Urusan Identitas

 


Artis cantik Agnes Monica beberapa hari terakhir ini banyak di-bully sama orang-orang akibat pengakuan faktanya bahwa dia tidak berdarah Indonesia. Secara face, Agnes Mo memang tak mirip dengan wajah orang Indonesia asli. Karena dia tak ada kemiripan dengan wajah orang-orang Madura tetanggaku, tak ada mirip pula dengan wajah-wajah orang-orang yang kemarin turut serta mem-bully di medsos. Karena dia cantik, dan unik tentunya.

“Aku pusing tuh dengerin interveuw­-nya?” Ujarku.

“Kenapa?” Tanya Mahas.

“Bahasa Inggrisnya si-Mo lebih bagus dari dosenku di kampus”. Jawabanku sontak membuat Mahas ketawa seperti di Wa “xaxaxa”.

Cuma bangsa kita secara umum memang harus belajar lebih banyak untuk mengelola soal identitas. Karena kalau zaman Prakemerdekaan dulu, identitas keindonesiaan itu digalang guna mempersatuarahkan perjuangan untuk mengusir penjajah dan membangun suatu bangsa yang mandiri. Himpunan Indische Vreneging yang dimotori Bung Hatta di Belanda, merubah namanya menjadi Persatuan Indonesia adalah asal mula penemuan satu identitas menuju konsepsi berbangsa dan bernegara yang sampai ini terus dijaga.

Namun, hari ini identitas itu terjadi peleburan di sana-sini. Peleburan berbagai identitas pertama dilakukan dalam sebuah momen Sumpah Pemuda. Tak ada lagi perjuangan dan gerakan yang didasarkan kepada rasa kesukuan, tapi perjuangan harus diarahkan kepada satu kepentingan yang lebih besar, rasa keterjajahan menjadi perekat utama untuk membentuk nasionalisme “tua” yang telah menyelamatkan bangsa ini dari siksaan berabad oleh kolonial Belanda.

Ketika identitas nasional ditemukan, rasa nasionalisme dipupuk dan dikuatkan, maka terbentuk sebuah identitas baru yang semakin. Pasca benturan kuat antara Islam dan Nasionalisme yang tak “hatam” sampai saat ini, gerakan identitas nasional seperti mengalami turbulensi yang berbahaya. Gerakannya mulai tidak sentrifugal. Dia menguat dan berujung dengan lahirnya beberapa kekonyolan identitas.

Mahas punya argumentasi menarik soal ini. Menurutnya “identitas itu seperti celana dalam, kalau terlalu longgar enggak enak, karena gampang “Si Anu” jadi gampang keluyuran. Kalau terlalu sempit, sakit seperti terpasung, udah kayak Pers di zaman Orde Baru. Kalau udah terpasung, siap-siap dia akan memberontak”.

Dan, kasus Agnes Mo kemarin itu menjadi tanda, bahwa identitas nasional kita selama ini terlalu pengap bagi satu orang. Hingga, bagi mereka yang dobol, akan cepat bereaksi dengan dengan argumentasi bodoh yang memposisikan seolah-olah Agnes Monica itu tidak mengakui identitasnya.

Aku dan Mahas memilih untuk tidak menggubris isu receh itu terlalu dalam, karena yang namanya orang “telat berpikir” selalu ada pinggiran jalan.

“Udah kayak tong sampah dong?” Tanya Mahas.

Kami jawab dengan nada sama, “wahaha”, kayak di WA.

Komentar