Memang benar pepatah
orang-orang dulu, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Kata-kata orang
pesantren “idza thoba ashlul mar’i, thobat furu’uhu” (jika akar
bagus, cabangnya pasti bagus). Begitulah, Syeikh Rohimuddin adalah keturunan
Syekhul Imam Nawawi al-Banteni atau lebih dikenal dengan julukan Sayyidu ulama’
al-Jihaz.
Daku bersyukur sudah
dua kali ikut dauroh (pengajian tahunan) beliau yang dilaksanakan setiap
kali bulan Rabiul Awal. Syekh Rohimuddin adalah pakar Tasawuf. Bukan sekadar
pengkaji kitab-kitab berat karya Ibnu Arabi, misalnya. Beliau juga pengamal (salik)
yang terlibat dalam berbagai kegiatan thoriqoh yang ada di Nusantara
(Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei). Bahkan, beliau adalah musyrif bagi
thoriqoh mu’tabaroh di Malaysia.
Dauroh
tasawuf yang beliau jalankan secara rutin hampir setiap
tahun ini mengkaji kitab-kitab tasawuf yang beliau tulis sendiri. Banyak karya
beliau yang sudah dibukukan, namun daku hanya punya dua saja. Dan alhamdulillah,
kedua kitab itu daku talaqqi langsung dari beliau bi la ha’ilah.
Sistem pengajian
dalam dauroh yang beliau pimpin ini memang anti-meanstrem. Beliau
sepertinya tidak begitu suka dengan metode ceramah yang lagi digandrungi oleh
generasi milineal saat ini. Tapi sistem mengaji dengan menjadikan satu kitab
sebagai acuan, disampaikan dengan logika yang runtut, kemudian dikemas dengan
argumentasi yang lugas. Gaya pengajian yang seperti ini memang bukan untuk
masyarakat awam. Yang ikut sebagian besar adalah para asatidz dan kiai
dari berbagai pondok pesantren yang rela duduk bersila selama berjam-jam sambil
nyasak (memaknai) kitab dengan seksama.
Setelah dua kali
mengikuti kajian beliau, daku merasa keluar dari kategori orang awam.
Mengaji dengan Syeikh
Rohimuddin ini membuat pikiranku melambung-lambung jauh. Sesekali daku harus
berusaha mencerna setiap penjelasan beliau memang didasarkan dengan logika yang
meliuk-liuk ala sufisme, dan di sisi lain aku berpikir “bagaimana
mungkin seseorang dapat begitu komitmen dan istikamah dalam mengambil satu
disiplin ilmu?”. Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh sebuah fakta, bahwa sejak
lama Syeikh Rohimuddin bergelut dengan berbagai karya-karya tasawuf dan
menjalankan pola kehidupan ala sufi tanpa sedikitpun menoleh kepada beberapa
bidang keilmuan lain.
Bagiku ini sesuatu yang
amazing. Mengingat diriku yang sulit sekali untuk berpikir linier. Daku
suka meloncat-loncak seperti Sun Go Kong. Bukan Cuma dalam bacaan dan
pelajaran, daku bahkan suka meloncat-loncat dalam pilihan, dalam ucapan bahkan
sampai pada pikiran. Ini kuakui sendiri, karena tak ada satupun yang
mengakuinya.
Syeikh Rohimuddin tak
hanya dianugerahi pikiran yang jernih serta kecerdasan yang di atas-atas
rata-rata masyarakat awam, ternyata juga punya keteguhan dalam berpikir,
konsekuen serta setia. Aku ingin seperti itu, siapa tahu dengan belajar
berkomitmen, hidupku akan jauh lebih tenang. Pikiranku akan lebih runtut dan
tentu saja bisa menyesuaikan diri sesuai kapasitas.
Komentar
Posting Komentar