“Seharusnya semua orang di
dunia ini saling menghormati kapasitas orang selain dirinya sendiri. Kalau kau
terlalu memaksakan orang lain agar bertindak sesuai dengan pemikiran yang kau
miliki, apa bedamu dengan mereka-mereka yang doyan mencela karena berbeda?.”
“Tidak semua orang memiliki
pandangan sepertimu, yang dengan bangganya kau anggap bahwa pemikiranmu adalah
upaya melampuai (post) atau memperbaharui (new) sebuah pemahaman
usang. Mereka yang sering kau tuduh dengan kaum “bumi datar”, “pentol korek”,
“merecon banting” atau “sumbu pendek” juga berasal dari watak yang kurang bijak
manakala berhadapan dengan keragaman pemikiran yang ada di depannya”.
“Apakah kau menganggapku sama
seperti dengan “kaum bumi datar” itu, wak? Tulis Mahas suatu ketika, setelah
membaca chat-an panjangku di WhatsApp itu.
“Aku hanya ingin menguji
sejauhmana pemikiranku bisa hadir di tengah berbagai kecamuk dan dinamika
kehidupan yang terus mengembang. Aku ingin menawarkan perspektifku tentang
sebuah hal, dan bagiku satu-satunya langkah adalah dengan memberikan banyak
kritik terhadap berbagai realita sekitar kita hari ini.” Ujarnya, tak kalah
panjang.
Di kejauhan, di salah satu
bilik pesantren, Aku duduk sambil ngudut dengan tangan yang masih sibuk
mengelus layar kaca hape. Aku membalas tulisan pembelaan Mahas di atas dengan
bertanya “Jadi semua kritik yang kau berikan kepada beberapa pemikiran dan
kemapanan dari sebuah realita sosial yang ada di sampingmu itu hanya sekadar untuk
mengetahui sejauhmana, dan memperteguh eksistensi (pemikiran)mu di tengah
eksisten yang lain?”
“Begini, wak. Dalam
menghadapi sebuah fakta, seorang itu punya dua kapasitas yang boleh dijadikan
atribusi. Pertama, adalah how to explaine mengenainya, yang kedua
adalah how to change. Menjelaskan peristiwa itu tentu tak sama dengan
proyek bagaimana mengubahnya. Paling tidak, dengan melakukan kritik terhadap
berbagai realita sosial aku bisa hadir di tengah kemelut pemikiran itu.”
Katanya.
“Sampaikan kapan, Has,
pemikiranmu hanya akan menjadi serba-serbi yang tak kunjung mencapai satu
posisi yang benar-benar kuat dan mandiri? Sampai kapan kau hanya mengkor di
balik bayang-bayang realitas yang terus bergerak dinamis bersamaan dengan
sirkulasi di tengah-tengah kekuasaan yang penuh intrik?”
Di pojok sebuah warkop, aku
bisa menangkap kegelisahan Mahas dalam menjawab pertanyaan setengah menggurui
yang kubalas ke dia. Mahas hanya membacanya, dan tak bergeming untuk membalas. Mungkin
dia sedang berpikir dalam dan mendalam. Mungkin dia mulai tahu, bahwa pemikiran
yang bergerak ketika angin berhembus sangatlah melelahkan. Dan sangatlah
menjenuhkan, ketika seorang penulis harus duduk separuh hari di warkop hanya
untuk melihat sesuatu yang lagi trending di youtube untuk kemudian mulai
menulis komentarnya atas hal itu.
Komentar
Posting Komentar