turun dari pohon kokoh di depan sekolahnya yang tak begitu tinggi. Dengan gaya cool berjalan menuju Ikal yang tepat sedikit di depannya. Dengan segera dia tempelkan radio tuek itu ke telinga Ikal. Deng deng deng, deng deng deng, Mahar yang sudah potongan seniman sejak kecil segera berkata kepada Ikal yang memasang wajah bingungnya sampai ke jamban, “ini namenye musik Jazz, musiknye orang-orang pintar”. Kata Mahar.

Nah, musik yang sering kita dengarkan hampir setiap hari dan di mana-mana itu bukan sekadar lantunan lirik yang dibersamai oleh irama bertangga-tangga, tapi dia juga jadi cermin dari status sosial, meski ini terkadang. Musik warkop, bar, hingga warteg di tengah-tengah pasar yang sesak sebenarnya tak hanya berkabar tentang lirik-lirik, tapi juga tentang lapisan-lapisan kehidupan yang tak sama.  Mengapa setiap kali acara mantenan, musik-musik yang diputar adalah lagu-lagu dangdut, atau koplo? Kalau acara selametan, imtihanan atau Haol Akbar seorang Kiai, lagu-lagu yang diputar adalah nashid, mengapa? Atau bagaimana kiranya kalau ada musik-musik solawat lantunan Habib Syech di bar-bar malam?

Tentu saja tidak mungkin kita menghidupkan musik tik-tok “aku suka goyang body mama muda” di acara akhir tahun Pesantren, atau lagu-lagu “Alhamdulillah” Maher Zain di diskotik. Musik juga terkadang menjadi penunjang identitas, kredibilitas seorang Kiai atau Ustaz atau bahkan dai akan lebih terjaga kalau musik favoritnya adalah grup-grup nashid yang hanya menyajikan lagu-lagu ruhani. Bisa dibayangkan, kalau seorang ustaz ternyata suka lagu-lagu Ariana Grande, Demi Lovato atau Rihhanna dengan seperangkat video klipnya dibayar tunai. Untuk menjaga yang demikian, maka dia pun terpaksa menyetel lagu-lagu Ceng Zamzam nyaring-nyaring.

Barangkali masih lekat dalam ingatan film Punk In Love yang release tahun 2009, tokoh Yoji yang diperankan oleh Andhika Pratama adalah satu dari empat sekawanan Punk yang musik kesukaannya adalah dangdut Meggy Z. Itu ambivalen dengan komunitas punk-nya yang rerata menyukai musik-musik cadas, hard core dan Rock Metal seperti Stupidity, The Sabotage, atau minimal Endang Soekamti. Karena itu, Yoji beberapa kali harus tertangkap basah sedang joget dangdut oleh teman-temannya, kemudian dia mulai berlagak seolah tak pernah melakukan itu.

Begitu pula, musik dangdut, yang belakangan dipromosikan dengan baik dan massif oleh Indosiar dalam banyak programnya hanya menempati beberapa segmen masyarakat saja. Ada kelas-kelas sosial pendengar musik yang sampai hari ini masih ada. Apalagi reformasi dan evolusi dangdut dari masa ke masa begitu dinamis. Kalau kita lihat audisi-audisi dangdut, utamanya di Indosiar itu, kita bisa menyaksikan bagaimana musik dangdut semaksimal mungkin di-mix dengan genre musik lain. Hasilnya, sebagian bagus, sebagian memalukan dan sebagian acakadut.

Pelepasan sekat-sekat sosial dalam musik tampaknya benar-benar diupayakan oleh Ungu sewaktu Pasha belum return ke nama aslinya (Sigit Purnomo Said) untuk menjadi wakil walikota di Palu. Dan kabar baik untuk Ungu Clikquers, setelah Sigit tak cukup kursi untuk maju di Pilgub Sulawesi Selatan, kali ini doi kembali untuk nge-band bareng koleganya. Kembali ke Ungu, band ini dalam beberapa lagunya kerap memasukkan unsur dari beberapa genre yang dipadu dengan baik. Dalam dunia dangdut hal itu lebih tua lagi, Rhoma Irama dan Soneta grup-nya sudah sejak lama mengkombinasikan antara musik melayu dan rock barat. Walhasil, dalam satu lagu, para pendengar bisa menangkap beberapa cita rasa dari berbagai jenis musik.

Peleburan selera juga semakin menjadi-jadi belakangan ini, terutama ketika tik-tok menjadi salah satu wadah ekspresi se-alay apakah kita. Belakangan kuketahui, bahwa dalam aplikasi ini semua jenis musik ada dan dikemas untuk menjadi bakc-song bagi berbagai macam video. Berbagai lagu dari lagu religi sampai lagu yang bikin ngeri bisa didengar, diedit dan dijadikan bahan tontonan oleh siapa pun. Ketika satu lagu sudah masuk ke dalamnya, maka genrenya jadi spesifik tik-tok.

Dengan aplikasi semacam ini sekat sosial dalam masyarakat yang dibedakan menurut kesuakaan terhadap satu lagu atau musik sudah hilang. Dinding terjal itu kini sudah dirubuhkan oleh satu aplikasi yang kerap diasosiakan penggunananya sebagai anak alay. Mungkin itu satu dari sekian mengapa Wali Band membuat satu lagu yang berjudul “sakit tak berdarah” dengan pola aransmen ala tik-tok. Alhasil, beberapa penggemarnya punya satu lagu ciptaan Apoy untuk mengatraksikan kegemaran mereka menari-nari di depan layar hape dan mengepresikan berbagai hal.

Evolusi musik dan hubungannya dengan status sosial yang disandang oleh seorang atau masyarakat secara umum hari ini agak sukar dipertahankan. Klasifikasi musik orang pintar, orang kampung, orang dungu dan orang alay sudah melebur dalam genre tik-tok. Tentu ini generalisasi yang berbahaya. Oleh itu, kalau lo tak bersepakat dengan hal ini, sepertinya kita harus seirama bahwa ada satu genre nyanyian dan musik yang masih belum melebur, yakni nyanyian para koruptor dan politisi badut bernada sumbang di kantor DPR.

Komentar