Produktifisasi Ceramah Para Dai 1



Bisa gak ya, ceramah agama yang biasa disampaikan di acara Maulid Nabi itu lebih keren dari sekadar memamparkan keagungan Rasulullah yang terlalu simbolik? Mahas tiba-tiba menbuka obrolon dengan pertanyaan sambil mengendarai sepeda motor miliknya. Aku agak risih dan memutuskan untuk tak menggubris terlalu panjang.
“Maksudmu?” Singkatku.

“Sepertinya kok aku terlalu jenuh untuk mendengar ceramah Maulid Nabi yang isinya cuma tentang detik-detik kelahiran Nabi, warisan-warisan akhlak dan pekerti yang beliau tinggalkan, dan berbagai kemuliaan serta kemukjizatan yang diberikan Allah kepadanya. Emangnya, Nabi kita cuma bisa dilihat dari tiga perspektif besar itu ya? I dont think so.” Ujar Mahas bergaya bergaya bak Menteri Yasonna Laoly.

Terus apa tawaranmu? Aku bertanya gerah dan setengah acuh.

“Itu loh, jalan utama kampung tempat Tabligh Akbar tadi sengsaranya minta ampun. Bebatuan krikil tajam ditambah lumpur tanah merah, sementara kanan kiri jalan terlalu sesak dengan perumahan-perumahan besar yang sangat elit kelihatannya. Aku rasanya lebih sreg kalau para dai itu bersuara lebih membumi, menghayati lebih mendalam lagi terhadap kebutuhan masyarakat serta balutan problem yang mereka hadapi hari ini”.

Jawaban panjang ala Mahas ini membuatku tersentak, kalau saja aku yang menyetir sepeda motor, mungkin aku akan segera banting sentir mendengar jawaban sekaligus keluhan anti-mainstream yang dilontarkan Mahas. Aku teringat, acara Tabligh Akbar yang kami datangi barusan memang dalam rangka memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Saw. Kami diundang untuk datang oleh seorang teman ngopi yang kebetulan menjadi ketua panitia di acara ini.

Penceramah yang kami dengar barusan adalah seorang dai kondang untuk satu segmen masyarakat tertentu. Dia bertubi-tubi mengeluarkan kata-kata “betul” sambil dijawab dengan dengan penuh semangat oleh jamaah yang hadir “betul”. Isi ceramahnya yang disampaikan memang bukan seputar politik, karena isu Pilpres 2019 yang super panas baru saja usai, dan rakyat Indonesia mulai masuk ke tahap cooling down dan rekonsiliasi sosial.
“Bagiku seorang yang didapuk untuk menjadi seorang dai harus benar-benar mampu hadir di dalam setiap problem masyarakat yang berlapis-lapis. Bukan hanya seputar permasalahan agama an sich, tapi juga kepada beberapa permasalahan sosial, ekonomi dan etika juga perlu disentuh. Isu pembangunan itu kan termasuk isu sosial yang berat tuh, nah, bagiku salah satu tugas dai ada adalah menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dicerna ”.

“Maksudmu, masalah pembangunan jalan rusak di jalan kampung tadi itu?” Aku bertanya dengan sedikit penasaran.

“Ia, itu kan jalan udah bertahun-tahun nasibnya masih malang aja, tak ada perubahan yang signifikan. Padahal kemajuan dalam sektor terknologi dan industri termasuk property berkembang pesat di situ” Kata Mahas.

Aku mengangguk sambil ngehhem tanda memahami akan kegelisahan Mahas. Tapi aku yakin, bahwa belum tuntas Mahas mengeluarkan kegelisahannya. Masih ada “se-ember” presentasi akan kegelisahan yang membumbung di otaknya. Aku segera menimpali untuk mengetahui kegelisahan Jomblo lawas ini.

“Bukannya ada juga dai –meski tak banyak- yang mencoba menyelipkan isu sosial dan pembangunan yang hari ini melanda masyarakat, Has?”.
Siapa misalnya? Mahas bertanya balik.

Kayak alm. KH. Zainuddin MZ dulu sangat keren merangkai permasalahan yang membelit antara agama dan sosial dengan baik. Dia mampu mengkritik berbagai perubahan negatif dalam ruang sosial dengan menjadikan agama sebagai bahan utama untuk mengurai permasalahan ekonomi bahkan politik dengan baik. Menuruku, ya”

“Begitu juga UAS, Habib Bahar Ust. Adi Hidayat dan beberapa dai kondang hari ini juga memiliki beberapa pandangan keagamaan yang bisa memberikan dampak pada perubahan sosial yang tinggi. Naiknya isu Populisme Islam sejak 2016-2019 ini bagiku menjadi satu bukti bahwa peranan para dai selama ini dalam mobilisasi sosial cukup determinan. Buktinya sekarang banyak umat Islam yang sudah mulai melek politik, isu ekonomi, bahkan mungkin soal geo-politik”. Ujarku panjang lebar seperti tak mau kalah dengan Mahas.

Aku masih saja menunggu jawaban Mahas ketika motor kami berhenti sejenak untuk mengisi bensin eceran di pinggir jalan. Sambil kusodorkan uang 10.000, -karena aku tahu Mahas jarang punya uang kecil (-apalagi yang besar)- aku melanjutkan presentasiku di hadapannya.

“Aku itu tetap yakin, Has. Kalau para dai itu dengan pemahaman agama mereka yang kuat turut memberikan sumbangsih terhadap pengentasan berbagai krisis yang memang tak pernah berhenti di negeri ini. Krisis apapun itu, salah satunya adalah krisis moral anak bangsa, jangan nt berpikir kalau para dai tak ambil bagian dalam membenahi itu semua. Meski sampai hari ini, yang namanya perzinahan dan lain-lain tetap banyak, sebanyak lontaran ayat la taqrabuz zina dan la la lain yang disampaikan oleh para dai.” Ini argumentasi pamungkasku untuk mengimbangi pernyataan Mahas.

Seperti melihat bendera putih diangkat kepermukaan, Mahas menghidupkan sepeda motor dan menjalankannya pelan, sambil memulai presentasi dengan rokok di tangan kiri. Kucondongkan mukaku ke arah depan untuk mendengar jawaban atau pertanyaan lanjutan dari Mahas.

“Aku sepakat dengan jawabanmu, Wa’. Para dai itu memang memberikan pengaruh terhadap kerja-kerja besar dalam pembenahan karakter bangsa ini, ini fakta sejarah yang sudah kita amini selama bertahun-tahun. Bahwa negeri ini tak akan lepas dari peran agama Islam berikut seluruh komponen dan pranata keagamaan yang ada di dalamnya. Sejarah Indonesia, boleh jadi adalah sejarah Islam Nusantara yang selama ini dibincangkan oleh PBNU”. Ujar Mahas dengan sesekali menoleh ke arahku.

“Tapi”, ujar Mahas, kata “tapi” ini adalah cara khas darinya untuk memulai sebuah diskusi yang lebih panjang. Aku setia menunggu kata yang akan dilontarkan Mahas setelah dia menghisap rokok yang sudah mendekati busa.

“Kita harus sadar, Wak. Bahwa agama bukan gudang bagi segenap jawaban yang ada di masyarakat. Karena kita tahu, bahwa sekalipun al-Quran adalah kitab yang di dalamnya memuat secara komprehensif berbagai permasalahan manusia mulai dari ujung kanan sampai ujung kiri, tapi kita juga yakin bahwa al-Quran bukanlah kitab yang berisi tutorial tentang pengentasan kemiskinan, pengerasan jalan becek atau aturan tentang keharusan buang sampah pada tempatnya. Al-Quran paling banter hanya menyajikan prinsip-prinsip universal dari semua itu, tak ada disebutkan dalam al-Quran bagaimana sebuah ide normatif harus dilaksanakan, karena Allah Mahatahu bahwa hamba-Nya cukup bisa untuk merasionalisasikan doktrin-doktrin prinsipil yang ada di dalam kita mereka”.

“Nah, poinnya adalah, kalau al-Quran adalah kitab yang hanya berisi berbagai prinsip-prinsip fundamental dan universal layaknya sebuah pedoman yang tak akan termakan waktu, maka tugas para dai-lah untuk merasionalisasikan perintah-perintah Tuhan itu dengan segenap kecakapan intelektual yang mereka miliki. Apa fungsinya dai kalau Cuma bisa mengutip ayat ta’awanu al al-birri wat taqwa, wala ta’awanu al al-itsmi wal ‘udwan, sedangkan dia tak mampu memahami makna gotong royong serta bagaimana seharusnya dia dilaksanakan sampai pada tahap paling materil di masyarakatnya?”

“Karena bagiku, kalau seorang dai hanya mampu mengutip, namun tak mampu memberikan bimbingan dalam skala mikro dan detail dari sebuah problem, maka dia tak lebih dari sekadar pengutip saja dari firman Allah, bukan pemberi makna apalagi pengupaya bagi perwujudan ide-ide universal al-Quran”.

Bersambung..

ikuti terus perbincangan Mahas dan Siwa!


Komentar