Sampah Manusia



Anak-anak kecil SD memang suka makan kue (makanan ringan), entah apa gerangan yang membuat mereka berselera untuk memakan itu setiap sebelum masuk kelas, jam istirahat, jam pulang bahkan ketika di rumah. Untuk lidah orang dewasa, makanan ringan seharga 500 sampai 1000 itu mungkin sudah tak lagi menggiurkan, kecuali bagi mereka yang separuh tenaganya berada dalam budaya nge-mil.

Mereka biasanya akan berbondong-bondong dan berkelompok untuk membeli kue-kue kering yang dibungkus dengan plastik dengan berbagai variasi warna dan gambar. Terlihat lahap setiap mereka dalam menguyah kue-kue itu. Mereka juga pasti akan memesan minuman serbuk yang dilarutkan dengan es dan air. Ada banyak jenis mulai dari Jajus, Fanta, Frenta, Segar Sari dan lainnya. Semuanya enak sewaktu duduk di bangku SD, SMP sampai SMAa. Tapi tak menutup kemungkinan, kalau banyak orang dewasa masih saja menyukai minuman instan serbuk yang sebenarnya bisa berdampak buruk kepada organ pencernaan jika dikonsumsi terlalu banyak dan rutin.

Di hampir setiap sudut sekolahan, bahkan di tengah lapangan, sampah-sampah bungkus biasanya lebih mendominasi –bahkan- mungkin dari jumlah siswanya. Lapangan baru akan bersih manakala kepala sekolah atau guru piket berteriak dari kejauhan kepada seluruh siswa agar memungut sampah yang terserak di depan mereka. Para guru ini tak hanya berteriak, kadang juga memberikan contoh supaya mereka dapat menirunya. Atau, sampah yang menumpuk biasanya akan dibebankan kepada siswa yang telat, tidak mengerjakan PR atau berbuat ulah dengan teman cewek seksi satu kelasnya. Pak Kepsek yang terhormat biasanya akan memberikan mereka tugas untuk membersihkan waterclose, memungut sampah atau mungkin berdiri di bawah terik sinar mentari.

Limbah sampah itu kemudian bisa dibakar, jarang ada sekolah yang mampu dan mau untuk mengelola sampah itu menjadi suatu yang bernilai jual. Karena bisa jadi, Pak Kepsek dan guru-gurunya sibuk dengan melayani siswa bermasalah, atau malah lebih sering ngopi di ruangan guru dan mulai rasan-rasan tentang betapa bandelnya seorang siswa yang baru saja menendang bola dan menghantam dinding kantor. Semua akan meluapkan kekesalannya.

Itu pemandangan sampah di sekolah, beda halnya dengan di kampus-kampus universitas, baik yang negeri maupun swasta. Karena mahasiswa rata-rata sudah mulai beranjak pada usia matang secara pemikiran, dewasa dalam bertindak dan tentu saja tinggi selera berbanding anak SD yang masih suka ngeppong es lilin, anak kuliahan boleh jadi akan ngeppong “yang lain”. Tingkat ini juga berdampak kepada kebersihan kehidupan di kampus. Kalau kita kuliah, sangat jarang kita melihat ruang kuliah kotor berantarakan meskipun terkadang satu hari perkuliahan berlangsung. Demikian lapangan dan kantin-kantinnya, semuanya bersih meski ribuan mahasiswa setiap harinya beraktifitas di sana, bahkan ada yang sampai “berak”-pun di sana.

Meski demikian, lapangan, kantin, ruang kelas –apalagi ruang dosen- semuanya bersih dan tertata rapi. Selain karena mahasiswa yang sudah tak lagi selera dengan berbagai jenis cemilan harga 500-an, ini tentu saja karena tertolong oleh petugas kebersihan yang tiap pagi sudah bekerja bahkan siang sampai sore. Kalau tak ada tukang sampah dan petugas kebersihan di sekitar kampus, boleh jadi suatu universitas akan terlihat kumuh meski rata-rata penghuninya orang-orang yang sudah dewasa, bahkan tua bin sepuh.
--
Pada intinya, semua manusia memiliki sampahnya sendiri. Apa yang mereka konsumsi, bungkusnya tetap saja akan menjadi limbah dan mencemari lingkungan sekitar. Tak perduli sedewasa apa dan sehabat apa dia. Semuanya punya sampah sendiri.

Komentar