Di mana pun manusia
selalu berkesempatan untuk menjadi penjual apapun yang ada di depannya. Kasus
penghinaan terhadap Wakil Presiden oleh seorang Penceramah di Singkawang
beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa stok makian ternyata masih berlimpah di
otak beberapa “juru dakwah” di negeri ini.
“Apa pantas orang
yang hanya pandai memaki disebut seorang juru dakwah?”. Mahas bertanya
kepadaku.
“Bagiku setiap dari
kita berkesempatan untuk menjadi juru dakwah, sebagaimana juga berpeluang untuk
menjadi juru maki”. Jawabku.
Memang sulit
menghakimi model-model ceramah yang berkembang sejak 2017-2019 ini. Beberapa
dai yang berlatar belakang nasab suci Ahlul Bait (Haba’ib)
menampilkan kecenderungan ceramah yang penuh sarkasme dengan memposisikan diri
sebagai grup oposisi terhadap pemerintah yang dianggap zalim. Di antara mereka
memiliki pemahaman keagamaan yang dalam karena berlatar belakang pendidikan
pesantren yang mumpuni. Sebagian lagi, hanya didorong oleh fanatisme buta dan
kebencian total terhadap pemerintah sehingga gelap mata.
Berhala-berhala
kebencian mulai bercokol di sekeliling kita, layaknya Amr bin Lahi yang
memperkenalkan sistem penyembahan politeis terhadap bangsa Arab yang awalnya
monoteis. Sudah menjadi barang murahan ceramah yang penuh dengan kebencian. Di
dalam gang, di jalan-jalan setapak, sampai di acara-acara resmi Tabligh Akbar.
“Bukankah gejala
dakwah yang semacam ini memang sudah berlangsung sepanjang 2017 dan sampai
sekarang, Bro?” tanya Mahas padaku.
“Iya, memang. Bahkan
aku berpikir, Has. Kalau gejala berceramah dengan model seperti ini akan
terhenti pasca Pilpres kemarin. Rupanya masih ada ya.”
“Bukan Cuma kamu,
bahkan para penceramah dengan model begitu juga berpikir sama. Sebagian dari
mereka seperti tak lagi ada bahan yang cukup renyah yang bisa menampung pola
dakwah mereka itu. Pasca Prabowo lebur dengan Jokowi, mereka mulai kehilangan
taring sepertinya. Tapi, belakangan, beberapa isu keagamaan yang beredar, mulai
dari dugaan penghinaan terhadap Nabi yang viral beberapa hari lalu, sepertinya
dada panas pari penceramah yang begituan mulai berdetak kembali.
Meledak-ledaklah suasana agama, yang pada akhirnya pemerintah jadi sasaran
lagi.”
Endapan ide panas di
kepala para “penjaja” agama memang sulit untuk dihilangkan. Gaya dakwah dengan
makian seperti ini –betapun banyaknya ulama yang menganggapnya bukan sebagai
bagian dari dakwah yang diajarkan Nabi- tapi sepertinya sudah mulai merasuk
dalam jiwa mereka, dan sebentar lagi endapan itu akan mengkristal hingga
menjadi karakter yang sulit mereka pisahkan.
“Tenang saja!” Kataku
menenangkan emosi Mahas yang mulai tampak ketika berbicara. “Gaya berceramah
yang seperti itu akan hilang jika Indonesia sebagai sebuah negara bisa lebih
adil dalam banyak hal. Rakyatnya bisa setara, kekuasaan bisa diakses, kebijakan
mulai populis, ruang agama diletakkan secar proporsional, distribusi kekuasaan
dijalankan dengan baik, ruang pengap pemikiran dibuka, literasi disuburkan,
budaya membaca digalakkan, diskusi dibumikan. Jika semua tercapai, maka
masyarakat akan semakin dewasa dan matang”.
“Dan, urusan perut
jangan dilupakan!” Kata Mahas tak mau kalah.
Komentar
Posting Komentar