Setidaknya sudah enam minggu terakhir ini kita
bergelut tiada henti dengan wabah Covid-19 ini, semua sibuk membincang
perkembangan pandemi ini dengan begitu serius, seolah tiada yang lebih penting
dari sekian macam topik selain isu seputar orang yang positif, sembuh atau yang
meninggal. Tenaga kita memang terforsir habis oleh karena semua berita dari
media yang hari-hari mengabarkan perkembangan wabah penyakit terbesar saat,
mungkin juga abad ini.
Yang paling mengkhawatirkan dari adanya
pandemi ini, bukan sekadar isu kejenuhan ekonomi atau ancaman resesi, bukan
pula soal banyaknya orang yang putus pekerjaan karena terdampak oleh ketentuan
PSBB yang sudah dilakukan kira-kira tiga atau empat minggu terakhir ini. Yang
justru begitu mengkhawatirkan bagi kita adalah pupusnya motivasi untuk bangkit
melawan bencana ini, lalu di sela-sela itu semua, pesimisme menyabar, dunia
seolah berhenti berputar sejenak. Lalu manusia terbang, mengambang, tanpa
pijakan.
Ramadan kali ini memang berbeda dengan adanya
corona. Dua atau tiga tahun silam, atau di fase awal tahun 2020, kita belum
pernah membayangkan melewati bulan agung bagi umat muslim sedunia ini sebegitu
merana. Iklan-iklan di televisi atau di Youtube yang biasanya semarak
mengunggah keceriaan, hari ini mereka dipaksa untuk mendesain iklan dengan
narasi narasi optimisme sebuah perjuangan di tengah tirai-tirai kemurungan.
Hanya iklan sirup Marjan yang konsepnya masih sama, tiada perubahan.
Hadirnya Corona secara tiba-tiba, itulah
musababnya. Tiada kebijaksanaan yang lebih tinggi di tengah badai musibah yang
bisa kita perbuat saat ini selain memaknai kehadirannya, bahwa tiada sesuatu
pun yang begitu pasti di dunia ini. Rencana, trajektori, rancangan proyek,
program kerja serta berbagai istilah lain yang menunjukkan betapa visionernya
kita, hari ini harus terhenti- mudah-mudah tidak lama-, menyusut pada sekadar
upaya untuk melakukan recovery diri.
إنّما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
Kerapuhan manusia dalam memahami dunia bukan
barang baru. Dia sudah seumur dengan keberadaan manusia itu sendiri. Bencana-bencana
besar yang meluluhlantakkan dunia bukan barang baru bagi kita. Al-Quran sendiri
berkali-kali menjelaskan tentang punahnya peradaban-peradaban besar yang pernah
menjadi raksasa di dunia ini. Bahkan separuh bumi kita pernah tenggelam karena
banjir bandang pada zaman Nabi Nuh As.
Di Indonesia sendiri, secara perlahan, untuk
beberapa tahun terakhir ini, berbagai bencana alam yang mengerikan mulai dari
Tsunami sampai Likuifaksi menjadi “salam pembuka” bagi runtuhnya beberapa
rencana-rencana hebat tentang pembangunan ekonomi, infrastruktur dan beberapa
hal lain yang sulit diprediksi kehadirannya. Tiada yang tahu kapan bencana itu
datang, kita hidup dalam arena ketakutan, dan itu sudah lama. Mungkin karena
itulah Allah Swt berfirman:
ولنبلونّكم بشيئ من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشّر
الصابرين
Manusia akan diuji pertama kali bukan dengan
rasa lapar, defisit finansial atau buah-buahan, atau bahkan jiwa, melainkan
ketakutan (khouf) yang pertama kali menteror manusia. Jika ketakutan
sudah melingkup dalam kehidupan seseorang, atau manusia secara umum, maka
bencana-bencana lainnya akan turut serta menyeruak masuk tanpa diundang.
Ketakutan itulah yang beberapa minggu terakhir
ini mengintimidasi kehidupan kita. Masuknya Ramadan tahun ini menjadi saksi
bahwa umat manusia menyambutnya dengan gaya yang tak biasa. Namun, dengan
segala keutamaan dan keagungannya, dia datang dengan membawa “kado” luar biasa,
yang bisa kita jadikan harapan dalam mengobati penyakit ketakutan itu, energi
positif yang penuh dengan nuansa spiritual masuk ke dalam relung-relung
kehidupan manusia yang terus menurun, obat ini bisa jadi harganya lebih mahal
dari sekadar vaksin anti-virus yang terus diupayakan.
Seorang bijak bestari, guru ngaji
kampung berujar di tengah ancaman resesi ekonomi dunia di sela-sela Ramadan
ini.
“Kalau bulan ramadan sih kita tenang saja,
insha Allah yang namanya rejeki pasti ada”.
Ucapan ini mungkin terdengar biasa saja, tak
ada yang spesial, apalagi diucapkan oleh orang-orang kampung yang memang
terbiasa dengan gaya “nrima” dengan segala pemberian Allah kepada
mereka. Bisa jadi aneh kalau hal ini diucapkan oleh orang-orang komplek Senayan
yang memang terbiasa dengan kemewahan.
Meski terdengar biasa, namun energi ucapan itu
bukan main muatan spiritualnya. Selain bernada tentang optimisme menghadapi
kehidupan, ucapan itu juga bisa jadi sumber bagi timbulnya rasa keberanian
melawan keterpurukan. Dengan tengah badai keputusasaan, depresi besar-besar dan
narasi-narasi kepanikan dan kerapuhan, kata-kata sederhana di atas menjadi
simbol, bahwa energi positif Ramadan akan secara perlahan mengambil ruang di
tengah-tengah liang ketakutan.
Ketakutan ini tiada yang tahu kapan akan
berakhir, walau pemerintah dengan begitu semangat, terus memberikan suntikan
optimisme, bahwa juni ini kita akan meraih kemenangan. Dalam kondisi yang belum
pasti, kapan badan wabah ini akan berakhir, sepertinya obat yang harus kita
upayakan ada terlebih dahulu adalah yang punya dosis lumayan efektif untuk
secara perlahan menghilangkan rasa takut itu dari sisi kita.
Keyakinan kiai kampung yang sederhana dan
simpel dalam memandang kehidupan di atas tampaknya bisa kita jadikan alat
terapi pertama untuk mulai memandang dunia lebih simpel lagi. Karena harus kita
akui, sejuta ketakutan yang kali ini menteror hari-hari kita boleh jadi karena
begitu banyak hal yang kita inginkan, sehingga kita begitu khawatir kalau saja
keinginan itu tak terwujud. Padahal, kehidupan itu sesimpel apa yang
disampaikan oleh Kiai kampung itu kepada kita.
Dengan pandangan hidup yang begitu simpel itu,
sebenarnya kita sedang berupaya untuk bersahabat dengan pandemi ini. Kita
sedang mencoba untuk menjinakkan segala ambisi kita yang selalu meminta lebih
dengan belajar menerima apa adanya, dengan cara memandang dunia ini, segala hal
yang ada di dalamnya dengan apa adanya pula. Ini bukanlah omong kosong, karena
sejatinya ketakutan kita terhadap corona semakin ke sini bisa jadi semakin
kecil, ketakutan besarnya adalah kepada dampak yang akan timbul oleh karenanya
dalam kehidupan kita pada hari-hari berikutnya.
Pada momen ramadan ini, sepertinya tidak ada
cara lain bagi kita selain menerima kehadiran corona itu sebagai sesuatu yang
mengisi kehidupan kita. Sudah cukup lama kita terus terkungkung oleh ketakutan
menyiksa itu, dengan semangat spiritualitas dan cara pandang kehidupan yang
baru, kebiasaan yang baru, kehati-hatian dan perhatian terhadap kebersihan yang
baru harus kita jadikan gaya baru untuk bisa menyesuaikan diri dengan virus
yang masih belum tahu kapan tepatnya akan berakhir ini.
Petuah orang tua-tua adalah “Kehidupan
tidaklah mudah”, dan kehadiran corona membuktikan kebenaran petuah itu. Kita
hanya perlu memahami ritmenya, beradaptasi lalu mulailah hidup..
Komentar
Posting Komentar