Cinta Badal Isytimal

 

Seorang yang belajar ilmu Nahwu dan sudah sampai pada pembahasa Isim Tabi’ (kalimat yang mengikuti hukum kalimat sebelumnya) khususnya ketika membahas bab Badal (pengganti), maka akan menemukan salah satu bagian dari pembagian badal yang empat (dalam Jurumiyah) atau lima (dalam ‘amrithi) atau bahkan enam (plus badal nisyan) yang menjelaskan tentang dua bentuk hubungan antara badal (tsani) dan mubdal minhu (awwal). Hubungan antara badal dan mubdal minhu ini berbeda dengan hubungan ma’thuf dan ma’thuf alaih yang meniscayakan adanya penghubung (mutawassith) berupa huruf athof yang sepuluh guna memperantrainya. Badal adalah tabi’ bil hukmi bila wasithoh.

Fokus kita kepada badal isytimal, salah satu varian dari badal yang memerlukan logika “enteng” untuk memahaminya. Badal Isytimal adalah hubungan antara badal (tsani) dengan mubdal minhu (awwal) yang bersifat mulabasah (tak terpisahkan). Dalam bahasa yang lebih rumit, para ulama memperpanjang definisi badal Isytimal ini dengan menambah kata “bighoiril kulliyah wal juz’iyyah”, artinya hubungan yang ada tidak bersifat kulli (keseluruhan), karena hal ini akan membuat hubungan badal dan mubdal minhu menjadi seperti badal kull minal kull. Tidak pula bersifat partikular (juz’iy) karena ini akan menjadi seperti hubungan badal ba’dhi minal kull.

Isytimal sendiri artinya adalah ‘memuat’. Dalam artian, hubungan antara badal dan mubdal minhu bersifat saling memuat satu sama lain, sehingga antara badal dan mubdal minhu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketidakterpisahan ini disebabkan oleh hubungan keduanya bukanlah didasarkan pada bentuk-bentuk formal yang sewaktu-waktu bisa dipisahkan.

Analogi sederhananya adalah sebuah buku yang terdiri dari cover dan beberapa halaman kertas yang tertuang di dalamnya tulisan. Cover adalah sebuah bagian dari buku, jika dia dilepas maka separuh dari buku itu berarti hilang. Namun, bukan berarti buku itu tidak lagi berfungsi, selama masih ada tulisan di dalamnya, maka buku itu tetap bisa memberikan manfaat. Hilangnya cover buku tidak membuat buku tersebut mati, karena yang hilang adalah bagian yang sifatnya fisik.

Sedangkan tulisan yang ada di dalam kertas buku itu laksana ruh. Tanpa ada tulisan-tulisan, sebuah buku tidaklah ada artinya, alias hilang spiritnya. Dan tulisan yang melekat dalam kertas-kertas itu tidak bisa hilang, kecuali kertasnya juga hilang. Tulisannya memang bisa buram, hal ini bisa jadi karena terjadi penggerusan pada permukaan kertas itu sehingga dia semakin tipis sampai-sampai bubuhan tinta di atasnya juga pudar, namun bercaknya pasti masih bisa kita temukan.

Hubungan yang bersifat ruhaniyah ini memang sulit untuk dinafikan atau dihilangkan. Hal ini dikarenakan objek dari hubungan antara keduanya sudah tak lagi terjebak pada bentuk-bentuk formal (materi) yang melekat pada benda itu. Maka dari itu, dalam menjelaskan badal isytimal ini, para ulama kerap menggunakan contoh: “Nafa’ani Zaidun Ilmuhu” yang artinya “telah memberikan manfaat (siapa) Zaid, (nyatanya) ilmunya”.

Hubungan antara “Zaid” dan “ilmunya” bukanlah hubungan biasa layaknya kucing dan bulunya yang sering rontok, atau hubungan antara Jokowi dan Prabowo yang kerap putus nyambung. Zaid adalah benda dengan susunan materi yang terdiri dari beberapa objek forma biologis, sedangkan ilmu adalah aspek non-materi dari Zaid yang tak punya bentuk tapi eksis dan nyata manfaatnya. Jika Zaid tidak ada, maka ilmu itu juga tidak ada. Begitu pula, ilmu itu tidak akan ada, kalau Zaid juga tidak ada. Hubungan keduanya disebut dengan mulabasah (saling campur) sehingga satu sama lain adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Hubungan mulabasah yang ada di dalam bab badal isytimal ini menunjukkan bahwa relasi (hubungan) yang dibentuk berdasarkan aspek-aspek non-materi dan bersifat spiritual adalah sebuah hubungan yang kuat mengakar. Antara badal dan mubdal minhu dalam hal ini adalah sebuah benda yang lain di satu sisi, namun satu kesatuan pada sisi yang lain. Maka dari itu wajar, jika seorang pecinta sejati, kerap kali menitipkan segala kuasanya kepada Dzat yang Mahaspiritual (Allah al-Bathin). Sebab, yang terpancar dalam kezahiran sebuah hubungan adalah serpihan belaka dari relasi yang mengendap dalam ke-bathin-an yang jauh di dalamnya.

Maka, hubungan tulus antara dua orang yang saling mencintai, bukanlah sejauhmana salah satu diantara mereka saling bertegur sapa dalam ucapan, bukanlah pula dibuktikan dengan sebesar apa modal yang bisa digelontorkan untuk menaklukan hati pasangannya. Melainkan, sebuah hubungan yang sepenuh kehendaknya adalah seluas ilmu dan kehendak Allah Sang Mahasegala.

Komentar