Mendalami ilmu agama adalah hal yang sangat penting. Karena agama ini tidak akan pernah tegak kecuali dia dilayani dengan ilmu. Ketika agama sudah tidak dilayani dengan ilmu, melainkan sebagai sebuah seperangkat doktrin dan ajaran tentang baik dan buruk belaka, maka agama bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan hidup manusia.
Rasulullah adalah pembawa sejati agama ini, dia membawa
Islam dengan penuh santun dan berbunga-bunga. Setiap dari aktifitasnya menjadi
sumber ilmu sampai hari ini. Ribuan hadis telah dikaji untuk kemudian
dikumpulkan menjadi satu hingga membentuk satu cabang ilmu penting dari dahulu
sampai hari ini, yakni Ulumul Hadis. Imam Anas bin Malik berkata:
انّ هذا العلم دينٌ فانظروا
عمّن تأخذون دينكم
“Ilmu ini (hadis) adalah agama, maka perhatikanlah dari mana
kamu mengambilnya”.
Ilmu, menurut Imam al-Haromain al-Juwaini adalah:
العلم معرفة المعلوم أي إدراك
ما من شأنه أن يعلمَ على ما هو به في الواقع كإدراك الإنسان بأنّه حيوانٌ ناطقٌ
“Ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya,
sebagaimana pengetahuan bahwa manusia itu adalah hewan”.
Sedangkan pengertian agama, dalam bahasa Arab-nya adalah al-Din
secara bahasa berarti “ta’at, ibadah, balasan dan hisab”. Sedangkan secara istilah,
arti dari agama adalah sebagaimana disebutkan dalam Tuhfatul Murid karya
al-Baijuri sebagai berikut:
أنّ
الدين هو الاحكام التي وضعها الله الباعثة للعباد إلى الخير الذاتيّ
“Agama adalah beberapa hukum
yang diletakkan oleh Allah Sw yang ditujukan bagi hamba-hamba-Nya demi
tercapainya kebaikan yang bersifat dzat”.
Yang dimaksud dengan kebaikan yang bersifat ‘dzat’
adalah kebaikan sejati dan abadi. Hal ini mengecualikan beberapa kebaikan yang
sifatnya tentatif (sementara). Seorang dokter yang mencoba memberikan pelayanan
serta pengobatan terbaik merupakan sebuah kebaikan, namun sifatnya sementara. Dengan
demikian, kebaikan semacam itu masih terbilang kebaikan yang tidak fundamental
dalam agama. Kebaikan yang dzat adalah kebaikan yang mampu memberikan nilai
dari adanya kesehatan maupun sakit yang dialami seseorang. Bahasa Indonesia
yang sedikit mendekati terhadap kata kebaikan “dzat” ini adalah “kebaikan yang
bersifat esensial”.
Ilmu agama dengan demikian adalah hal yang bertujuan
untuk “mengungkap dan mengetahui” agama apa adanya dan sesuai dengan substansi
serta sebagaimana mestinya. dari sini saja tampak sekali bahwa ilmu agama
adalah hal yang sangat fundamental dan tak akan terpisahkan dengan agama. Tanpa
ada ilmu, maka agama tetap akan menjadi benda purba yang tak akan bisa menyatu
dengan kehidupan manusia yang terus bergerak secara dinamis.
Dari definisi yang diberikan oleh al-Baijuri di atas,
tegaslah bahwa tujuan agama itu adalah membawa manusia kepada kebaikan yang
sifatnya “dzatiyah”, sebuah kebaikan yang bisa melampaui berbagai kebaikan yang
tampak di luar. Kebaikan yang benar-benar memiliki makna, sehingga kebaikan itu
benar-benar bisa mengantarkan seseorang untuk bisa memaknai dan menjalani
kehidupan di dunia ini dengan baik dan tenang.
Sakit, kehilangan, kekurangan dalam harta merupakan hal
yang perlu dihindari oleh seseorang dengan menjaga kesehatan serta rajin
bekerja. Namun, kalau kemudian sakit atau hal-hal yang tampak menyedihkan di
atas harus menghampiri, maka itu pun merupakan sebuah kebaikan dari sisi
dzatnya. Berapa banyak sakit yang diderita seseorang ternyata menghantarkan
seseorang atau disekitarnya untuk lebih memberikan perhatian yang lebih
terhadap kesehatan mereka. Sebuah kebaikan terbaik adalah “kebaikan yang bisa
memberikan yang terbaik”.
Melayani agama dengan ilmu berarti berusaha untuk
memaknai agama dari sisi paling mendasar dari keberadaannya. Karena setiap
agama turun untuk membawa satu misi terbaik yang diperuntukkan manusia. Manusia
butuh akan agama untuk diri mereka sendiri bukan untuk sesuatu yang lain. Maka
tepatlah adagium yang mengatakan, bahwa tugas sejati agama adalah “memanusiakan
manusia”. Inilah maksud dari kata “lil Ibad” sebagaimana disebutkan
dalam definisi agama dari al-Baijuri di atas.
Serangkain hukum-hukum yang dimuat di dalam agama
tersebut, tidak akan bisa diketahui oleh seseorang kecuali dengan memahaminya
melalui gerbang ilmu. Dalam hal ini, ilmu yang dimaksud adalah berbagai macam
pengetahuan yang bisa menghantarkan seseorang untuk mengenal Allah Swt lebih
dekat lagi. Seperti ungkapan:
العلم هو معرفة
الله
“Ilmu yang sejati adalah sebuah pengetahuan tentang Allah”.
Sampai di sini, maka ilmu dalam Islam tidak hanya
terbatas pada pembahasan aspek-aspek agama dari sisi objek-objeknya yang legal
dan formal. Bahkan juga mencakup segala sesuatu yang lebih substansial, yakni “segala
hal yang bisa menghantarkan seseorang untuk mengetahui Allah, maka itu adalah
bagian dari cakupan kata ‘ilm”. Ketika seseorang mengetahui Allah,
secara otomatis pula mereka akan mengetahui siapakah diri mereka. Sebagaimana sebuah
ungkapan yang terkenal dalam Islam:
من عرف نفسه فقد عرف ربّه
“Siapa yang mengetahui jati dirinya, maka pastilah mereka
tahu siapa Tuhan-nya”.
Pengetahuan terhadap diri tidak akan dicapai kecuali
dengan cara mengetahui ‘siapa diri ini?’ ‘di mana diri ini berada?’, ‘dari mana?’
serta ‘hendak ke mana tujuan akhir dari segala yang ada ini?’. Pencarian jawaban
terhadap semua pertanyaan di atas ini telah mampu menggerakkan dan menghidupkan
berbagai aktifitas manusiawi dari mulai Bapak Adam hingga hari ini dan masih
akan terus berlanjut.
Upaya manusia untuk mengenai ‘siapa diri mereka’ tidak
akan tercapai kecuali dengan terlebih dahulu mereka melihat lingkungan sekitar
mereka, interaksi dengan sesama serta memahami berbagai kecenderungan dan sifat
asasiyah mereka. Baru kemudian, ditemukanlah bahwa mereka adalah salah satu ‘binatang’
yang ada di bumi di tengah berbagai binatang lainnya. Hanya saja, atas rahmat
dan kasih sayang Allah, yang diberikan-Nya kepada kita berupa akal mampu
membedakan manusia dengan sekian binatang lainnya. Dengan demikian, secara
definisi, manusia “adalah hewan yang berpikir” sebagaimana dikenal.
Pencarian manusia terhadap ‘siapa’ ini telah
menghantarkan mereka untuk memahami ‘segala hal’ yang ada di luar diri mereka. Ini
pula yang mendorong ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitar
kemudian terus bergerak hingga mengalami perkembangan yang konstan sampai hari
ini.
Demikian pula dengan berbagai pertanyaan fundamental di
atas, semuanya tak akan pernah terjawab secara tuntas oleh manusia, karena
memang manusia akan terus belajar hingga mereka benar-benar memahami siapa
dirinya. Dan upaya memahami itu tidak akan pernah dicapai kecuali dengan
melapangkan langkah untuk menapaki jalan tafaqquh fi al-Din. Sebagaimana
masyhur dalam al-Quran:
فلولا نفر من كلّ
فرقة منهم طائفة ليتفقّهوا في الدين
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
satu kelompok yang akan memperdalam pengetahuan agama”.
Dalam hal ini, mendalami ilmu agama yang dimaskud
tidaklah bisa kita persempit maknanya hanya pada beberapa cabang ilmu yang
sifatnya sangat formalistik dalam agama, melainkan segala kategori ilmu yang
mampu mengantarkan manusia untuk bisa menjawab segala pertanyaan tentang ‘diri
mereka sendiri’ sebagaimana di atas. Itulah mungkin sebabnya mengapa wahyu
pertama al-Quran berbunyi:
إقرأ بسم ربّك الذي خلق
“Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan”.
Dalam bahasa yang lebih mudah, ayat di atas akan bermakna
“carilah ilmu yang mampu menghantarkanmu mengenal siapa Tuhan-mu!”.
Komentar
Posting Komentar