Beberapa hari lalu, di WhatsApp Group, beredar sebuah
video Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin yang mengatakan bahwa generasi muda
Indoensia harus mampu menjadikan “budaya K-Pop atau Drakor” sebagai salah satu
inspirasi mereka dalam mengembangkan kebudayaan bangsa dan membentuk
kreatifitas baru, sehingga dengannya, masyarakat Indonesia mampu mempromosikan
kebudayaan dan kreatifitasnya ke dalam dunia hiburan internasional. Itulah
pesan yang bisa daku tangkap dalam melihat dan memahami statement dari Pak
Wapres.
Namun, bukanlah Netizen hebat kalau tak mampu
mempelintir pernyataan seorang tokoh dengan cara mengambil bagian yang bisa
mengundang perdebatan panas di dunia maya. Beberapa akun justru berkembang
karena kemampuan mereka dalam memberikan informasi sepenggal dengan intensi
yang mampu mengundang ribuan komentar membanjiri kolong “rumah” mereka.
Tanpa bermaksud untuk membela statement Pak Wapres
tentang Drakor dan K-Pop, karena bagaimana pun KH. Ma’ruf pasti akan lebih
sibuk dengan urusan kenegaraan, tapi yang paling tidak perlu diingat adalah,
fenomena Drakor dan K-Pop, adalah sebuah trend yang cukup baru dan
sangat diminati oleh pasar Indonesia. Memang, Indonesia adalah “pasar bagus”
untuk semua jenis hiburan, bukan hanya dalam dunia hiburan saja, bahkan Nabi
Palsu, Malaikat dengan SK berstempel basah, yang mengaku Tuhan, peramal kiamat,
bahkan kaum perindu kejayaan Majapahit dan kerajaan Sunda yang kemudian bangun
siang bolong seraya ingin membangun peradaban dunia, juga ada di negeri
“untaian zambrud khatulistiwa” ini.
Kembali ke masalah Drakor dan K-Pop, daku sendiri tidak
begitu berminat dengan dua hal ini, lebih bagus nonton film “Dunia Terbalik” di
RCTI, yang setiap plot ceritanya menggambarkan kehidupan sehari-hari. Tapi,
paling tidak, kita sama-sama mengetahui, bahwa bangsa Indonesia dari zaman
dahulu kala memang suka budaya impor. Baju impor, makanan impor, pikiran impor,
bahkan urusan “sempak” pun harus diimpor juga.
Seruan untuk tidak impor bukanlah sekali dua kali
disampaikan oleh para aktifis atau pegiat produksi di Indonesia. Tapi sayang,
karena impor itu sudah membudaya dan mendarah daging, apa boleh buat, memang
dasar mental rakyatnya yang lebih senang mengapresiasi kebudayaan dari luar
dari pada hasil keringat orang-orang dari dalam.
Tradisi impor bagi bangsa Indonesia bisa dirujuk dari
rentetan sejarah yang panjang. Sikap keterbukaan masyarakat Indonesia dalam
satu sisi membuat berbagai kebudayaan dan tradisi dari luar dengan mudah
memberikan pengaruh, sebagian ada yang baik, meskipun banyak pula yang busuk. Agama,
merupakan hal yang tak terpisahkan dari jati diri bangsa ini sebagai sebuah
bangsa. Agama-agama besar yang hari ini berkembang di negeri ini, semuanya
merupakan hasil dari proses panjang persentuhan orang-orang awal nusantara
terhadap agama lain yang datang.
Kosmopolitanisme sebagai sebuah bangsa inilah yang
membuat budaya dan tradisi bangsa Indonesia selalu rentan untuk dipengaruhi,
atau dalam bahasa halusnya “disepuh” dengan kebudayaan lain di luarnya.
Masalahnya adalah, bangsa Indonesia memiliki pengalaman
yang tidak selalu baik dalam hal keterbukaan pada tradisi dan kebudayaan ini. Proses
perkawinan budaya kerap kali tidak seimbang, seringkali otentitas budaya
Indonesia sendiri harus tergerus, bahkan hingga habis oleh karena infiltrasi
yang begitu kuat dari budaya luar yang beroleh tempat dominan di dalam. Ajakan
untuk menjadi manusia modern yang berangkat dari semangat “think locally,
doing globally” ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan. Terlalu sering
budaya bangsa ini terpukul mundur manakala bersikap terbuka terhadap kebudayaan
luar.
Dalam dunia musik misalnya, H. Rhoma Irama adalah maestro
musik Dangdut yang tiada duanya. Satu-satunya musik yang diramu dari budaya musik
masyarakat asli Indonesia yang sukses mengimbangi kecenderungan musik dari
berbagai negara lainnya, dan Indonesia patut berbangga karena sampai hari ini
Dangdut masih terus eksis. Namun, Dangdut tidaklah tumbuh dengan sendiri, dia
tumbuh dan berkembang seiring masuknya musik-musik India yang terkenal
mendayu-dayu dan “genit”. Di sinilah, proses persilangan antara musik
tradisional bangsa Indonesia yang hari ini menjadi Dangdut beroleh begitu besar
pengaruh dari India.
Rhoma Irama paling tidak mampu menyelamatkan otentitas
Indonesia lewat kejeniusannya dalam meramu sebuah musik, mulai dari lirik
hingga komposisi dan aransmennya. Namun, bagaimana dengan pemusik Dangdut di
beberapa daerah, salah satunya Madura. Industri musik Dangdut di Madura, selain
kental nuansa Islamnya, juga begitu terpaku pada keindahan nada-nada lagu
India. Hampir setiap ada lagu baru dari India, selalu ada versinya dalam Bahasa
Madura. Ini adalah bentuk ketidakmampuan budaya bermusik masyarakat Madura
dalam meramu budayanya sendiri, sehingga begitu dominan dalam “menjiplak” lagu-lagu
yang datang dari luar, khususnya India.
Dalam masalah kebudayaan berpakaian misalnya, kita
mendapatkan tradisi dan budaya bangsa dalam hal ini begitu lemah. Meski kita
tahu ada Hari Batik, di beberapa daerah beberapa pemimpin berusaha kembali
menyemarakkan pakaian-pakaian adat dalam berbagai event, tetap saja
tidak akan pernah menjadi pakaian keseharian. Selain karena eksotisme yang
terlalu mencolok dalam setiap pakain adat, terpaan budaya fashion dari
Barat, atau bahkan Arab teralu dominan dan semakin kuat. Akibatnya, pakaian
adat hanya dijadikan pakaian yang dipakai untuk acara-acara seremonial seperti
pernikahan atau hari-hari besar Nasional. Dalam kehidupan sehari-hari, tak
pernah kita temukan.
Seruan Pak Wapres beberapa hari yang lalu, yang bahkan
telah di-counter pula oleh UAS-, agar mampu menjadikan Drakor dan K-Pop
sebagai pemantik bagi munculnya daya kreatif anak muda Indonesia dalam rangka
menjadikan tradisi lokal yang mereka miliki agar bersifat global, sepertinya
harus dipikir ulang, karena bagaimana pun, sikap kosmopolitan bangsa Indonesia
dalam menerima kehadiran atau sekadar mengambil inspirasi dari budaya luar, tak
selamanya berjalan sesuai harapan. Budaya bangsa kita dalam beberapa hal masih
begitu rapuh, meski Presiden dalam tiap upacara Agustusan selalu memakai
pakaian adat yang menunjukkan keberagamaan budaya, tapi tetap saja rentan.
Komentar
Posting Komentar