Aku
mungkin adalah sekian dari jutaan ribu orang yang sedang berkeluh kesah saat
ini tanpa tahu pasti apa penyebabnya. Aku juga bagian dari ribuan itu, dari
sekelompok manusia yang belum menemukan orientasi dari kehidupan, seolah tanpa
tujuan, berjalan menyusur kanan kiri, melihat ke depan, menoleh ke belakang,
kemudian berputar hidup serasa berputar di situ-situ saja.
Aku
juga anggota dari sekelompok pemuda yang takut melangkah ke zona baru karena
takut akan segala hal, untuk keluar dari zona lama yang sebenarnya juga tak
nyaman. Aku adalah di antara ribuan manusia yang tawaf di tengah berbagai
persimpangan yang tak hanya dilematis, tapi juga dirimbuni oleh pesimisme dan
sedikit rasa optimis. Aku berputar-putar di antara simpang-simpang jalan yang
sepi.
Kalau
kau mau mendengar cerita dan keluh kesahku, mari, duduklah di sini sejenak,
tepat di hadapanku, setidaknya agar kau bisa melihat jejak-jejak kebingunan itu
menapaki setiap jengkah raut wajahku.
Hey,
jangan salah! Aku masih mampu tersenyum, tertawa dan bersenda gurau, itu kerap
kali terjadi kalau aku ngopi dengan Mbah Rusydi Aslam, atau sedang
kongkow bareng kawan-kawan alumni seangkatanku sewaktu di Al-Jihad. Ketika tak
bersua dengan mereka karena urusan kesibukan- tepatnya kesibukan mereka yang
memang profesional di bidangnya-, aku hanya bisa berbagi tawa bersama para
santri ketika aku mengajak, entah di Al-Jihad, di Baitul Mubarok atau di
kampung halamanku sendiri, Sumber Bahagia.
Pertama,
aku mau bercerita, kalau kebingungan dan gundah gulana itu seringkali
menyergapku setiap pagi. Ketika orang-orang mulai sibuk dengan aktifitas pagi
mereka untuk bekerja, berikhtiar mencari anugerah Allah di muka bumi, aku hanya
duduk sembari meneguk sedikit demi sedikit kopi, menyulut rokok dan mulai
memaki diri.
“Dasar
manusia tak berguna, kau sudah bergelar sarjana meski diperoleh di usia
semester yang senja. Kau adalah santri yang didik dengan penuh dedikasi oleh
seorang Kiai yang tak hanya intelek tapi juga pekerja keras tiada henti. Kau
adalah santri dari guru-guru dengan gairah hidup yang tinggi, mereka tak pernah
molor pagi, hidup mereka penuh dengan mimpi, dan mereka mencapainya dengan
langkah-langkah kecil yang pasti, bukan malah bolak-balik ke kamar mandi
sepanjang pagi, cuma untuk keperluan B-a-b dan buang air seni”.
Entah
mengapa, setiap pagi tiba, aku selalu berada dalam kebingungan yang nyata. Aku
berpikir di usiaku yang pada tahun 2024 nanti akan genap 30 tahun, aku masih
saja seperti ini. Menjalani hari-hari yang tak produktif, tak menghasilkan
karya, hanya duduk dan sesekali keluar untuk menghabiskan uang buat bayar kopi.
Aku
seringkali melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang sukses itu pada saat
mereka lulus kuliah sepertiku? Aku tak berusaha menjawab, biarlah!
Aku
ragu dalam melangkah, plin-plan dan nihil totalitas dalam satu bidang. Ketika
aku disergap satu masalah, susah bagiku untuk berpikir linier, pikiranku
bertempur, bercabang ke sana ke mari, akhirnya aku tak memilih mengerjakan apa
pun, dan aku berputar lagi.
Aku
seringkali bermimpi, mengapa aku tak diberi garis hidup yang lebih simpel
seperti ribuan manusia lain di dunia. Aku juga seringkali menghayal, mengapa
pula aku tak menjadi santri kebanyakan, yang ketika purna tugas mengabdi di
pesantren, kemudian memutuskan mencari kerja, dapat uang untuk menikah,
kemudian cari gadis yang baik, menikah, punya anak, fokus ibadah, dan kehidupan
berjalan seperti itu singkatnya.
Mengapa
aku masih punya mimpi untuk menjadi orang Alim, sedangkan pikiran dan otakku
gundah gulana dan takut tak dapat bagian dari jatah dunia. Itu menyobek
mimpiku, dan menyobek pikiranku. Mengapa aku masih ingin melanjutkan s-2,
sedangkan aku masih asik dan menikmati pengabdianku di pesantren Baitul Mubarok
ini. Mengapa aku ingin bekerja sebagaimana kebanyakan rekan-rekan seangkatanku,
sedangkan di sisi lain aku tak sampai hati membiarkan santri-santri di sini
harus tak belajar oleh karena tak ada guru yang bisa memfasilitasi.
Aku
ingin menikah, konsep rumah tangga sudah punya, tapi mengapa aku belum jua
berani mengambil langkah untuk menerima atau melepas apa yang sebenarnya sudah
ada di dalam genggaman. Aku punya ambisi, punya mimpi, tapi mengapa aku tak
tahu bagaimana mencapainya. Aku punya cukup rejeki, tapi mengapa aku masih
terus merasa kurang yang akhirnya susah bagiku untuk bersyukur. Aku baca banyak
buku, banyak sekali merenung, banyak juga ngebacotin orang tentang arti
kebahagiaan, arti ketenangan dan perspektif tentang hidup yang seringkali orang
lain butuhkan, tapi mengapa aku sendiri justru tak mampu memperoleh ketenangan
itu?
Oh,
aku tahu jawabannya..
فكرك واختيارك
دع هما وراك
والتدبير أيضا
واشهد من براك
مولانا المهيمن
إنّه يراك
فوّض له أمورك
وأحسن في الظنون
لا يكثر همّك
ما قدّر يكون
Malam
ini tepat tanggal 1- Muharrom 1442 Hijriyah, para santri libur belajar, aku
berharap bisa tidur awal, dan beroleh kekuatan untuk bangun di separuh malam,
aku berharap Allah memberiku ketenangan di tengah hingar-bingar duniawi yang
kian membising. Amin..
Komentar
Posting Komentar