Alhamdulillah, sudah hampir tiga tahun ini daku mengabdi
di Ponpes Baitul Mubarok, Paret Serong. Sebuah pondok pesantren yang
dikelilingi kebun, penduduk yang ramah dan kompak serta iklim pesantren yang
tenang karena jauh dari hingar bingar bising perkotaan. Selama mengajar dan
mengabdi di Pesantren yang berdiri pertengahan tahun 2017 ini, daku memperoleh
banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang begitu berarti. Memahami karakteristik
santri, mengikuti setiap problem mendasar mereka, serta latihan sejenak jadi “kiai”.
Anugerah besar ini teramat daku syukuri, oleh karena
sedikit ilmu yang kupelajari dengan penuh minat di pesantrenku (al-Jihad) bisa
terus mengalir dan berjalan di tengah-tengah para santri. Daku mengajar pagi,
siang, sore hingga malam. Menyalurkan titipan ilmu para guru yang dibebankan di
pundakku. Syukur itu kian membuncah, manakala kutemukan banyak sekali
orang-orang yang sebenarnya lebih kompeten dariku dari sisi keilmuan, namun tak
bisa mengalirkan amanah keilmuan itu kepada tempatnya.
Hidup di tengah-tengah para santri adalah satu anugerah
yang harus terus dijaga. Mengingat, pesantren adalah tempat bersemainya
bibit-bibit generasi muda Islam yang akan menjadi pemangku keagamaan di
waktu-waktu yang akan datang. Di pundak mereka terpikulkan amanah untuk terus
menghidupkan ilmu-ilmu agama ini hingga masa-masa yang akan datang. Oleh karena
itulah, pesantren harus tetap bertahan. Pesnatren harus menjadi tempat terbaik
untuk mendalami Islam. Karena di sana tempat orang-orang mengaji dan
memperbaiki diri dengan ikhlas.
Selama mengabdi, ada 13 kitab yang sudah kubaca dihadapan
mereka, mulai dari kitab yang berisi materi dasar Nahwu Shorof, yakni Matan
Jurumiyah, Mukhtashor Jiddan, Syarh Amrithi (al-Taqrirot al-Jaliyyah), Kailani
Izzi, Syarh Nadzom al-Maqshud (Aunul Malikil Ma’bud), hingga Qawa’id al-I’lal. Begitu
juga, kitab-kitab fikih mulai dari Safinatun Najah, Riyadhul Badi’ah,
al-Ghayatu wa al-Taqrib, maupun kitab akhlak seperti Ta’limul Muta’allim. Tak lupa,
ada dua kitab Tafsir yang juga sempatk daku baca hingga hatam yakni: Tafsir
Yasin karya Hamami Zadeh dan Tafsir al-Fatihah karya Ahmad Yasin Asymuni. Dalam
kajian Ushul Fiqh, kitab yang tuntas dikaji adalah al-Waroqot karya Imam
al-Haromain al-Juwaini. Itu belum termasuk beberapa sekunder yang bersifat
pendamping seperti al-Amtsilath al-Tahsrifiyyah karya KH. Ma’shum bin Ali, dan
beberapa buku yang kutulis sendiri untuk “menemani para santri belajar” seperti
a;-Thariqul Yasir (1 dan 2), al-Ahammiyah fi al-Ta’rifat al-Ajurumiyah dan Zubdah
al-Ta’rif fi Ilmi al-Tashrif.
Jumlah kitab yang dikaji tersebut menunjukan bahwa
pesantren kecil ini akan terus bergerak dari sisi keilmuannya. Sungguh, trend
positif ini harus terus dijaga dan diawetkan, oleh karena ancaman lembaga
pendidikan formal yang terus menerjang dan bisa membuat pesantren tercerabut
dari akar-akan otentitasnya.
Komentar
Posting Komentar