Aku baru
saja melepas lelah setelah melakukan perjalanan ke Bantur untuk membantu proses
belajar mengajar di Jurusan Tafsir Hadis di STF al-Farabi. Setelah sampai di
kamar, setelah membuka pakaian luar dan meninggalkan kaos di badan, tiba-tiba
Bapak Dhofir menyapaku dari luar kamar. Saat itu aku sudah duduk setengah
berjongkok di depan laptop yang sudah kuhidupkan beberapa saat sebelumnya. Aku
berdiri, sebagai bentuk penghormatan terhadap rawuhnya kiai. Namun seperti
biasa, beliau selalu menyuruhku untuk tetap santai dan kembali duduk dan
melanjutkan aktifitas seperti biasa. Tapi kali ini, karena aku sudah terlanjur
berdiri, aku enggan duduk kembali.
Baiklah,
kuceritakan tentang sosok kiaiku yang masih muda ini. Beliau adalah seorang
filsuf, musikus dan sastrawan dan mistikus (salik). Ada banyak hal tentang
kepribadian beliau yang bisa kutangkap secara langsung, beliau adalah orang
santai, tak jaim, tulus dan suka berbagi. Dan yang paling penting,
beliau tidak gila hormat dari siapa pun. Sebagai seorang kiai, meski pun para
santri masih memanggil beliau ‘Bapak’, dan jemaahnya di luar mayoritas
memanggil ‘Gus’, namun itu semua tidak lantas membuat beliau menjadi ‘angker‘
sebagaimana ‘Gawagis’ yang banyak kukenal selama ini. Beliau tetap ‘santuy’ dan
apa adanya.
Ketika
beliau lewat, para santri tak ada yang berdiri. Ini karena beliau selalu
mengajarkan kepada seluruh santrinya agar bisa menghormati seseorang dengan
cara-cara yang manusiawi dan rasional. Bukan berarti sikap hormat para santri
–terutama yang nyantri salaf- itu tidak rasional dan manusia. Tapi dalam
konteks ini yang ingin kusampaikan bahwa betapa beliau mampu mengambil satu
sikap yang tak lazim dalam membangun dan mengajarkan dari arti sebuah
penghormatan dan kepada siapa dia harus diberikan.
Pernah
kalian menemukan seorang kiai yang mewawancarai santrinya dengan penuh canda
tawa tentang satu hal yang dianggap tabu? Seperti pengalaman masturbasi,
misalnya? Kalau belum pernah, berarti aku termasuk orang yang beruntung bisa
menyaksikan itu beberapa minggu lalu. Ketika seorang teman yang memiliki
pengalaman tentang hal itu bercerita dengan penuh semangat dan penuh keakraban
dengan Pak Dhofir, seolah bercerita kepada temannya sendiri. Amazing! Aku
hanya mampu tertawa dan merenung, betapa Pak Dhofir sangat terbuka dan
‘santuy’.
Nah, di
malam ini, Pak Dhofir ‘menuduhkan’ sesuatu kepadaku. ‘Sampeyan ulang tahun ya?
Tanya beliau kepadaku. Aku tak menjawab apapun kecuali membalas senyuman
beliau. Aku terkejut bercampur bingung, karena ini bukanlah bulan oktober,
bukan pula bulan Dzul Qo’dah di mana aku dilahirkan. Ini adalah bulan
desember. Tak ada yang ulang tahun di bulan ini, kecuali versi KTP-ku yang
memang diselaraskan dengan keterangan di Ijazah yang kutulis asal-asalan
sewaktu SD.
Belum
selesai kebingunganku, belum pula hilang bentuk senyumku, tiba-tiba saja beliau
menyodorkan rokok kepadaku seraya berkata, “ini!”. Sebatang Surya beliau
berikan sebelum akhirnya dengan cepat berlalu untuk meneruskan kegiatannya. Aku
baru ‘mudeng’ beberapa saat setelahnya, bahwa dengan ‘menuduhku’ sedang
ulang tahun, beliau punya cara untuk memberiku hadiah sebatang rokok Surya yang
memang kurindukan. Karena selama di Malang, kuputuskan untuk merokok dengan
harga murah, karena Rihlah Ilmiah-ku masih lumayan panjang.
What Amazing cara
beliau untuk memberiku hadiah. Cara berprilaku seperti ini tidaklah mudah,
selain diperlukan kecerdasan, juga diperlukan keluasan hati. Kecerdasan beliau
tampilkan dengan cara ‘menuduhku’ berulang tahun untuk memberikan rokok.
Keluasan hati diatraksikan dengan berbagai hal kecil yang dilakukan kepada
sanrtrinya, namun begitu berkesan dan sangat mendalam bagi santrinya. Seperti
memberi rokok Surya di tengah ‘paceklik’ misalnya.
Komentar
Posting Komentar