Dia
sudah nyantri bertahun-tahun di sebuah pesantren cukup terkenal di
daerah sini. Seharusnya dia sudah punya kehidupan yang layak, mengingat semasa
di pesantren dia termasuk seorang yang dikenal baik sebagai seorang santri yang
rajin berkhidmat dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tak mudah. Melihat
kehidupannya hari ini, tak ada yang spesial, rumah, anak istrinya, bahkan
pekerjaanya biasa saja. Bahkan prestise di tengah masyarakat juga tak kalah
biasa-biasa juga.
Kehidupannya
normal seperti orang-orang pada umumnya. Dia merantau, terkadang susah mencari
pekerjaan, bahkan harus dililit beberapa permasalahan. Apa yang membedakan
antara dia dan tetangganya yang tak pernah nyantri? Tetangganya itu
justru lulusan sekolah formal biasa, kuliah kemudian bekerja di salah satu
perusahaan swasta, kehidupannya tentu lebih layak dari dia hari ini. Padahal
tetangganya yang istrinya cantik itu tak pernah mengenyam derita belajar di
pesantren. Bukankah Kanjeng Rasul pernah bersabda: “ajruka ‘ala qodri
ta’abika”. “imbalanmu akan sesuai dengan kadar lelahmu”.
Kalau
dibanding, derita hidup di pesantren yang sarat akan perjuangan, sarat dengan
nilai-nilai pendidikan yang tak bisa dicerna dengan akal sehat karena misteri
“barokah” yang sampai hari ini tak terpecahkan dan tak bisa kita temukan di
sekolah-sekolah formal pada umumnya. Butuh waktu lama dengan dedikasi tinggi
yang harus dimiliki oleh seorang santri untuk memperoleh barokah dan
kemanfaatan belajar di pesantren. Hal yang semacam ini bahkan terkadang membawa
seorang santri masuk ke dalam sebuah proses belajar dan bekerja yang tak
rasional sama sekali. Contoh: “memutar sandal Kiai bisa memberi keberkahan”.
Dia bahkan setiap waktu bersentuhan dengan sekop, tong sampah, dan hal-hal lain
yang katanya penuh dengan barokah itu di pesantren. Lalu, apa implikasi barokah
itu dalam hidupnya.
Sama
dengan seorang teman yang bertanya kepadaku, “Jokowi itu kan bukan santri, tapi
bisa jadi Presiden. Sedangkan kamu yang santri aja masih pengangguran
plus jomblo”. Dia mencandaiku dengan penuh persahabatan.
“Katanya”,
dia melanjutkan, “di Pesantren itu ada kepercayaan tentang makna barokah, yang
konon katanya kalau diperoleh seorang santri, maka dia akan menjadi orang
hidupnya selalu dilimpahi kebahagiaan dan pula kesuksesan. Mana sekarang bentuk
keberkahan dari dinding pesantren itu? Paling jauh santri Cuma jadi Presiden
setengah periode, lalu menjadi wakil presiden dengan rute politik yang rumit. Presiden-presiden
sebelum dia (Gus Dur) dan sesudahnya justru tak ada yang berlatar belakang
pesantren. Katanya keberkahan dari pesantren dan Pak Kiai itu ada, lalu kenapa
Gus Dur justru memperoleh sial di akhir kepemimpinannya?”
Inilah
pertanyaan anak kelas 2 Madrasah Ibtida’iyyah Swasta yang masih kebingungan
soal makna tersembunyi dari terminologi barokah itu. Yang harus dia
tahu, barokah di pesantren itu definisi dan keberadaannya hanya akan
terlihat setelah kita cukup lama tidur berbantal lengan dan beralas sajadah di
ubin-ubin musala pesantren yang sejuk. Barokah menurut para Kiai yang
bijak bestari adalah “kebaikan yang dititipkan oleh Allah kepada sesuatu, tak
akan diketahui bentuk dan rupanya seperti apa”.
“Resapi
definisi itu!” Pintaku. Adakah definisi akan sesuatu se-absurd bahkan
semakin mengundang misteri layaknya definisi barokah versi Pak Kiai itu?
Para santri melakukan beberapa eksperimentasi spiritual bahkan sosial
–terkadang- untuk mengukur eksistensi dan signifikansi dari barokah
manakala mereka keluar dari dinding pesantren. Berbagai standar kriteria mereka
ciptakan untuk memberikan ruang dan waktu bagi pemaknaan konsepsi ini. Mereka
bekerja, berkeluarga dan meniti karir kehidupannya terus menerus layaknya
manusia pada umumnya. Para santri melepas label “kesantriannya” dan masuk dalam
satu identitas utuh bersama masyarakat. Dalam ruang dan waktu serta kondisi
yang begitu sublim ini, seorang santri seperti dilempar ke dalam sebuah
samudera pemaknaan tanpa henti dari arti “barokah” yang selama ini dimisterikan
oleh Pak Kiai.
Dalam
kondisi seperti itu, seringkali seorang santri menabrak gunung kegagalan,
perjalanannya menemui karam, lalu ada panggilan nurani yang membuatnya rindu
untuk pulang ke dalam rahim Pak Kiai. Langkah-langkahnya yang gontai telah
menyeretnya untuk bertatap dengan Pak Kiai, mengadukan berbagai macam derita hidup,
yang tentu saja lebih berat dari sekadar derita hidup selama di pesantren. Si
santri meminta pituah dan pitutur sebagai pinuntun untuk membuka makna barokah
itu.
Layaknya
seorang ksatria yang kalah dalam peperangan, setelah kondisinya benar-benar
rapuh, tak ada seorangpun yang mampu menolongnya dalam sebuah pertarungan yang
begitu sengit, dia akan kembali kepada gurunya. Meminta penyempurnaan segala
ilmu agar terus bisa lebih kuat lagi menghadapi berbagai pertempuran melawan
keburukan yang terus antri panjang di depan. Begitulah santri, ketika sudah
terdesak oleh ganasnya pertempuran dalam hidup, dia akan pulang, meminta
transfer kekuatan yang akan membantunya memenangi setiap peperangan yang akan
dia hadapi.
Panggilan
nurani seorang santri ini akan terus terngiang dalam pikirannya selama dia
belum bisa berkunjung di mana Pak Kiai itu berada. Dengan berbagai kemenangan
dan kekalahan dalam pertempuran hidup, jatuh bangun yang melelahkan, tetap saja
seorang santri akan pulang ke rahim Pak Kiai selama cahaya kesantrian itu masih
memendar dalam hatinya. Menjaga cahaya yang begitu spiritual itu tak mudah, dia
akan padam jika sinarnya dibiarkan diterpa angin yang silih berganti berhembus
dari berbagai penjuru. Apa jangan-jangan, barokah pesantren itu adalah
sebuah lentera dalam hati yang tak pernah padam? Lentera yang membuat hatinya
terus bercahaya dan menerangi ruas-ruas jalan yang gelap.
Seseorang
yang persis duduk di samping kiri berbisik, “kalau barokah pesantren itu
olehnya -merujuk pada teman di sebelah kananku- dimaknai sebagai kesuksesan material
belaka, maka Bu Susi –yang tak lulus sekolah itu- jauh lebih santri dari ente,
Bro!”
Komentar
Posting Komentar