Revolusi dan Resolusi Konflik



Konflik adalah aspek inheren dalam masyarakat, jaraknya hanya antara ketiak dan lengan. Tak ada masyarakat tanpa konflik di dalamnya, sebagaimana tak akan ada konflik kalau bukan karena masyarakat di sana. Bagi mereka yang percaya dengan materialisme historis-nya Marx, antagonisme antar kelas yang dideterminasi oleh materi adalah pendorong utama bagi lahirnya tiap fase sejarah manusia di muka bumi ini (materialisme dialektis). Marx memang hebat dalam membaca fakta sosial dan sejarah yang seperti ini.

Kalau mau jujur, pandangan masyhur Marx yang menjadi basis bagi perkembangan culture studies ini adalah hal yang paling gamblang menggambarkan bahwa hidup dan segenap sejarahnya ini dideterminasi oleh berbagai konflik yang terus mengembang dan meluas. Menurut Marx, pemicu utama konflik itu adalah materi. Maka, ideologi yang dirintis oleh Marx yang kemudian dibuat paripurna oleh Lenin dan tokoh revolusioner lainnya tak heran kalau senantiasa menantang suatu strata kemapanan (status quo) tertentu. Konflik fisik yang berdarah-darah sekalipun menjadi niscaya dalam pandangan komunisme.

Itu dari sudut pandangan makro, di mana trend pertarungan ideologis pasca perang dunia kedua masih begitu ketat seru. Namun, dari sisi makro, konflik itu senyatanya memang tak akan pernah berhenti. Selagi manusia di dunia ini masih dikategorikan makhluk hidup yang aktif (dalam artian zoon politicon), konflik itu akan terus ada sampai pada level yang tak kasat mata. Memimpikan dunia tanpa adanya konflik dalam makna yang sebenarnya dan luas adalah sebuah kemustahilan, bahkan mereka yang hidup dalam pemukiman yang terisolir, konflik itu akan lahir dan tumbuh dengan sendirinya, sesuai dengan kadar-kadarnya.

Mulai dari konflik rumah tangga, konflik antar RT, antar kelurahan, bahkan konflik antar kota, provinsi sampai tingkat negara. Tak sampai di situ, konflik antar pribadi, bawahan dan atasan, teman sejawat, bahkan konflik dengan diri sendiri adalah hal yang paling dekat mengenai konflik dalam diri manusia.

Meski demikian dekatnya konflik itu dalam kehidupan, sebagian orang beranggapan bahwa konflik adalah alasan utama dari setiap perkembangan dan role sejarah seseorang, pasutri, kota sampai negara. Kalau tak ada konflik, bisa jadi dialektika kehidupan akan berhenti, bahkan tak punya arti. Maka, siapa yang rajin konflik, dia akan cepat berkembang. Bahasa milenialnya, siapa yang rajin membuat status, atau konten kontroversial, dia akan viral!

Namun, konflik tetap sebuah kondisi, yang kalau tak bisa dikelola dengan baik, dia justru akan berbahaya. Negara sebagai pemangku kekuasaan dan kebijakan, memerlukan kekuatan pengimbang yang bertugas melihat, mengkaji lalu mengkritisi apabila dalam satu dua hal negara tak bergerak sesuai asas dan idealismenya. Di sinilah kekuatan oposisi secara struktural dan civil society dalam ranah kultural sangat diperlukan keberadaanya. Hal ini agar negara bisa berkembang dengan tepat –meski tak harus cepat- oleh sebuah mekanisme keseimbangan yang dirawat.

Konflik itu layaknya obat yang harus dimakan sesuai dengan kadar dosis yang diperlukan. Kalau tak diminum penyakit akan bersarang, kalau terlalu banyak sampai over dosis, maka obat akan menjadi petaka bagi yang mengkonsumsi. Di sinilah penting untuk mengelola konflik agar tetap seimbang dan sesuai dengan kadar dan kebutuhan.

Salah satu bentuk over dosis konflik adalah ketidakmampuan seseorang atau kelompok yang sedang berkonflik untuk melampauinya. Akibatnya, kerap kali konflik ini berujung pada infantilitas masing-masing yang sedang terlibat. Dalam banyak kasus, sikap kekanak-kanakan anggota dewan –yang oleh Gus Dur disebut tak ubahnya seperti anak TK- adalah wujud dari kerapuhan mereka dalam menghadapi terpaan konflik. Dalam skala mikro, konflik rumah tangga yang berujung pada broken home, dalam organisasi adanya wacana dengan membentuk badan (level kepengurusan) tandingan terhadap status quo adalah wujud yang sama dari ketidakmampuan mengelola dan menghadapi konflik.

Dengan demikian, yang sangat penting untuk diolah dari konflik itu sendiri adalah menjadikannya lebih produktif dalam mencapai sebuah keseimbangan dalam sebuah sistem yang dinamis. Produktifisasi konflik ini tak sama dengan proyek pengembangbiakan kambing lanjut usia, hal ini karena wujud konflik yang sangat beragam, detail dan bermacam-macam. Hal ini berarti meniscayakan kelompok atau masyarakat yang berkonflik untuk mengembangkan sikap kedewasaan dalam berbagai hal.

Kalau sudah urusan kedewasaan seperti ini, maka aspek-aspek utama yang disasar dari proyek resolusi konflik adalah bukan sekadar proyek mediasi dua kubu yang bersengkata, tapi lebih jauh dari itu, proyek resolusi juga harus bergerak pada upaya penyemaian nilai-nilai tentang pengelolaan konflik itu, bukan sekadar mengadvokasi, tapi lebih jauh memasarkan urgensi konflik serta cara membuat konflik tepat sasaran dan sesuai kadar dosis yang diperlukan.

Komentar