Cahaya dari Meliau (2)


Abdul Ghofur, seorang teman di kampus IAIN Pontianak, yang kebetulan satu organisasi dan otomatis satu ideologi juga, menemuiku dan teman-teman di halaman masjid al-Itihhad yang luas. Beberapa bulan yang lalu, dialah yang memintaku untuk silaturrahim ke daerah Meliau ini. Ajakannya langsung kusanggupi, karena dia ingin mengajakku merasakan suasana ngopi di daerah pesisir Kapuas ini dan jauh dari pusat ibu kota (Pontianak).

Kami berbincang-bincang sejenak, menanyakan prihal perjalanan yang sedikit susah namun menyenangkan. Kebetulan, Ghofur ini adalah salah satu putera asli Meliau yang guru ngajinya adalah Bu Mis itu. Setelah menyeruput makan nasi dan menyeruput kopi di kediaman gurunya itu, aku langsung meluncur ke rumah Ghofur yang tidak begitu jauh dari rumah Bu Mis. Teman-temaku yang lain memilih untuk rehat sejenak.

Rumah Ghofur, sebenarnya sebuah kontrakan berukuran sedang untuk pasangan suami istri yang belum berusian dua tahun. Sesampainya, aku izin untuk sekadar mandi agar lebih bugar ketika ngopi nanti. Dia dan istrinya menyambutku ramah dan mempersilahkan untuk berbugar ria terlebih dahulu.

Sesampainya di bagian belakang rumahnya, aku melihat ada beberapa perabotan rumah yang memang tidak banyak, karena memang rumah ini sekadar transit saja sambil menunggu rumah mereka rampung. Istrinya yang seorang bidan tak gengsi untuk diajak hidup sebentar di kontrakan dengan bagian rumah belakang adalah sungai lepas yang luas. Setelah mandi kemudian makan, aku dan Ghofur bersiap untuk segera meluncur ke tempat ngopi, juga tak seberapa jauh dari gang di mana ia mengontrak.

Edisi ngopi malam ini adalah di rumah Rois Syuriah MWC NU Kec, Meliau, yakni Bapak Ahmadi, atau lebih dikenal Pak Da’i. Rambutnya putih, namun tampak muda dengan kumis tebal dan wajah yang berbinar. Kami masuk ke rumah itu, dan sudah duduk sekitar tujuh atau delapan peserta ngopi, kesemuanya adalah pengurus Nahdlatul Ulama di Meliau. Setelah basi-basi sambil meghisap rokok dan kopi, kami mulai konsentrasi, mengumpulkan mood sebelum mulai menyeruput kopi lagi.

Oh ya, menurut Ghofur, sebutan Pak Da’i untuk Bapah Ahmadi disebabkan oleh ketekunannya dalam berdakwah sejak muda sampai hari ini. Di saat masyarakat Meliau membutuhkan bimbingan agama, Bapak Ahmadi yang punya latar belakang NU yang kental ini terus berjuang untuk memperdekat masyarakat di sekitarnya kepada ajaran Islam.

Selang beberapa lama di kediaman beliau yang sederhana ini, kami mulai bincang-bincang seputar ilmu Tafsir al-Quran. Hal ini penting dibahas, mengingat sebagian besar yang hadir adalah orang-orang yang ingin memahami al-Quran. Namun, sayang sekali mereka tidak memiliki penguasaan terhadap keilmuan-keilmuan primer yang harus dipelajari jika mereka ingin mengetahui kandungannya. Posisiku dalam hal ini adalah berusaha untuk memperjelas beberapa hal seputar teknik-teknik ringan yang bisa membantu mereka memahami al-Quran, serta mengajak mereka untuk tidak mendewakan akal sebagai sarana memahaminya.

Dalam sebuah riwayat hadis disebutkan:

من قال في القرأن برأيه, فليتبوّء مقعده من النار

“Barang siapa yang memahami al-Quran hanya dengan akal, maka hendaklah dia mengambil tempatnya di neraka”.

Akal adalah anugerah terbesar dalam hidup manusia, dengan akal segala hal akan menjadi jelas dan punya makna. Seorang yang tersesat, akan beroleh jalan keluar jika akalnya mampu menghubungkan beberapa kondisi yang menjadi tanda bagi jalan buntu yang membuatnya berputar-putar di tengah belukar.

Dalam hal memahami al-Quran, posisi akal sebenarnya sangat diperlukan. Hadis di atas menurut para pakar tidaklah dimaksudkan untuk melarang seorang menggunakan akalnya dalam memahami teks al-Quran, melainkan penegasan, bahwa meskipun akal adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tetapi jangan lupa, akal juga akan menjadi sumber dari kesesatan yang bisa jadi ditemui seseorang di pertengahan jalan.

Oleh karena itu, keberadaan akal tetap harus dikontrol dengan nash, dan juga harus diasah dengan pemahaman. Jika hanya bermodal akal belaka, orang yang malas ambil wudhu untuk setiap solat akan berwudhu sebanyak dua atau tiga kali, hingga jika kemudian dia kentut, masih sisa dua atau satu. Tapi, agama tidak mengijinkan itu, karena wudhu’ tak sama dengan isi pulsa yang demi antisipasi beberapa minggu bisa isi ulang atau pakai unlimited.

Demikian, dalam memahami al-Quran, akal sangatlah diperlukan, tapi haruslah disandingkan dengan beberapa keilmuan lain yang membantu kita memahami al-Quran secara mendalam, salah satunya bahasa Arab.

 

 

Komentar