17-an, Ingat Apa?

 

17 Agustus tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita,

Hari merdeka, nusa dan bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia..

Ketika di banyak tempat kita mendengar lagu karya Habib Salim bin Ahmad al-Muthahhar (1916-2004) ini disenandungkan dengan penuh semangat, maka itu pertanda kalau perayaan kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Dan, hari ini, 17 Agustus 2020, lagu itu kembali bergema di pesantren Baitul Mubarok, Parit Serong, Kab. Kubu Raya, dinyanyikan dengan semangat oleh sekitar 50-an santriwan dan santriwati di halaman pesantren. Pagi, sekitar jam 08: 46.

Sesiapapun patut berterima kasih kepada Allah pada momen semahal ini, anugerah kemerdekaan adalah adalah sesuatu yang perlu dibayar mahal oleh kita yang tak turut berjuang. Kita bersyukur tak hidup di zaman kompeni, zaman kerja rodi dan romusha yang telah memangsa puluhan nyawa masyarakat Indonesia untuk melayani kolonial Belanda maupun kompetei Nippon yang sadis.

Bayangan kita tentang kehidupan di bumi Nusantara di bawah penjajah harus selalu diingat, setidaknya agar kita bisa bersyukur dan memaknai betapa berharganya sebuah kemerdekaan.

17 Agustus adalah sebuah perayaan dan juga peringatan, kita merayakan sebuah keberhasilan yang kita sendiri tak ikut campur betapa susahnya sebuah pencapaian. Kita juga harus turut mengingat sesuatu yang sebenarnya juga tak ada yang kita ingat.

Kiai-ku, KH. Abdul Muttholib Sukardi, ayah beliau (almarhum Abah H. Sukardi) adalah seorang veteran, semasa kecil Kiai-ku, beliau masih ingat bagaimana perjuangan memperoleh kemerdekaan itu begitu susah dicapai. Ingatan itu begitu kuatnya, sehingga manakala Allah memberi amanah kepada beliau berupa santri-santri dan didukung oleh masyarakat untuk membangun sebuah pesantren, beliau memberi nama pesantren itu dengan nama al-Jihad, untuk mengenang segenap perjuangan orang-orang yang telah memberinya sebuah pengalaman masa kecil tentang susahnya merengkuh kemerdekaan.

Pesantren-ku plus rumahku juga, Al-Jihad, adalah saksi dari signifikansi sebuah ingatan tentang perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan di masa lampau. Ingatan yang masih segar dalam benak Kiai-ku itu begitu besar sumbangsihnya bagi daya juangnya kemudian hari bahkan sampai hari ini di usia beliau yang sudah mendekati 80 tahun. Dalam momen-momen tertentu, beliau seringkali menceritakan dengan penuh haru bagaimana saat dia masih digendong sang Ibu (Almarhumah H. Su’aibah) melakukan pelarian dari kejaran Jepang yang sudah mendarat di Pulau Madura pada saat itu di bawah komandan perang Laskar Hizbullah, yakni Syaikhona al-Habib Muhsin bin Ali al-Hinduan (Mursyid Thariqah al-Naqsyabandiyah) yang lahir pada 20 Juni 1920, dan wafat 3 Mei 1980 di Sumenep, Madura. Tempat di mana beliau dilahirkan.

Berbagai penderitaan dan kesusahan serta juga keajaiban tentang keselamatan yang diberikan Allah kepada pasukan yang waktu berlari dari Madura hingga tembus ke Kota Malang itu begitu heroik. Kami sering melihat, setiap kali Kiai mengingat dan menceritakan kisah tersebut, matanya berkaca-kaca sehingga gambaran tentang kondisi mencekam saat itu benar-benar secara tak sadar dan begitu nyata seolah menyelimuti kami, para santri yang dengan sangat antusias mendengarkan cerita beliau.

Memperingati kemerdekaan sebenarnya bukanlah sekadar memperingati tentang proklamasi yang kemudian disambut dengan gegap gempita penuh riang gembiran oleh seluruh rakyat pada saat itu, tapi juga tentang darah, nyawa dan ratusan orang-orang menderita yang telah menjadi tumbal oleh karena keserakahan manusia untuk berkuasa.

Kita hanya pura-pura mengingat Pahlawan,

 di tengah rimba lupa yang tak beralasan..

 

Komentar