Kisah-kisah para Nabi yang disajikan
dalam al-Quran sejatinya ditujukan untuk memberikan ibroh yang secara
sederhana bisa dimaknai dengan “menyeberang” atau “melintasi”. Hal
ini sebagaimana disinyalir dalam al-Quran:
لَقَدۡ كَانَ فِی قَصَصِهِمۡ عِبرةٌ لِّأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِۗ
“Dan sungguh, di dalam
kisah-kisah mereka (para Rasul) terdapat ‘ibroh bagi orang-orang yang memiliki
kedalaman berpikir”.
Menurut Syeikh Ibnu Asyur,
yang dimaksud dengan lafadz ‘Ibroh adalah:
وهو التَّوَصُّلُ بِمَعْرِفَةِ المُشاهَدِ
المَعْلُومِ إلى مَعْرِفَةِ الغائِبِ
“Proses mengetahui satu objek yang
tampak kepada pengetahuan yang ghaib”.
Demikian, seluruh kisah-kisah agung yang
disajikan dalam al-Quran sangatlah minimalis, tapi begitu substansial dan sarat
dengan nuansa pendidikan ruhani. Dalam pengertian yang lain, kita sering
mendengar istilah moral story dibalik satu cerita tentang kebijaksanaan.
Demikian, kisah-kisah itu selayaknya menjadi pengantar seseorang untuk
menemukan satu makna mendalam dari suatu ajaran yang disampaikan sebegitu
persuasif dan secara lembut masuk ke dalam ruang pikir manusia.
Salah satu kisah di dalam al-Quran yang
cukup panjang adalah tentang Nabi Yusuf. Beberapa plot dilukiskan dengan
sedikit lebih detail dari beberapa Nabi yang juga diceritakan al-Quran. Yang paling
memukau ialah masuknya perempuan bernama Zulaikha (زليخا) dalam rangkain panjang kisahnya. Demikian itu membuat kita
bertanya, mengapa al-Quran memilih Nabi Yusuf untuk disajikan sebagai ibroh kepada
kita? Mari kita pikirkan!
Karena begitu panjangnya kisah itu, maka
beberapa ayat yang membahas tentang skandal yang menimpa Nabi Yusuf dan
Zulaikha itu kerap kali mengalami beberapa penafsiran yang rancu. Hal ini
karena beberapa mufassir mencoba untuk lebih dalam mengelaborasi beberapa
penggalan kisah Nabi Yusuf dengan mencari sumber-sumber riwayat yang bisa
menopang detail kisah yang disajikan al-Quran. Beberapa riwayat dan penafsiran
itu kerap kontradiksi satu sama lain dan bahkan bisa mencederai kesucian Nabi
Yusuf, sebagai seorang Nabi yang terlindung dari dosa. Berikut salah satunya:
﴿وَلَقَدۡ هَمَّتۡ
بِهِۦۖ وَهَمَّ بِهَا لَوۡلَاۤ أَن رَّءَا بُرۡهَـٰنَ رَبِّهِۦۚ كَذَ لِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ
ٱلسُّوۤءَ وَٱلۡفَحۡشَاۤءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِینَ﴾ [يوسف ٢٤]
“Dan sungguh dia (Zulaikha) berhasrat
kepadanya (Yusuf), dan dia (Yusuf) berhasrat kepadanya (Zulaikha) pula kalau
saja dia (Yusuf) tidak melihat bukti petunjuk dari Tuhan-Nya. Begitulah kami
palingkan dia (Yusuf) dari keburukan dan kenistaan, sesungguhnya dia (Yusuf)
adalah bagian dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan”. (Yusuf ayat 24)
Beberapa mufassir klasik yang bersandar
pada sumber-sumber riwayat (Ma’tsur) banyak mengutip beberapa rincian
kisah yang sangat riskan untuk diterima. Riwayat-riwayat itu berupaya
menjelaskan detail kisah sebenarnya yang tentu saja belum tentu benar, bahkan
sumbernya boleh jadi dari cerita-cerita bangsa Israil (Isra’iliyyat)
yang alih-alih menghidangkan ‘Ibroh, bahkan bisa menodai kesucian Nabi
Yusuf. Salah satunya adalah pendapat yang dicantumkan dalam beberapa tafsir Ummahat
(tafsir induk) seperti al-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi. Di antara
riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut:
Dalam Tafsir al-Thabari:
١٩٠١٣ - حدثنا ابن وكيع، قال: حدثنا
عمرو بن محمد، قال: حدثنا أسباط، عن السدي:
﴿ولقد همت به وهم بها﴾ قال: قالت له: يا يوسف، ما أحسن شعرك! قال: هو أوَّل ما ينتثر من
جسدي. قالت: يا يوسف، ما أحسن وجهك! قال: هو للتراب يأكله. فلم تزل حتى أطمعته،
فهمَّت به وهم بها، فدخلا البيت، وغلَّقت الأبواب، وذهب ليحلّ سراويله، فإذا هو
بصورة يعقوب قائمًا في البيت، قد عضَّ على إصبعه، يقول:"يا يوسف لا تواقعها(١) فإنما مثلك ما لم تواقعها مثل الطير في جو السماء لا يطاق، ومثلك
إذا واقعتها مثله إذا مات ووقع إلى الأرض لا يستطع أن يدفع عن نفسه. ومثلك ما لم
تواقعها مثل الثور الصعب الذي لا يُعمل عليه، ومثلك إن واقعتها مثل الثور حين يموت
فيدخل النَّمل في أصل قرنيه لا يستطيع أن يدفع عن نفسه"، فربط سراويله، وذهب
ليخرج يشتدُّ،(٢) فأدركته، فأخذت بمؤخر قميصه من
خلفه فخرقته، حتى أخرجته منه وسقط، وطرحه يوسف واشتدَّ نحو الباب
١٩٠١٦ - حدثنا أبو كريب، وابن وكيع،
قالا حدثنا ابن عيينة، قال: سمع عبيد الله بن أبي يزيد ابن عباس في ﴿ولقد همت به وهم بها﴾ قال: جلس منها مجلس الخاتن، وحلّ الهميان.
١٩٠١٧ - حدثنا زياد بن عبد الله
الحسَّاني، وعمرو بن علي، والحسن بن محمد، قالوا: حدثنا سفيان بن عيينة، عن عبد
الله بن أبي يزيد، قال: سمعت ابن عباس سئل: ما بلغ من همّ يوسف؟ قال: حلّ الهميان،
وجلس منها مجلس الخاتن.
١٩٠١٩ - حدثنا ابن وكيع، قال: حدثنا
يحيى بن يمان، عن ابن جريج، عن ابن أبي مليكة:
﴿ولقد همت به وهم بها﴾ قال: استلقت له، وحلّ ثيابه.
١٩٠٢٠ - حدثني المثنى، قال: حدثنا قبيصة
بن عقبة، قال: حدثنا سفيان، عن ابن جريج، عن ابن أبي مليكة، عن ابن عباس: ﴿ولقد
همت به وهم بها﴾ ، ما بلغ؟ قال:
استلقت له وجلس بين رجليها، وحلّ ثيابه = أو ثيابها.
Riwayat-riwayat di atas kiranya cukup memberitakan
kepada kita bagaimana Nabi Yusuf dikabarkan telah tergoda oleh rayuan Zulaikha.
Bahkan, ketika pintu sudah ditutup, Nabi Yusuf diceritakan melepaskan sarungnya
dan duduk layaknya seorang yang akan dikhitan. Diceritakan pula Nabi Yusuf
kemudian tidur terlentang seolah-olah benar-benar tenggelam dalam kenistaan. Namun,
Nabi Yusuf masih selamat dari hal itu berkat adanya burhan dari Allah. (لولا أن رأى برهان ربّه).
Dalam Ibnu Katsir, menurut
riwayat-riwayat yang dihimpun, dikisahkan bahwa yang dimaksud dengan burhan itu
adalah kehadiran Nabi Ya’qub secara imajiner seraya menggigit jarinya.
وَأَمَّا الْبُرْهَانُ الَّذِي رَآهُ فَفِيهِ
أَقْوَالٌ أَيْضًا: فَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ،
وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، وَالْحَسَنِ، وَقَتَادَةَ، وَأَبِي صَالِحٍ،
وَالضَّحَّاكِ، وَمُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، وَغَيْرِهِمْ: رَأَى صُورَةَ أَبِيهِ
يَعْقُوبَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، عَاضًّا عَلَى أُصْبُعِهِ بِفَمِهِ
Pada intinya, riwayat-riwayat di atas
menunjukkan bahwa Nabi Yusuf berhasrat atas ajakan Zulaikha sehingga membuatnya
hampir saja tenggelam dalam nista. Ini bertentangan dengan beberapa ayat yang
menegaskan secara jelas tentang ma’shum-nya beliau sehingga tak mungkin
tergoda apalagi sampai terlentang dan melepas ikat sarungnya. Pandangan ini
sungguh merendahkannya, apalagi jika dilihat dari sudut pandang al-Quran yang
meninggikan beliau dengan segala anugerah yang diberikan Allah padanya.
Semua riwayat itu mengarahkan pemahaman
kita bahwa Nabi Yusuf telah tergoda dan diruntuhkan benteng imannya oleh
Zulaikha. Hal ini tampak dari kesediaan beliau untuk melepas ikan pinggang,
sarung untuk kemudian duduk di antara dua kaki Zulaikha yang sudah terlentang
di hadapannya seraya melepas baju. Adegan yang tak pantas ini digambarkan
dengan gamblang dalam riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas:
وعَنِ ابْنِ
عَبّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ما قالَ: حَلَّ الهِمْيانَ وجَلَسَ مِنها مَجْلِسَ
الخائِنِ، وعَنْهُ أيْضًا أنَّها اسْتَلْقَتْ لَهُ وجَلَسَ بَيْنَ رِجْلَيْها
يَنْزِعُ ثِيابَهُ
Dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi adalah
salah satu mufassir yang paling vokal dalam mengkritisi riwayat-riwayat di
atas. Dalam tafsir Mafatihul Ghaib, al-Razi menganalisis dengan panjang tentang
kerancuan riwayat di atas dari sudut pandang kenabian dan segala kemuliaan yang
melekat secara wajib dalam Nabi Yusuf. Berikut parafrasenya.
Menurut Imam al-Razi, dalam surat Yusuf
ayat 24 di atas ada beberapa permasalahan yang bisa diketengahkan.
Pertama, Apakah Nabi Yusuf
mungkin berbuat dosa atau tidak? Dalam hal ini ada dua jawaban:
1.
Beberapa mufassir
berpendapat bahwa Nabi Yusuf berhasrat atas rayuan Zulaikha kepadanya hingga
dia terperangkap sejenak pada satu kondisi yang menunjukkan kehinaan. Pandangan
ini dikuatkan oleh beberapa riwayat yang telah dicantumkan di atas. Bahkan,
dari riwayat yang disandarkan kepada Imam Ali beliau berkata bahwa Yusuf
berkeinginan untuk membuka ikat pingganya. Dan di dalam riwayat yang dinukil
dari Ibnu Abbas, Nabi Yusuf diwartakan sudah melepas celananya dan duduk
sebagaimana orang yang berkhianat.
2.
Jawaban kedua
diberikan oleh kelompok yang oleh al-Razi disebut sebagai al-Muhaqqin, terdiri
dari beberapa mufassir dan kelompok teolog (mutakallimin). Menurut
mereka, Nabi Yusuf terbebas dari perbuatan batil dan keinginan yang diharamkan.
Pendapat ini yang akan menganulir riwayat-riwayat yang disampaikan oleh
beberapa perawi terkenal mulai dari Imam Ali, Ibnu Abbas sampai Ibnu Waki’ dan
al-Mutsanna.
Kedua, Imam al-Razi meneguhkan
bahwa para Nabi secara umum wajib terlindung (‘ishmah) dari dosa. Hal
ini beliau kuatkan dengan beberapa hujjah sebagai berikut:
1.
Kisah terlenanya
Nabi Yusuf ini, dari sudut pandang kemaksiatan yang dinisbatkan padanya
memiliki empat sifat yang melekatyang terhubung secara niscaya. 1). Zina
merupakan dosa besar. 2). Berkhianat atas amanah yang diberikan merupakan dosa
besar. 3) Menerima sebuah kebaikan, kemudian membalasnya dengan keburukan juga
merupakan dosa besar. 4) Seorang yang dirawat sejak kecil hingga dewasa,
kemudian membalas dengan kekejian pada tuannya merupakan dosa yang tak kalah
besarnya.
Kalau demikian, kemaksiatan ini jika
dinisbatkan kepada Nabi Yusuf, maka secara langsung pula beliau mengerjakan
empat jenis pengkhianatan yang besar sebagaimana dijelaskan di atas. Jikalau
kemaksiatan ini dinisbatkan kepada makhluk Allah yang paling fasik, maka hal
itu tidak perlu diperbincangkan. Namun, jika sebaliknya, dihubungkan kepada
seorang yang dipilih Allah untuk menjadi salah satu dari utusan-Nya serta
diperkuat dengan mukjizat yang sangat kentara, bagaimana hal ini dianggap
mungkin?
2.
Selanjutnya, dalam
tubuh ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah memalingkan keburukan darinya (كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء). Masalahnya, bagaimana mungkin Nabi Yusuf tergiur bahkan
sampai terjerumus dalam dosa itu, sementara di penggal berikutnya Allah
memalingkan dari kenistaan itu?
Di bagian lain ayat ini, Allah juga
menegaskan bahwa beliau sama sekali tidak tergoda, ini ditandai dengan
penegasan bahwa Allah menampakkan buktinya (رأى برهان ربّه), kemudian memalingkannya dari kenistaan (كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء, kemudian di akhir ayat ditegaskan bahwa beliau adalah bagian
dari hamba-Nya yang disucikan (إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا (ٱلۡمُخۡلَصِینَ. Bagaimana mungkin Allah akan mememberikan penegasan dan pujian
terhadap Nabi Yusuf kalau saja seandainya imannya pernah runtuh oleh karena
godaan wanita?
3.
Para Nabi, bila
mereka pernah terjerumus dalam dosa, maka pasti akan segera diiringi dengan
rasa sesal yang mendorong taubat mereka kepada Allah. Bahkan tak jarang
munajat-munajat mereka dilansir oleh al-Quran secara langsung untuk menunjukkan
bahwa doa-doa mereka telah dikabulkan oleh Allah. Dalam hal ini, tidak
ditemukan sama sekali bahwa Nabi Yusuf bertaubat yang menjadi tanda bahwa dia
pernah terjerumus dalam dosa.
4.
Yang terhubung
dengan kasus ini, adalah Nabi Yusuf, Allah Swt, perempuan yang bernama Zulaikha,
perempaun-perempuan yang menggunjingi Zulaikah serta Iblis. Kesemuanya itu
bersaksi bahwa Nabi Yusuf terlepas dari segala kenistaan itu.
Adapun ayat-ayat yang menegaskan bahwa
Nabi Yusuf berlepas dari tuduhan keji itu adalah pengakuannya sendiri hal ini
sebagaimana dalam ayat:
هِيَ راوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي
رَبِّ السِّجْنُ أحَبُّ إلَيَّ مِمّا يَدْعُونَنِي إلَيْهِ
Sedangkan pengakuan perempuan bahwa
dirinya yang bersalah, dan Nabi Yusuf tidak tergoda:
ولَقَدْ راوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فاسْتَعْصَمَ
الآنَ حَصْحَصَ الحَقُّ أنا راوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وإنَّهُ
لَمِنَ الصّادِقِينَ
Suami dari perempuan itu (Zulaikha) itu
kemudian juga memberikan penetapan, bahwa istrinya lah yang bersalah, dan Nabi
Yusuf sama sekali tidak berhasrat dengannya:
إنَّهُ مِن كَيْدِكُنَّ إنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
يُوسُفُ أعْرِضْ عَنْ هَذا
واسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ
Selain itu, para saksi yang bertugas
menyelediki kasus ini juga bersaksi bahwa Yusuf tidak bersalah sama sekali;
وشَهِدَ شاهِدٌ مِن أهْلِها إنْ كانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِن
قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وهو مِنَ الكاذِبِينَ
Persaksian yang sama juga diberikan oleh
Allah:
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ والفَحْشاءَ إنَّهُ مِن
عِبادِنا المُخْلَصِينَ
Tak hanya itu, Iblis juga memberikan
persaksian tentang kesucian Nabi Yusuf yang membuatnya tak mampu
menyesatkannya.
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهم أجْمَعِينَ ... إلّا
عِبادَكَ مِنهُمُ المُخْلَصِينَ
Bukankah Nabi Yusuf ditegaskan bahwa dia
termasuk dari hamba-hamba Allah yang disucikan (المخلصين)? Sebagaimana dalam ayat sebelumnya:
إنَّهُ مِن عِبادِنا المُخْلَصِينَ
Ayat-ayat di atas
sekali lagi menegaskan bahwa Nabi Yusuf tidak mungkin tergoda sedikit pun oleh
Rayuan Zulaikha, hal ini dikuatkan dengan berbagai hujjah ‘aqliyyah dan naqliyyah
sebagaimana dipaparkan di atas.
Lantas, apa makna yang tepat bagi ayat (وَلَقَدۡ
هَمَّتۡ بِهِۦۖ وَهَمَّ بِهَا), bukankah secara tektual ayat ini menunjukkan bahwa
masing-masing dari Yusuf dan Zulaikha sama-sama memiliki hasrat (همٌّ)?
Dengan membawa pemahaman bahwa Nabi Yusuf tidak mungkin
terbenak dalam hatinya untuk tunduk pada rayuan Zulaikha, sebagaimana rentetan
hujjah yang diberikan oleh Imam al-Razi di atas, maka memahami kata همّ بها (dia berhasrat padanya) itu
haruslah diberi makna yang tepat. Hal ini dengan meletakkan makna “hasrat”
masing-masing dari mereka berdua pada posisi yang selayaknya. Menurut pakar
bahasa, kata همّ itu secara
umum bermakna maksud (من جنس القصد). Oleh karena itu, jika kata ini dinisbatkan kepada Zulaikha (همّت به), maka maknanya “adalah hasrat bersenang-senang
dan meraih kenikmatan”. Sedangkan kata همّ بها yang dinisbatkan kepada Nabi Yusuf yang
agung, haruslah dimaknai sebagai keinginan “untuk meluruskan orang yang
mengundang maksiat serta hasrat untuk membenahinya dari kemungkaran”.
Demikian penafsiran Imam al-Razi yang termuat dalam
kitabnya al-Tafsir al-Kabir atau lebih dikenal dengan Mafatih al-Ghaib. Suatu tafsir
yang mendahulukan argumentasi logis dalam memahami ayat al-Quran dari pada
menyadur riwayat-riwayat yang kerap kontradiksi dan tidak terjamin otentitasnya
dalam menguak makna-makna al-Quran yang agung.
Komentar
Posting Komentar