Makna Maulid Nabi

 

Kata Maulid berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari huruf dasar wa la da (ولد) yang berarti telah lahir. Dalam ilmu shorof (morfologi), kata dengan wazan (timbangan akar kata) seperti ini seringkali menunjukkan tempat atau waktu (isim zaman atau isim makan). Dengan kata lain, kata Maulid ini bisa berarti “tempat atau waktu lahir”. Salah satu ayat dalam al-Quran berbunyi:

ومن يكفر به من الاحزاب فالنار موعِده

"Barang siapa yang ingkar di antara berbagai golongan itu, maka neraka adalah tempat yang diancamkan”.

Istilah Maulid kemudian terus mengalami kristalisasi, sehingga terjadi pergerakan makna dari yang bersifat kebahasan dan umum, menjadi makna keistilahaan yang spesifik. Sehingga, ketika disebutkan kata ini, maka konotasi maknanya menjadi tertuju kepada sebuah aktifitas mengingat Nabi. Bahkan di Indonesia, kata Maulid ini semakin khusus kepada sebuah perayaan yang diselenggarakan guna mengingat kelahiran Nabi Muhammad yang bertepatan dengan bulan Rabi’ul Awwal tanggal dua belas.

Pemilihan kata Maulid sebagai nama bagi setiap perayaan yang ditujukan untuk mengingat Nabi, memujinya serta membaca napak tilas perjuangannya adalah pilihan kata yang tepat. Karena kata ini termasuk dalam cakupan kaidah:

من ذكر الجزء وارادة الكلّ

“Menyebut sebagian dari sebuah perkara, namun yang dimaksud adalah totalitas darinya”.

Hal ini sama dengan penyebutan al-Quran tentang salat yang seringkali diwakilkan dengan kata “sujud”. Ini disebabkan oleh karena sujud adalah hal yang paling esensial yang menunjukkan totalitas dari salat yang dikerjakan oleh setiap orang.

Demikian kata Maulid yang menujukkan pada “tempat dan waktu kelahiran” yang kemudian dijadikan nama bagi setiap aktifitas atau perayaan yang ditujukan untuk mengingat Nabi Muhammad Saw. Karena “tempat dan waktu lahir” adalah fase paling utama dari sebuah proses panjang Nabi Muhammad dalam menjalankan misinya membawa kedamaian bagi semesta. Mengingat hari lahir dan tempat lahir beliau adalah gerbang utama untuk melihat sejarah beliau lebih dekat lagi, sehingga menjadi benderanglah segala tauladan yang beliau tampilkan ke penjuru semesta.

Mengingat dan merayakan hari spesial Nabi Muhammad, yakni bulan Rabiul Awal –yang dalam bahasa Indonesia berarti “musim semi pertama”- adalah sebuah langkah untuk menghidupkan kembali segala tauladannya, sehingga betapa pun jauh jarak memisahkan antara Nabi dan umatnya, namun semerbak tauladannya akan tetap tersemai di dalam sanubari. Tidak ada yang lebih penting dari hal ini dalam memaknai Maulid Nabi.

Bersenang dan berbahagia dengan anugerah besar bagi alam haruslah ditujukan kepada sesuatu yang benar-benar berharga keberadaannya. Seperti sepasang suami istri yang lama menantikan buah hati, tak berbilang bahagianya, manakala Allah menghadirkan di hadapan mereka seorang bayi yang telah mereka tunggu-tunggu untuk menjadi qurroh a’yun (penyejuk mata) bagi kebahagiaan keluarga mereka. Maka, bersenang kepada hadirnya malapetaka adalah satu hal yang belum pernah terjadi pada seorang manusia.

Kelahiran dan kehadiran Nabi Muhammad, empat belas abad yang silam, adalah anugerah besar bagi dunia. Kehadirannya merupakan wujud dari kasih sayang Allah kepada manusia yang waktu itu berada dalam fase terendah dalam berbagai sisi kehidupan. Dari sisi keagamaan, terjadi penyimpangan di sana-sini. Bahkan, kitab-kitab Nabi terdahulu yang harusnya menjadi pedoman bagi manusia telah begitu banyak mengalami pergeseran dan pemalsuan. Belum lagi kondisi Mekah dan sekelilingnya, kondisi masyarakat Arab yang kemudian digelari peradaban Jahiliyyah adalah bukti bahwa moralitas manusia benar-benar berada dalam titik yang paling rendah.

Namun, dalam waktu yang tidak lama, kurang lebih dua puluh tiga tahun, dakwah dan perjuangan beliau mampu mengubah kegersangan peradaban Arab yang Jahilyyah menjadi sebuah peradaban yang mampu membawa kedamaian dan pembebasan bagi seluruh alam raya yang “dialiri” oleh sungai tak kering, yakni keteladaan dan cinta Nabi Muhammad Saw.

وما ارسلناك الا رحمة للعالمين

“Dan tidak lah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta”.

Komentar