Status Quo Mazhab

 


Ramadan 2020 ini aku masih di Parit Serong untuk mengabdi di Pesantren Baitul Mubarok, salah satu pesantren cabang dari Ponpes tertua di Kalimantan Barat, yakni Pesantren Al-Jihad. Ini adalah ramadan ketiga aku di pesantren ini. Semasa ramadan ini, aku bertugas untuk membaca kitab Tafsir al-Fatihah yang dirangkum oleh KH. Yasin Asymuni dari kitab Tafsir Mafatihul Ghaib karya Imam Ar-Razi. Kitab ini termasuk tebal, sebab ini sudah tahun kedua pembacaan kitab, dan belum juga hatam. Tapi aku menargetkan 21 Ramadan ini sudah selesai, dan aku bisa rehat menjalankan ibadah puasa lebih fokus lagi dengan ibadah (cihuy, sok alem, camyeye)

Aktifitas tak banyak berubah, apalagi kehidupan memang lagi tak normal karena corona. Bedanya, kali ini untuk beberapa malam-malam ramadan, aku berkesempatan untuk Live Streaming di Nukhatulistiwa.com guna membaca dan mengulas beberapa kitab kelas-kelas menengah atas. Salah satu kitab yang kubaca ditemani beberapa kolega dari pada aktifis-aktifis muda nan-jomblo Nahdlatul Ulama adalah karya-karya Ibnu Qoyyim al-Jauziyah. Seorang ulama dan penulis Islam yang prolifik nan produktif. Sayang, karya-karya agungnya tak banyak dibaca di kalangan pesantren, mungkin karena memiliki pola berijtihad yang beda dengan kebanyakan Sadah Syafi’iyah.

Fokus pada baris terakhir dari paragraf di atas, karya Ibnu Qoyyim al-Jauziyah alih-alih laku di pesantren, malah orang-orang yang selama dikenal dengan sebutan salafi yang justru rajin mengkonsumsi kitab-kitabnya Ibnu Qoyyim. Meski sebagian besar yang mereka baca hanya kitab-kitab Ibnu Qoyyim yang kelas-kelas populer seperti Zadul Ma’ad, al-Fawa’id atau lainnya. Sedang I’lamul Muwaqqi’in misalnya tetap kurang dibaca, bahkan di kalangan salafi sekali pun.

Padahal kalau kita baca beberapa karya-karya beliau yang besar, sebut saja I’lamul Muwaqqi’in, atau Jala’ul Afham, Fiqhussholah atau kitab beliau yang spesifik membahas politik Islam al-Thuruq al-Hukmiyah fis Siyasah al-Syar’iyah tentu sangat padat dengan beberapa perspektif yang baik dan segar. Keengganan membaca kitab-kitab Ibnu Qoyyim boleh jadi juga disebabkan oleh stigma yang selama ini menganggap bahwa pemikiran beliau banyak yang melenceng dari garis alur mazhab mayoritas, yakni Syafi’i. Kalau demikian alasannya, maka masalah selesai.

Keengganan membaca atau mengkaji pemikiran ulama-ulama Islam di luar mazhab atau corak pemikiran mainstream sebenarnya adalah tradisi yang pudar hari ini. Para santri di pesantren banyak yang cuma dibekali pemahaman dan gaya berijtihad Syafi’iyyah saja, tanpa dibukakan ruang bagi kemungkinan mengadopsi Maliki, Hanafi atau Hanbali sebagai salah satu sumber rujukan dalam mengambil hukum. Inilah yang membuat semakin kuatnya mazhab Syafi’i di sini, dan semakin menurunnya minat membaca beberapa karya-karya ulama lain di luar lingkungan mazhab yang dianut.

Gaya membaca yang seperti ini bisa menimbulkan sikap eksklusif yang berlebihan atau terlalu mengedepankan nalar kemazhaban, sehingga boleh jadi akan terjadi kejumudan dalam pemikiran yang berbahaya untuk kelanjutan tradisi ijtihad yang tak tertutup atau ditutup.

Komentar