Beberapa hari terakhir
lagi viral trailer film The Santri, film ini dibintangi oleh beberapa figur
muda dan influencer di kalangan santri beberapa tahun terakhir. Mereka
adalah Gus Azmi, Neng Veve dan Neng Wirda Mansur. Ketiga muda-mudi yang
tentunya lebih muda dariku dan pasti tak mau menjadi makmumku ini sebagian
besar berlatar belakang seniman, cowok pertama adalah pentolan dari sebuah
Majelis Selawat terkenal, yang kedua adalah penyanyi kasidah solo yang biasanya
tampil dengan abinya yang menjadi Qori’ internasional, Ustadz Zulfikar. Wanita
cantik selanjutnya adalah putri sulung Ustadz Yusuf Mansur, seorang Hafidzoh
yang cantiknya menyadarkanku agar tak banyak bermimpi untuk menyandingnya
di pelaminan. Xaxaxa
Film The Santri ini
mengangkat santri sebuah entitas yang unik di persada pertiwi ini. Masyarakat
santri (bukan Komunitas Santri IAIN Pontianak) adalah sebuah kumpulan
intelektual tradisional yang ada di Indonesia dan telah ada sejak ratusan tahun
yang lalu. 22 oktober adalah Hari Santri Nasional yang dijadikan sebagai
momentum kuat untuk menegaskan bahwa pesantren dengan segenap ciri khasnya
adalah komponen penting yang sepanjang sejarah negeri ini terus bergerak dan
mengawal agama dan Nusantara sekaligus.
Santri memang bukan
komunitas yang eksklusif, dia inklusif. Selama ini masyarakat pesantren
meyakini bahwa menjadi santri bukan hanya sekadar status yang ditempelkan di
bingkai profile facebook belaka, tapi santri adalah sekumpulan nilai dan
tatakelola spiritual dan intelektual yang harus menyatu dalam kehidupan
sehari-harinya. Dari itu, setiap pesantren mempercayai akan kekuatan makna yang
tersimpan pada lima huruf dalam kata “Santri”. Makna yang terkandung di
dalamnya tidak harus sama antar satu pesantren dengan lainnya, tapi tujuannya
tetap satu.
Dari lima huruf yang
terkandung itulah sebuah filsafat (tata nilai) santri terbentuk, dan hal ini
meniscayakan sebuah kesimpulan “bahwa santri bukan sekadar status yang
tercermin dari almamater pesantren”, tapi bagaimana nilai-nilai itu menyatu dalam
setiap jejak langkah kesehariannya. Bahkan, santri yang sesungguhnya adalah
mereka yang keseharian hidupnya mencerminkan sikap-sikap yang sesuai dengan
etika yang selama ini diajarkan di pesantren-pesantren dengan proses yang lama.
Sejak Hari Santri Nasional
diresmikan oleh Pemerintah RI sebagai hari monumental dan bersejarah, sejak
saat itu terjadi narasi yang berupayan mengeksklusi istilah santri sebagai
sekumpulan muda-mudi yang belajar dan mukim di pesantren tertentu dan belajar di
sana. Ada sebuah fenomena yang sepertinya menggiring kesimpulan bahwa “santri
adalah mereka yang mukim di pesantren”, terlepas apakah mereka menggumuli atau
tidak terhadap makna yang dikandung dalam istilah santri itu sendiri.
Salah satu hal yang menjurus
pada fenomena ini boleh jadi tentang adalah program Menpora (Menteri Pemuda dan
Olahraga) yang bertajuk Liga Santri Nasional (LSN), agenda menarik ini dan
bertujuan untuk mencari bakat-bakat terpendam dalam dunia sepak bola, dari
kalangan pesantren pastinya. Meskipun pada realitanya, mereka tak semua dari
mereka benar-benar santri yang mukim di pesantren tertentu, bahkan banyak,
untuk kasus Kalimantan Barat yang para pemainnya justru didatangkan dari luar,
dan hanya meminjam nama suatu pesantren untuk bisa ikut dalam kompetisi tahunan
ini.
Mungkin akan ada sebagian
orang yang berkata “bahwa santri bukan hanya mereka yang mukim saja”, kita
sepakat, walaupun kata-kata ini dimaknai dalam paradigma double standard yang
begitu pragmatis. Satu sisi istilah santri semakin menguat pada identitas
definitif yang eksklusif, dan di sisi lain, inklusifitas dibangun untuk kasus
spesifik seperti LSN itu. Itu pun terkesan pragmatis dan mentah, alias hanya
dijadikan argumen pembelaan saja.
Sekarang kembali ke
masalah Trailer dari Film The Santri, meski hanya sekali melihat tayangannya di
Youtube, aku sudah bisa memprediksi problematik film ini beberapa waktu ke
depan. Terang saja, setelah rilis, beberapa kritik bahkan berujung pada gerakan
boikot terhadap film yang disponsori oleh PBNU ini mulai mengemuka. Beberapa
tokoh bahkan memberikan komentar yang cadas, bahwa film ini telah merusak citra
santri yang selama ini begitu Islami.
Ada beberapa skenario yang
sepertinya menjadi titik perbincangan para kritikus -bukan kritikus film, tapi
kritikus NU- untuk menenggelamkan film ini. Di antaranya adalah scene percintaan
yang –katanya- dimuat dalam film, dan tentu saja yang paling runyah untuk
dikritik dan diserang oleh para kritikus segala hal yang berbau NU itu adalah
adegan “membawa tumpeng ke gereja”. Menurut mereka, ini adalah salah satu
adegan yang sarat dengan ajaran pluralisme yang induknya adalah liberalisme,
dan bisa jadi –dalam dengkul mereka- adalah selundupan PKI.
Bagi PBNU, yang resistensi
dan tuduhan semacam ini bukanlah barang baru. Hampir setiap kebijakan NU selama
ini memang seringkali berbenturan dengan beberapa terminologi yang definisinya
dibuat sendiri, khususnya liberalisme dan PKI. Efek dari film ini adalah
memperparah tuduhan-tuduhan itu ke PBNU, apalagi pada tahun –kira-kira- 2009,
film “Tanda Tanya (?)” pernah mengundang kontroversi, karena di dalamnya sarat
dengan skenario yang menampilkan beberapa isu sentral yang berkembang soal
fenomena agama dalam ruang sosial, seperti fenomena konversi, rasisme,
radikalisme, terorisme sampai pada perdebatan teologis mengenai pluralisme.
Yang membuat NU terlibat di dalamnya adalah sosok pemeran utama yaitu Sholeh
(Reza Rahadian), sebagai anggota Banser NU, dia aktif menjaga gereja, tapi juga
terlibat dalam gerakan penghancuran warung makan milik Cina di daerah itu.
Beberapa scene dalam
film “?” di atas mengundang beberapa perdebatan dan kritik, NU tentu sudah
pasti diserang. Film The Santri ini juga demikian, narasi yang dilontarkan oleh
para “kritikus” NU itu juga mengarah pada upaya untuk menggembosi ide dan
segala hal yang termuat di dalam film ini. Bagaimana kemudian duduk perkara film
The Santri itu? Mari berdiskusi!
Pertama, sebenarnya film
yang mengangkat ke dunia pesantren sudah cukup banyak. Santri diangkat pertama
dalam layar televisi bisa jadi melalui film Santri Rock & Roll, sebuah
sinetron sekitar tahun 2010-an. Setelah itu, yang diangkat ke layar lebar
mungkin film Negeri Lima Menara, film Baik-baik Sayang, kesemuanya menampilkan
santri-santri di pondok pesantren modern. Film yang mengangkat pesantren memang
selama ini banyak menampilkan pondok pesantren seperti Gontor dan
cabang-cabangnya. Contohnya dua film di atas, untuk film kedua itu sebenarnya
merupakan cerita romance yang mengambil latar pesantren Latansa sebagai
lokasi, karena memang semua pemerannya (personil Wali Band) adalah alumni
pesantren ini.
Selain itu adalah film
Cahaya Cinta Pesantren, setting pesantren yang ditampilkan juga pondok
pesantren Modern, pemeran utamanya adalah Yuki Kato (sebagai Marsila Silalahi).
Film ini juga berbicara mengenai beberapa lika-liku kehidupan pesantren berikut
segala problemnya, cinta menjadi topik utama dalam alur cerita film ini. Mungkin
masih banyak lagi film-film yang senada dengan ini, di antaranya adalah film
“Ada Rumah di Surgamu”, film ini menceritakan seorang santri yang ingin jadi
artis, namun kemudian menjadi dai. Di film ini Ustadz Habib Ahmad al-Habsyi
menjadi kiai yang mengkader santri-santrinya untuk menjadi dai. Drama cinta
barangkali ada di film ini, tapi hanya di beberapa sisi yang sepertinya tidak
prioritas meski pun tampak. Karena yang lebih ditampilkan adalah peran dan
kasih sayang soerang ibu kepada anaknya.
Film-film di atas semua
menampilkan pesantren sebagai sebuah lembaga yang memungkin menampung berbagai
macam skenario yang multi-aspek. Kita harus jujur, bahwa pesantren bukan hanya
sekadar tempat pendidikan, tapi terkadang di pesantren seseorang juga melakukan
pencarian jati diri sampai mencari cintanya. Keluasan ruang di pesantren ini
ternyata dianggap memiliki daya pikat kuat yang jika diunggah ke layar lebar
mampu memberikan daya tarik tersendiri, alias potensi filmografi lumayan besar
di pesantren.
Hanya saja, catatan yang
patut kita berikan adalah karena sebagian besar ceritera pesantren yang
diangkat ke layar lebar terlalu banyak mengambil setting lokasi
pesantren-pesantren modern atau semi-modern. Pesantren dengan corak tradisional
murni (salaf) masih jarang atau bahkan tidak yang mencoba mengangkatnya dengan
label sinematografi besar di negeri ini. Bisa jadi karena pesantren salaf
kurang adaptif dan “terlalu angker” untuk diajak berkompromi dalam hal-hal yang
sebenarnya tidak begitu penting ini.
Kembali ke film “The
Santri”, film ini sepertinya juga berusaha memadukan antara corak pesantren
salaf dengan modern secara seimbang, hal ini minimal tampak dari tradisi
sarungan yang menampilkan tradisionalitas, dan juga ada beberapa ekstra
kurikuler pesantren seperti pencak silat yang menampilkan style pesantren
modernya. Belum lagi ada beberapa percakapan bahasa Inggris yang terdengar di
awal scene dalam trailer itu, dan tentu saja ucapan “please, accept
it” yang diucapkan dengan anggun oleh Wirda Mansur manakala menyerahkan
tumpeng ke pendeta dalam gereja.
Nasib yang lain menimpa
film ini, kalau beberapa film dengan latar pesantren di atas laku keras bahkan
nyaris tak ada kontroversi, tapi film The Santri justru memperoleh beberapa
ganjalan dan pandangan miring dari beberapa tokoh. Kita patut bercuriga, bahwa
para kritikus itu memberi kritik hanya karena NU yang menjadi sponsor utama di
dalamnya. Kalau bukan karena NU yang memberikan dukungan dan kontribusi dalam
film ini, bisa jadi film ini akan banyak diminati oleh banyak kalangan, atau
minimal tidak mengundang kontroversi.
Komentar
Posting Komentar