Abdul Ghofur, seorang teman di kampus IAIN Pontianak,
yang kebetulan satu organisasi dan otomatis satu ideologi juga, menemuiku dan
teman-teman di halaman masjid al-Itihhad yang luas. Beberapa bulan yang lalu,
dialah yang memintaku untuk silaturrahim ke daerah Meliau ini. Ajakannya
langsung kusanggupi, karena dia ingin mengajakku merasakan suasana ngopi di
daerah pesisir Kapuas ini dan jauh dari pusat ibu kota (Pontianak).
Kami berbincang-bincang sejenak, menanyakan prihal
perjalanan yang sedikit susah namun menyenangkan. Kebetulan, Ghofur ini adalah
salah satu putera asli Meliau yang guru ngajinya adalah Bu Mis itu. Setelah
menyeruput makan nasi dan menyeruput kopi di kediaman gurunya itu, aku langsung
meluncur ke rumah Ghofur yang tidak begitu jauh dari rumah Bu Mis. Teman-temaku
yang lain memilih untuk rehat sejenak.
Rumah Ghofur, sebenarnya sebuah kontrakan berukuran
sedang untuk pasangan suami istri yang belum berusian dua tahun. Sesampainya,
aku izin untuk sekadar mandi agar lebih bugar ketika ngopi nanti. Dia
dan istrinya menyambutku ramah dan mempersilahkan untuk berbugar ria terlebih
dahulu.
Sesampainya di bagian belakang rumahnya, aku melihat ada
beberapa perabotan rumah yang memang tidak banyak, karena memang rumah ini
sekadar transit saja sambil menunggu rumah mereka rampung. Istrinya yang
seorang bidan tak gengsi untuk diajak hidup sebentar di kontrakan dengan bagian
rumah belakang adalah sungai lepas yang luas. Setelah mandi kemudian makan, aku
dan Ghofur bersiap untuk segera meluncur ke tempat ngopi, juga tak
seberapa jauh dari gang di mana ia mengontrak.
Edisi ngopi malam ini adalah di rumah Rois Syuriah
MWC NU Kec, Meliau, yakni Bapak Ahmadi, atau lebih dikenal Pak Da’i. Rambutnya
putih, namun tampak muda dengan kumis tebal dan wajah yang berbinar. Kami masuk
ke rumah itu, dan sudah duduk sekitar tujuh atau delapan peserta ngopi,
kesemuanya adalah pengurus Nahdlatul Ulama di Meliau. Setelah basi-basi sambil
meghisap rokok dan kopi, kami mulai konsentrasi, mengumpulkan mood sebelum
mulai menyeruput kopi lagi.
Oh ya, menurut Ghofur, sebutan Pak Da’i untuk Bapah
Ahmadi disebabkan oleh ketekunannya dalam berdakwah sejak muda sampai hari ini.
Di saat masyarakat Meliau membutuhkan bimbingan agama, Bapak Ahmadi yang punya
latar belakang NU yang kental ini terus berjuang untuk memperdekat masyarakat
di sekitarnya kepada ajaran Islam.
Selang beberapa lama di kediaman beliau yang sederhana
ini, kami mulai bincang-bincang seputar ilmu Tafsir al-Quran. Hal ini penting
dibahas, mengingat sebagian besar yang hadir adalah orang-orang yang ingin
memahami al-Quran. Namun, sayang sekali mereka tidak memiliki penguasaan
terhadap keilmuan-keilmuan primer yang harus dipelajari jika mereka ingin
mengetahui kandungannya. Posisiku dalam hal ini adalah berusaha untuk
memperjelas beberapa hal seputar teknik-teknik ringan yang bisa membantu mereka
memahami al-Quran, serta mengajak mereka untuk tidak mendewakan akal sebagai
sarana memahaminya.
Dalam sebuah riwayat hadis disebutkan:
من قال في
القرأن برأيه, فليتبوّء مقعده من النار
“Barang siapa yang memahami al-Quran hanya dengan akal, maka
hendaklah dia mengambil tempatnya di neraka”.
Akal adalah anugerah terbesar dalam hidup manusia, dengan
akal segala hal akan menjadi jelas dan punya makna. Seorang yang tersesat, akan
beroleh jalan keluar jika akalnya mampu menghubungkan beberapa kondisi yang
menjadi tanda bagi jalan buntu yang membuatnya berputar-putar di tengah
belukar.
Dalam hal memahami al-Quran, posisi akal sebenarnya
sangat diperlukan. Hadis di atas menurut para pakar tidaklah dimaksudkan untuk
melarang seorang menggunakan akalnya dalam memahami teks al-Quran, melainkan
penegasan, bahwa meskipun akal adalah sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, tetapi jangan lupa, akal juga akan menjadi sumber dari
kesesatan yang bisa jadi ditemui seseorang di pertengahan jalan.
Oleh karena itu, keberadaan akal tetap harus dikontrol
dengan nash, dan juga harus diasah dengan pemahaman. Jika hanya bermodal akal
belaka, orang yang malas ambil wudhu untuk setiap solat akan berwudhu sebanyak
dua atau tiga kali, hingga jika kemudian dia kentut, masih sisa dua atau satu. Tapi,
agama tidak mengijinkan itu, karena wudhu’ tak sama dengan isi pulsa yang demi
antisipasi beberapa minggu bisa isi ulang atau pakai unlimited.
Demikian, dalam memahami al-Quran, akal sangatlah
diperlukan, tapi haruslah disandingkan dengan beberapa keilmuan lain yang
membantu kita memahami al-Quran secara mendalam, salah satunya bahasa Arab.
Komentar
Posting Komentar