Rihlah Ilmiah

 

Guruku, Murobbi ruhi wa qolbi, Abuya KH. Abdul Muttholib Sukardi, subuh tadi memberikan pesan yang begitu mendalam kepadaku yang beberapa hari lagi akan melanjutkan safar ilmu ke daerah Jawa Timur. Pagi ini tidak seperti biasa, aku diminta beliau untuk mengimami salat, padahal dalam kondisi Gus Syahrul Mubarok ada di belakang beliau. Kalau Kiai pondok berhalangan, daku memang sering menjadi pengganti dalam banyak peran. Entah mengapa, subuh ini beliau memintaku untuk mengimami santri.

Dengan setengah ragu dan sambil menoleh ke Gus yang juga mempersilahkanku, daku maju dengan pelan dan hati-hati. Hingga salat selesai, seperti biasa Abuya memberikan pengarahan kepada santri putra-putri yang ada di dalam masjid, dan juga kepada warga kampung yang aktif ikut jamaah. Kepada para santri, beliau selalu berpesan tentang keharusan mereka agar salat jamaah dengan tertib, berdzikir dengan khusyu’ serta untuk tidak bermalas-malasan dalam menjalankan aktifitas penuh berkah di pesantren ini. Setelah beberapa menit beliau memberikan nasehat, para santri secara bergantian maju untuk mushofahah (bersalaman). Beginilah suasana subuh setiap malam senin dan malam kamis, ketika Abuya berkunjung ke pesantren Baitul Mubarok ini.

Dalam nasehat subuh ini, Abuya juga menyampaikan prihal rencana keberangkatanku. Beliau memintakan doa dari pada santri agar daku bisa terus diberikan kesehatan, panjang umur serta ilmu yang berkah guna mengarungi samudera ilmu Allah yang tak bertepi. Beliau menyampaikan, bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan duniawi yang ditujukan untuk mengumpulkan materi. Tetapi sebuah perjalanan sejatinya yang dijanjikan surga bagi setiap hamba-Nya yang menapaki.

من سلك طريقًا يلتمس فيه علمًا سلك الله طريقًا إلى الجنّة

Barang siapa yang berjalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan melangkahkan kakinya kepada surga”.

Safar ilmu adalah sebuah aktifitas yang benar-benar ditujukan untuk Allah semata. Karena dalam perjalanan ini, seseorang sama sekali tidak memikirkan kepentingan duniawi seperti apa dan bagaimana yang akan mereka peroleh ke depannya. Tidak ada sama sekali. Semuanya dilakukan dalam rangka mencapai satu hal, yakni menghidup-hidupkan ilmu Allah.

Imam Syafi’i melakukan perjalanan panjang selama hidupnya, mulai dari tanah kelahirannya, yakni Palestina, ke Mekah, Madinah, di padang pasir untuk berkumpul dengan suku Bani Hudzail, ke Baghdad untuk merumuskan ijtihad fikihnya yang kemudian melahirkan Qoul Qodim, sebelumnya akhirnya pindah lagi ke Mesir dan menyisakan ijtihadnya yang kemudian disebut dengan Qoul Jadid. Oleh karena itu, sebuah syair dari beliau yang begitu terkenal berbunyi:

ما في المقام لذي عقل و ذي أدب # من راحة فدع الأوطان واغترب

سافر تجد عوضًا عمّن تفارقُه # وانصب فإنّ لذيذ العيش في النصب

Tidak ada kata berdiam (mukim) bagi orang yang punya akal dan beradab untuk sekadar rehat..

Maka tinggalkan kampung dan mengasinglah..

Berjalanlah, kamu akan menemukan ganti bagi apa yang kamu tinggalkan..

Dan berusahalah, karena sesungguhnya keindahan hidup ada di dalam rasa usaha”.

Syair yang begitu mendalam ini begitu lama daku lantunkan untuk memperkuat hati dan memperbaharui semangat guna mengikuti langkah-langkah yang ditempuh oleh para ulama terdahulu dalam mencari ilmu. Ilmu salaf memang tidak sakral, selalu ada titik di mana kita menemukan bahwa keilmuan yang mereka bawa adakalanya tidak relevan secara tekstual dengan apa yang kita butuhkan pada saat-saat ini. Meski demikian, yang harus tetap kita hidupkan adalah semangat mereka dalam mencintai ilmu, melayaninya serta mengabdikannya kepada masyarakat benar-benar mendesak untuk kita hidupkan.

Mereka mencintai ilmu lebih dari segala hal, mereka rela hidup miskin, mendekam di jeruji hingga diasingkan dari keramaian demi selamatnya sebuah ilmu. Mereka menulis dan mengumpulkan ilmu dari berbagai sumber, dengan sarana dan prasarana yang masih begitu sederhana agar bisa diwariskan kepada siapapun yang ada setelah mereka. Yang mereka cari sejatinya bukanlah ilmu sebagai sebuah objek, melainkan ilmu sebagai sebuah subjek yang bertugas menuntun mereka ke surga. Oleh karena, Abuya senantiasa mengatakan bahwa:

Ilmu barokah dan manfaat, adalah ilmu yang bisa diamalkan”

Hal ini senada dengan pandangan ulama-ulama dalam Islam yang mengatakan bahwa:

العلم ما نفع

Ilmu adalah sesuatu yang bermanfaat”.

Mafhum mukholafah­-nya adalah “segala yang tidak bermanfaat, bukanlah ilmu”.

Komentar