Pesantren Bak Cendawan

 


Pesantren di Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak begitu banyak, bak cendawan di musim hujan. Hampir di setiap sudut daerah mudah saja kita temui pesantren yang menyelenggarakan pendidikan agama dan umum guna memfasilitasi anak-anak sekitar untuk belajar. Jumlahnya mungkin tak sebanyak dengan pesantren di daerah Jawa Timur yang sejak lama dijuluki sebagai “Kota Santri”. Tapi, semakin waktu, gairah pembangunan pesantren terus berkembang.

Keberadaan pesantren-pesantren kali ini sudah masuk hingga ke daerah-daerah pelosok yang jauh dari hingar bingar kota. Pesantren ini rata-rata dirintis oleh para alumni pesantren dari Jawa yang kemudian pulang ke kampung halamannya, dan berangkat dari niat ingin mengabdi ke masyarakat, mereka kemudian mendirikan pesantren sebagai pusat belajar ilmu agama dan bahkan pelajaran umum.

Mula-mula mereka akan merintis langgar (semacam TPA) untuk anak-anak kecil belajar mengaji, atau mengajarkan satu atau dua orang anak tetangga untuk belajar mengaji kepada mereka, seiring berkembangnya waktu, pertambahan peserta mengaji akan terus bertambah, hingga kalau sudah datang waktunya, maka langgar itu akan segera dipersiapkan untuk dijadikan pesantren, yang mana santri sudah diwajibkan bermukim dan belajar secara intensif di pesantren itu.

Atau bisa juga menggunakan pola lain, seperti cara taktis untuk membangun pesantren adalah dengan menikahi anak Kiai Kampung yang menjadi sesepuh di daerah tersebut, kemudian membantu mertuanya mengajarkan santri-santri yang masih belum bermukim itu. Perlahan tapi pasti, sang menantu yang alumni dari pesantren terkemuka di Jawa atau di mana, akan menggantikan posisi sang mertua yang kian uzur, barulah kalau kondisi dan waktu sudah memungkin, sang menantu revolusioner ini akan bergerak ke depan, membangun pesantren dengan mengandalkan kekeramatan sang mertua. Tapi, it’s oke, dari pada hanya menjadi pengangguran kampung.

Paling tidak, itu adalah pola paling umum untuk membangun pesantren di manapun. Mereka harus terlebih dahulu hadir ke tengah masyarakat, memulai dari bawah dan hal paling sederhana, untuk kemudian kalau semua pertimbangan sudah mantap, barulah pesantren di buka. Pola pertama biasanya membutuhkan waktu yang agak lama, karena segala hal menuju pembangunan pesantren dikondisikan dari hal yang paling mendasar, seperti menarik simpati masyarakat dan sedikit narsis supaya memperoleh social’s recognition dari mereka. Sedangkan cara kedua lebih mudah, karena modal paling mendasar (setidaknya kharisma) sudah didapatkan dengan sistem menggandul.

Membangun pesantren mungkin bukan impian banyak santri abad ini yang lebih fleksibel dalam memandang tugas dakwah. Bagi santri zaman now ini, dakwah adalah satu aktifitas mengajak dengan sungguh serta dilandasi dengan keikhlasan disiasati dalam beragam pendekatan. Berbeda dengan santri zaman dahulu yang melihat dakwah sebagai satu ide yang bisa ditumbuhkan dengan satu dari sekian pendekatan saja, kalau bukan seni budaya, ya mendirikan pesantren atau padepokan. Hari ini, anda bisa menjadi penyanyi, youtuber, pemerintah, tukang sapu, dan lain-lain sembari memberikan dakwah sebisanya, tentu saja menjadikan media sosial sebagai alat penyampainya.

Meski demikian, membangun pesantren tetap saja suatu hal yang masih sangat presitisius. Karena perjuangan keras serta kharisma di depan masyarakat terhadap pesantren masih lah sangat tinggi, dan kita tidak bisa membandingkan kharisma antara Rhoma Irama yang berdakwah melalui nada Soneta-nya dengan KH. Anwar Manshur dengan Lirboyo-nya. Tentu saja, di hadapan masyarakat, yang nomor dua jauh lebih otoritatif dalam memberikan pencerahan terhadap satu dari beberapa problem yang mereka alami.

Pada suatu momen Bahtsul Masa’il (nyari-nyari masalah) di Pesantren Al-Jihad, guruku (KH. Ahmad Khoiri, pengasuh Ponpes al-Husna) bertanya bertanya tentang kondisi santri di Parit Serong (Baitul Mubarok). Beliau bertanya tentang perkembangan baca kitab kuning santri serta bagaimana cara yang bisa kulakukan dalam rangka meng-upgrade pemahaman mereka. Setelah kujelaskan secara singkat, tidak panjang dan tidak lebar sama dengan pendek, beliau kemudian menimpali “hari ini banyak pemilik pesantren berlomba-lomba nyari santri, tapi sedikit dari mereka yang benar-benar mengupayakan agar santrinya menjadi orang mengerti”.

Kata-kata beliau ini sungguh membuatku benar-benar ingin diam, tak ingin balik bertanya apalagi menimpali, aku hanya membatin saja, seraya membenarkan kenyataan itu. Ucapan beliau cukup membuatku tak punya impian untuk membangun pesantren, karena memang tak ingin. Tentu saja bukan karena aku ingin menjadi youtuber atau tergerak hati untuk menjadi anak Band seperti Wali.

 

 

Komentar