Ngopi dengan Dua Habib


Untuk dua tahun terakhir ini, Alhamdulillah, saya berpeluang untuk bisa buka puasa bersama dengan keluarga besar di rumah di awal pertama bulan ramadan. Sedang pada tahun-tahun sebelumnya, malam pertama ramadan selalu saya habiskan di pesantren. Berbalas rindu dan berkumpul dengan teman-teman lama di kampung halaman menjadi hal yang paling menggugah selera untuk pulang kampung di saat moment-moment berharga seperti ini.
Bertukar pikiran dan pengalaman dengan teman-teman yang sebagian merantau, dan melanglang buana dalam dunia pekerjaan, setidaknya memberikan banyak referensi kepada saya tentang luasnya spektrum hidup manusia. Betapa kerdilnya kita di tengah mereka yang rela-rela tak pulang berbulan-bulan bahkan bertahun, hanya untuk mencukupi kebutuhan susu dan keperluan anaknya. Mereka ke Malaysia, Pangkal Pinang, Ketapang dan banyak daerah lainnya, semuanya demi memperoleh uang agar bisa menyambung hidup. Agar taraf kehidupan mereka terjamin. Inilah momen pulang kampung yang paling berharga, selain bisa sungkem dengan orang tua (Ummi) dan Ziarah ke kuburan Alm. Bapak.
Awal ramadan kali ini, dalam dua malam saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan dua keponakan saya, yakni Habib Husein bin Said al-Qadri dan adiknya Habib Muhammad al-Qadri, atau yang akrab disapa Habib Reyhan. Dua orang ini adalah dai yang lumayan dikenal di beberapa kampung. Bahkan, nama terakhir merupakan dai kondang yang terkenal dengan julukan “Habib Bahar Kalbar”, “Singa Borneo” dan lain-lain. Ya, Habib Reyhan adalah seorang dai yang sedang naik daun oleh karena berkah panasnya pemilu 2019 lalu.
Sedangkan Habib Husein adalah abangnya, seorang Habib berwajah kalem dan wibawa yang tinggi. Seperti terwarisi dari mendiang ayahnya, yakni Habib Said al-Qadri, yang memberi nama bayi Hasani pada saat baru lahir. Adapun Habib Reyhan, memang mirip dengan Habib Bahar dalam banyak aspek, selain suara, penampilan mulai dari rambut hingga aksesoris, dan juga beberapa hal lainnya. Habib Reyhan ini sedang menjadi idola, wajah tampan dan terkenal serta keren, tak heran banyak wanita yang rajin nge-like segala sesuatu yang ia posting di medsos-nya.
Berkumpul dengan Haba’ib yang rendah hati seperti mereka, membuat malam-malam panjang menunggu sahur terasa lebih berisi. Kami banyak berdiskusi, bercerita tentang berbagai hal. Terkadang tak jarang mereka mengejekku yang sampai hari ini belum juga ditakdirkan untuk menghalalkan seorang perempuan. Sedang mereka semua, sudah punya anak dua ke atas. Tapi bagiku santai saja, karena jodoh pasti akan datang dalam waktu yang bahkan tidak kita sangka-sangka.
Dua Habib ini memang dikenal memiliki preferensi dakwah ala Habib Rizieq Syihab yang kian ke sini semakin identik dengan gerakan-gerakan Islam jalanan dan keras. Aku yang biasa berbaur dan berdiskusi dengan aktifis NU tentu kontras sekali dengan gaya berpikir mereka yang hampir 40 derajat berbeda secara diametral. Namun, dalam banyak hal, aku memposisikan diri sebagai mustami’ dari dua sumber ini. Karena bagi saya, mereka berdua lebih layak berbicara Islam jika dilihat dari sepak terjang dakwah mereka di luar yang memang konsekuen, terutama Habib Reyhan.
Gaya berpikir ala FPI ini memang sangat unik dan berbeda dengan varian pemikiran Islam kebanyakan beberapa tahun terakhir ini. Orang-orang yang terlibat dalam aktifitas dakwah di dalamnya, atau yang condong dengan gaya gerakan dakwah mereka, tidak bisa disamakan dengan gerakan-gerakan dakwah Islamiyah seperti HTI apalagi dengan ormas-ormas teroris yang selama ini seringkali dilekatkan kepada mereka. FPI dan para aktifis dan simpatisannya lebih baik dari HTI dalam memandang Indonesia sebagai sebuah bangsa yang utuh. Bagi mereka, Indonesia sama vitalnya dengan Islam sebagai sebuah agama. Keutuhannya menjadi sarat bagi tersemainya nilai-nilai Islam untuk beberapa abad ke depan.
Hanya saja, dari sisi praktik yang perlu diperhatikan, persimpangannya dengan NU tidak pula begitu tajam. Mereka hanya akan memberikan kritik terhadap kecenderungan politik NU yang kerap kali melanggar norma-norma layaknya sebuah organisasi. Itulah letak kritik mereka. Di lain sisi, sarkasme dan banyak hal tentang kasarnya ucapan mereka dalam men-jarh para tokoh dan agamawan yang berlawanan dengan pandangan mereka, bagiku tak lebih dari sebuah konsekuensi dari pandangan mereka yang kukuh terhadap apa yang mereka sebut dengan “kebenaran”. Dan di majlis emperan rumah, yang dilaksanakan setelah tadarusan ramadan, sikap seperti itu bagiku “noproblem, its oke aja”.

Komentar