Gus Muwafiq dan Dunia Istilah

 

Gus Muwafiq itu dai sekaligus ulama NU yang hari ini sedang naik daun. Layaknya KH. Ma’ruf Amin yang sejak saat ini sedang menjabat sebagai Wakil Presiden, Gus Muwafiq seolah menjadi wakil dari pemikiran-pemikiran ulama-ulama sepuh di lingkungan NU yang bertabur sejak dulu dari Sabang hingga hari ini sampai Merauke.

“Wus, kata naik daun sepertinya kurang pas kalo disematkan untuk seorang ulama, Has!”. Ujarku setengah menegus Mahas.

Sepertinya interupsi sedikit digubris dengan pertanyaan Mahas secara spontan kepadaku, “mengapa?”. Naik daun –dalam pandangan sederhana- adalah istilah untuk menampilkan seseorang yang baru saja memperoleh “berkah” berupa kemasyhuran oleh beberapa sebab yang dia lakukan. Kata ini biasanya diperuntukkan bagi mereka yang awalnya tidak dikenal oleh banyak orang, kemudian seiring perjalanan waktu menjadi dikenal luas, bahkan oleh tukang sayur di pasar Tengah[1].

“Berarti, kan sama saja kalau seorang ulama yang awalnya belum ente kenal sekarang mulai dikenal diistilahkan dengan “naik daun”. Ujar Mahas bereaksi.

“Ya, endak sama. Kata-kata ini seringkali digunakan untuk artis, maka dari itu kalo ulama ya harus cari istilah lain untuk menggambarkan popularitasnya.” Jawabku setengah serius.

“Tapi toh maknanya sama aja, Wak. Kalaupun harus dipaksa menjadi istilah lain, apa kiranya istilah yang cocok untuk dia?”. Tanya Mahas.

“Ya, pakailah kata-kata yang jauh lebih santun seperti “sekarang mulai dikenal”m begitu kan lebih bagus kedengarannya”. Aku menjawab seadanya.

Dialog mereka terpotong sejenak setelah seorang Barista cantik mengantarkan pesanan kami siang ini. Mahas kemudian terlihat tak lagi bergeming untuk melontarkan pertanyaan balik, dengan mata binar dan bibir yang diiris senyum dia malah berkata “Makasih loh, Mbak. Kopinya selalu mantap!”. Mahas memuji gadis manis itu sambil menanti balasan senyum yang diberikan olehnya.

Diam-diam kusodorkan uang, karena aku tahu, Mahas sukanya selalu traktiran. Gadis itu mengangguk santun, sambil kakinya bersiap melangkah, dia justru melempar senyum yang beberapa detik sebelum itu kupikir akan diberikan untuk Mahas. What ever, aku lah pemilik senyuman gadis itu siang ini. Jomblo klasik yang gak modal itu terpaksa menanggung “gemuruh” malu karena ucapan dan senyumnya tak berbalas.

Untuk menutupi suasana hatinya, Mahas memulai diskusi.

“Istilah itu adalah kata bebas yang bisa dilekatkan ke dalam banyak objek. Objek ini nantinya yang bertugas untuk memberikan signifikansi terhadap muatan istilah itu. Tanpa adanya objek, maka istilah itu tak akan bermakna apa-apa”. Kata Mahas tiba-tiba.

Sebuah istilah yang berkembang dalam kultur akademis itu sejatinya juga bisa dilekatkan ke dalam beberapa perbincangan non-akademis, itu sering terjadi. Istilah “Indonesia” misalnya, adalah sebuah neologisme yang mula-mula dilontarkan dalam konteks kajian sosio-antropologi oleh George Windsor Earl dan James Richardson Logan di Singapura pada tahun 1850. Kata ini awalnya digunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di Kepulauan Nusantara (Hindia).

“Namun, Bung Hatta dan kawan-kawannya di Belanda menjadikan kata ini justru sebagai sebuah identitas baru yang digunakan dalam konteks politik. Sehingga dia mampu menjadi perekat bagi segenap perjuangan para intelektual muda yang sedang berkecambah saat itu di negeri jajahan Belanda (Hindia-Belanda).” Mahas berpresentasi dengan panjang bak sedang membaca buku.

Karena itu, istilah sebenarnya penggunaannya bersifat tidak terbatas. Di luas sehingga bisa digunakan dalam banyak objek. Istilah demokrasi misalnya bisa berkembang sampai pada titik paling non-politik sama sekali. Seorang bapak yang mampu bersikap adil dan seimbang dan tak suka mendikte anaknya dalam soal pilihan, bisa dianggap sebagai bapak yang demokratis, meski tak menjadi “bapak” demokrasi.

“Jadi, menurutku, istilah itu sesuatu yang penggunaannya bisa disematkan ke dalam banyak konteks yang tak terbatas. Demikian halnya kata “naik daun”, kata ini tak akan memiliki pada awalnya yang mengharuskan untuk disematkan kepada istilah lain seperti artis, bintang film, atau bahkan seorang ulama.” Mahas memuncaki gagasannya.

“Aku sepakat, Has, dengan argumentasimu. Bahwa istilah itu bebas makna pada dirinya, tapi kau harus tahu, bahwa dia memiliki batasan dan lingkup tersendiri. Tentu kau tidak menafikan, bahwa ada beberapa istilah yang awalnya bermakna baik, kemudian menjadi peyoratif setelah disematkan ke dalam satu istilah. Seperti kata “radikal” yang berkembang dalam terminologi filsafat, kemudian berkubang dalam sebuah trayek politik, maknanya menjadi kabur, buruk bahkan kerap kali dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi berbagai tindakan represif negara untuk memberangus berbagai gerakan yang dicurigai akan menggoncang stabilitas kekuasaan. Dengan dasar tuduhan “radikalisme”, maka negara seolah harus turun untuk mengenyahkan dan memperburuk situasi sosial dengan menjadikan istilah ini sebagai “bola api” yang bisa membakar berbagai hal yang ditemuinya”. Argumentasiku tak kalah panjang seolah tak mau kalah.

 

 



[1] Sebuah pasar tradisional yang beranjak modern di jantung Kota Pontianak.

Komentar