Njejer Pandito



Tokoh-tokoh besar di negeri ini pernah melakukan njejer pandita yang dalam bahasa Pesantren biasanya diartikan “sowan” dalam rangka ngamri berkah dan minta petunjuk tentang sesuatu kepada Kiai. Bung Karno misalnya, dalam waktu yang agak lama, dan disebutkan dalam berbagai otobiografi yang ditulis oleh orang-orang dekatnya selalu melakukan jejer pandita dengan seorang Kiai yang kemudian dikenal dengan nama Kiai Sukanegara. Tan Malaka sowan ke KH. Hasyim Asyari pasca dikeluarkannya diktum resolusi Jihad, Pangeran Diponegoro melakukan jejer pandita kepada gurunya Kiai Taftajani dan Kiai Maja. Bahkan Untung Suropati senantiasa sowan kepada gurunya yang dikenal dengan sebutan Tuan Syeikh Kiai Ebun.

Di kalangan masyarakat pesantren, istilah njejer pandita ini biasanya dikenal dengan istilah tamalluk (mendekat) dan tabarruk (mencari berkah) bahkan meminta pituah manakala sang santri diperhadapkan dengan sebuah masalah yang dirasa terlalu berat untuk diemban sendiri. Warna spiritualitas dalam hal begitu kentara, seorang santri biasanya akan mengalami kekosongan nurani yang panjang manakala ruang dan waktu terlalu lama memisah jarak antara dia dan sang Kiai. Spiritualitas goyah inilah yang kemudian mendorong seorang santri kemudian membulatkan tekadnya untuk bertamu ke rumah sang Kiai, menatap wajahnya, dengan duduk bersimpuh seperti seorang “pengemis” yang mengharapkan iba dari seseorang.

Begitulah hubungan seorang santri dengan sang guru yang sulit sekali didefinisikan bagaimana intimnya. Para kiai di gubuk-gubuk pesantren, setiap waktu selalu membersitkan doa untuk para santrinya, baik yang masih mukim atau yang sudah diberi tugas untuk melanjutkan perjuangan hidup di alam luar. Limpahan doa inilah yang kemudian selalu menyertai seorang santri, doa yang tidak sama kualitasnya dengan doa siapapun, karena diucapkan dengan ketulusan sang murobbi setelah bertahun-tahun melakukan riyadloh dan mujahadah untuk mendidik manusia-manusia unggul.

Bertemu dan menghadap kepada Soko Guru pemahat jiwa adalah hal yang paling menggembirakan bagi seorang santri. Maka wajar, kalau seorang santri yang terlalu lama berada di luar dinding pesantren, menjalani kerasnya hidup, berlumpuran dalam kubangan permasalah dan kekacauan, hal ini yang kerap kali menjadi bibit bagi munculnya tunas kerinduan yang mengendap selama bertahun-tahun dalam hatinya. Ikatan inilah yang membuat seorang santri itu tetaplah santri, tak ada istilah alumni apalagi mantan bagi seorang santri, seperti apapun kondisi dan keadaannya. Dia tetaplah santri, sepanjang ikatan spiritual yang begitu halus di dasar hati terus dia asah, baik melalui tawassul maupun bertemu langsung.

Energi kuat Pak Kiai itu seperti sebuah daya magnet, yang mana santrinya adalah besi-besi yang dalam spektrum tertentu akan terus bergerak mendekat. Meskipun besi-besi itu kian jauh jaraknya, baik karena bidangnya sudah tak lagi datar sehingga banyak besi yang jatuh berserakan sehingga tak lagi tersentuh oleh daya magnet itu. Dalam kondisi yang seperti ini, Kiai sebagai magnet akan bergerak mendekati besi-besi yang awalnya jauh dan menghindar, menjadi lebih dekat dan bahkan dekat lagi.

Kiai inilah mursyid dalam kehidupan seorang santri, citra hidup yang ditampilkan Kiai bukan sekadar teladan dari aspek-aspek formal belaka, tapi jauh dari itu, Kiai adalah seorang murobbi (pengasuh) rohani, pembimbing untuk memperoleh makna kehidupan sejati di dunia ini. Aspek yang kelihatan begitu spiritual inilah yang membuat eksistensi seorang Kiai itu bukanlah sekadar status akademik layaknya orang yang menempuh studi-studi formal, melainkan sebuah gelar yang lahir oleh karena kecakapan spiritual yang pendar cahayanya mampu menembus berbagai jenis hati para santrinya.

Spiritualitas kuat yang ditampilkan oleh seorang Kiai ini memang kerap tak begitu tampak dalam permukaan. Para santri mungkin hanya mengenal bahwa Kiai-nya hanyalah seorang yang pakar dalam satu bidang ilmu tertentu. Atau mungkin saja beliau adalah orang yang begitu cerdas hingga berbagai macam cabang-cabang ilmu keislaman bisa dikuasainya dengan baik. Atau boleh jadi, para santri –secara formal- terkadang hanya mampu menangkap bagian luar-luar saja dari sikap-sikap yang ditampilkan oleh Sang Kiai. Seperti perjuangan kerasnya, kelembutan budinya, kesabaran dan ke-tawadhu’-annya. Hal ini normal saja, mengingat bentuk-bentuk itulah yang paling dekat untuk ditangkap oleh mereka. Sementara pada sisi yang kasat mata bahkan mungkin tak terlihat di balik keindahan teladan sang Kiai, inilah yang sebenarnya paling fundamental dari diri Kiai itu. Namun, untuk menemukan hal ini dibutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun, melalui proses belajar panjang dan pemberian makna terhadap the other side of Kiai.

Sisi lain Sang Kiai ini memang sulit ditemukan, sebab dia begitu rapat terselubung oleh karena kuatnya pesona cahaya yang tampak dalam berbagai bentuk-bentuk formal seperti akhlak (hablun min Allah, hablun min annas dan hablun minal alam). Jika seorang santri (tholib) hanya terhenti pada hal ini, tanpa mencari proses pemberian makna mendalam terhadap berbagai hal yang sebenarnya terselubung di baliknya, maka bisa jadi sang santri hanya akan mengikuti sang Kiai dalam aspek-aspek formalnya saja. Itu tentu saja bagus, daripada tidak sama sekali.

Di sinilah makna thalib (santri-pencari) itu begitu aktif dan dinamis. Santri diibaratkan sekelompok orang yang tak pernah berhenti mencari, hingga ia menemukan apa yang selama ini tersembunyi dari seorang Kiai.


Komentar