“Ingat, barokah
pesantren dan guru adalah yang terpenting bagi setiap santri.” Seorang Kiai
yang bijak bestari tengah bersabda di hadapan ratusan santri yang bersaf-saf
melingkarinya. Setiap dari mereka, matanya mengarah dengan tenang ke dada sang
Kiai yang dijejali kedamaian. Sang Kiai seperti sedang menerawang masa depan
setiap kali mengingatkan mereka akan keberkahan dan kemanfaatan ilmu. Para
santri sedang berlomba-lomba “menelan dan mencerna” dua istilah itu sesuai
dengan kapasitas berpikir mereka.
Sang Kiai itu memang
luar biasa aneh, bukankah dia tahu, bahwa terminologi barokah itu sangat sulit
untuk dipahami oleh santri? Ambigu dan serba misterius. Bahkan seorang santri
di tengah kerumunan itu, telah menelan usia nyantri sekitar 15 tahunan,
ternyata sampai hari ini masih gagok saja ketika ditanya tentang
substansi dari barokah itu. Jika ditanya tentang definisinya, mereka mungkin
bisa mengutip lebih dari sepuluh kitab untuk mendefinisikan kata barokah itu.
Namun, secara nyata, apakah barokah itu benar-benar eksis?
Siwa tiba-tiba saja
duduk manis setelah pesan sang Kiai itu disampaikan setiap kali menjelang
majelis halaqoh ditutup. Dia men-tafakkuri dengan sekuat tenaga
untuk memperoleh keberkahan pesantren itu, wujud dan signifikansinya. Namun,
sejak dia diberi anugerah berpikir, ia tak pernah menemukan jawabannya. Dia
kemudian bergumam “apa jangan-jangan, barokah itu tak pernah ada di dunia
ini.?” pertanyaan itu terus menggantung, seperti nasib cintanya yang masih
terkatung-katung.
“Omong kosong, kau!”
ujar Mahas tiba-tiba di sebuah warung kopi. Sekitar enam orang yang duduk di
kanan kiri meja kami menoleh serentak seolah memberi tanda bahwa mereka turut
kaget dengan ujaran Mahas yang bernada tinggi.
“Jadi kau anggap apa
Kiai-mu setiap memberikan uraian hikmah dan ribuan kali menyebut kata barokah
itu tepat di depan mukamu?” Sekarang nadanya sedikit turun, mungkin karena
reaksi orang-orang di sampingnya yang agak risih dengan lontarannya yang
pertama. Sekarang dia seperti sedang bisik-bisik dengan nada kesal. “Apakah kau
menganggap bahwa para Kiai itu, termasuk Kiai-mu sedang berbohong?”
“Ya, tentu enggak begitu,
dong. Aku hanya bingung saja dengan istilah itu, apakah dia benar-benar
ada. Kupikir kau akan bersepakat bahwa orang-orang sekarang ini seringkali
mengajak kita berkelana dalam perspektif-perspektif semu yang kadang tak pernah
eksis di dunia nyata. Pemahaman ideologis adalah hal yang paling ilutif yang
pernah ada di dunia ini. Keadilan, demokrasi, kedamaian dan sederet jargon
politik yang hari ini kita dengar adalah sebuah ilusi besar yang kita tak
pernah tahu apa wujudnya benar-benar ada”.
Argumen sanggahan
Siwa ini benar-benar memancing Mahas untuk memberikan perhatian berlebih. Mahas
seperti diingatkan akan sesuatu, dia pernah membaca buku karya Yufal Noah
Harari, penulis beberapa buku kontroversial yang masuk dalam nominasi internationale
best- seller, “Ilusi terbesar yang selama ini terhunjam begitu saja dalam
pikiran makhluk bernama manusia adalah agama”. Agama membawa nilai, paradigma
konsepsi tentang kebenaran sampai pada standar-standar pokok mengenai tata nilai
(nidzom al-Qoyyim). Tapi ada tendensi membenarkan Mahas berucap:
“Aku tak bermaksud
mengatakan bahwa itu semua adalah ilusi. Sesuatu yang tak berbenda pada
sejatinya itu juga eksis di dunia, minimal dalam dunia ide. Karena aku yakin,
sebuah ide abstrak dan tampak ideasional adalah lahir dari sebuah proses
abstraksi panjang yang diambil dari berbagai fenomena yang terus berkelindan di
sisinya.” Ujar Mahas yang berargumen ala-ala buku Pengantar Filsafat Umum Louis
O. Kattsoff.
“Keadilan, kebenaran,
kebaikan bahkan keberkahan”, Mahas melanjutkan “semua itu adalah istilah yang
disematkan bagi masing-masing fenomena tentang ketidakadilan dunia,
ketidakbenaran sebuah konsep, ketidakbaikan perilaku dan ketidakberkahan
sesuatu.” Mahas berujar dengan semangat dengan nada yang lebih soft.
Argumentasi Mahas
yang ini memang sulit dicerna, beberapa kali Siwa membolak-balikkan puntung
rokonya, sambil terus mengerutkan dahi. Dia tahu bahwa istilah-istilah yang
selama ini lekat dalam pendengarannya, di manapun istilah itu berkembang, dalam
politikkah, dalam agamakah atau dalam bangku akademis sekalipun, tak lebih dari
sekadar nama-nama yang wujudiyah-nya dibagi ke dalam banyak kategori dan
nama-nama lagi. Pada akhirnya dia mengakui bahwa eksistensi sebenarnya berada
dalam dunia ide.
Namun sebagai
pengagum Karl Marx, Siwa boleh dianggap telah lama meninggalkan gaya berpikir
Neo-platonik. Ke sana kemari dia mencoba mematerikan banyak hal tentang
konsep-konsep lawas beberapa hal dalam agama. Materialisme-historis dan
dialektis dia lahap semua. Itu pula yang membuat dia berujar dengan Pe-de:
“Sebagai seorang
pengagum filsafat kiri, aku memilih untuk berpikir lebih realistis. Konsepsi
keberkahan yang ada dalam diskursus perbincangan pesantren harus bisa rasional
dan mampu ditakar dalam sebuah paradigma materialistik yang materil.” Ujar Siwa
penuh percaya diri.
“Apakah menurutmu
barokah harus berupa materi-materi yang bisa dikalkulasi dalam bentuk
angka-angka, wak’?” Ujar Mahas penasaran. “Apakah seorang santri yang dianggap
memperoleh barokah adalah mereka yang kaya, berjaya dalam urusan dunia, sukses
dan memiliki prestise sosial yang tinggi?”.
“Sekarang kau nampak
sangat gegabah, Has.” Ujar Siwa memotong pertanyaan retoris Mahas.
“Untuk membuat keberkahan
benar-benar bisa diserap secara materil, menurutku seorang harus memahaminya
dengan tahapan-tahapan empirik yang mungkin baginya untuk merasionalisasikan
makna barokah sehingga istilah misterius ini bisa benar-benar hidup dan
memiliki signifikansi dalam ruangnya kongkret”.
Dengan gaya memaknai
yang seperti ini, istilah barokah benar-benar bisa hidup dalam ruang yang
dinamis. Gaya ini pula yang selama ini dipahami oleh masyarakat pesantren. “Bukankah
kita sering kali mendengar beberapa Kiai dan guru-guru di pesantren berujar,
bahwa kemudahan hidup serta beberapa keistimewaan yang hari ini dia peroleh
merupakan keberkahan dari guru-guru yang selama ini telah membimbingnya.
Demikian pula, beberapa kesusahan hidup yang selama ini menghimpit seorang santri
manakala keluar dari pesantren adalah bukti bahwa selama ia belajar telah
menyia-nyiakan beberapa hal”. Siwa berkata sambil tetap memandang Mahas yang
matanya tertuju kepada Barista cantik yang baru saja berlalu di sampingnya.
Selama ini memang ada
kecenderungan santri memaknai barokah ke arah yang lebih materialistis, dan itu
rasional dalam satu sudut pandang. Seorang santri biasanya baru akan mengetahui
–atau mungkin sok tahu- makna barokah manakala dia sudah keluar dari dinding-dinding
curam pesantren. Jika dia masih dalam tahap belajar, barokah biasanya kurang
nampak signifikan, hal ini karena laboratorium “barokah” adalah kehidupan
“kongkret” itu sendiri.
Seorang Ustaz yang doyan
memberikan suntikan motivasi dan berperan sebagai konselor bagi psikologi
santri sering berujar begini “kalau masih di pesantren, kalian mungkin belum
bisa merasakan apa sebenarnya barokah yang sering disampaikan oleh Ajunan Kiai
kita. Tapi bagi kami yang sudah berkeluarga dan hidup dalam ruang yang lebih
bebas, tahu betul betapa pentingnya keberkahan para Kiai itu bagi hidup ini”.
“Jadi menurutmu,
Barokah itu eksis secara nyata kalau dia dihadapkan dengan berbagai benturan
sosial yang menguji adrenalin kehidupan seseorang?”
Siwa mengangguk
sambil nyeruput kopinya yang mulai dingin.
Mahas terlihat
mengangguk perlahan sambil ngehhem, apakah itu tanda bahwa ia bersepakat
dengan argumentasi Siwa, atau apakah itu tanda bahwa Barista cantik itu telah
membuatnya lemas hingga tak semangat lagi membalas argumentasiku. Yang jelas,
kopi suguhannya siang ini telah membuat Mahas tak bisa duduk tenang, dia harus
mondar-mandir ke kamar kecil untuk beberapa kali.
Dasar Jomblo Cap
Kapak! Ujar Siwa.
Komentar
Posting Komentar