Dari pertengahan september
bulan lalu, sampai hari ini (14 Oktober 2019), Kota Pontianak khususnya
dianugerahi curah hujan yang begitu tinggi. Setelah sekitar 2 bulan lebih
direndam kabut asap yang membawa penyakit dan distabilitas sosial, turunnya
hujan itu laksana jawaban bagi segenap kerinduan udara sejuk yang selama ini
kian langka.
Menurut beberapa
informasi, Kota New Delhi, Ibu Kota India, negara Amir Khan bertahta sebagai
artis Bollywood papan atas, adalah negara dengan kadar polusi udara terkotor di
dunia. Setiap individu di kota ini laksana menghisap 100 batang rokok,
sekalipun India bukan negara pengkonsumsi rokok. Tak tahu apa persis alasannya
kenapa negara yang terkenal oleh tembang “Kuch Kuch Ho Ta Hai” ini begitu
tinggi intensitas kabut polusinya.
Tapi bukanlah itu
masalahnya, guyuran hujan di Kalimantan Barat yang begitu tinggi terutama sejak
awal Oktober kemarin adalah kebalikan dari kondisi di Pulau Jawa yang katanya
sudah lima bulan terakhir ini belum disiram hujan. Bedanya, Pontianak, dua atau
tiga minggu saja tanpa hujan, semua penduduknya akan kalap oleh asap pengap,
sumber air bersih langka, dan tentu saja udara akan semakin panas.
Penduduk di Ibu Kota Kalimantan
Barat ini memang kelewat keras dalam mengutuk musim. Musim hujan rentan banjir,
musim panas rentan asap. Yang membahagiakan hanyalah musim durian, meski tak
semua penduduk bisa menikmatinya, hanya untuk mereka yang berkebun dan
kebetulan lahir di kampung.
Sebuah meme di
media boleh jadi ada benarnya manakala menampilkan sebuah tulisan dengan image
yang cukup jeli untuk mengungkap sikap dilematis orang-orang Pontianak
setiap kali memasuki musim tertentu: “Ujan teros kalot, panas pon bekalot,
memang lah budak Pontianak”. Gerutu semacam ini dari makro saja, belum lagi
beberapa hal dilematis lain yang bersifat mikro, betapa banyak pembuat meme menemukan
inspirasinya.
Menghadapi musim memang
adalah hal yang unik, jika di Pontianak takut kabut asap saat kemarau, di
Jakarta justru takut banjir bila musim hujan. Tuhan seperti menggilir derita di
negeri ini, informasi tentang cuaca yang rutin disiarkan pasca kurangnya
ketebalan asap di pertengahan september kemarin, membuat sebagian rakyat di
beberapa daerah di Indonesia bernapas lega. Namun, sesak bagi Jakarta, manakala
menyambut bulan “ber-ber”, beberapa daerahnya mulai terendam banjir.
Beruntungnya, Tuhan tak disalahkan, akhirnya, Pemprov-nya lah yang jadi sasaran
bagi serapah dan bully-an.
Inilah fenomena musiman di
negeri ini, semuanya seperti menandaskan bahwa derita tak akan pernah berhenti
melanda suatu negeri. Kita mungkin berpikir ini hanya terjadi di Indonesia, tapi
belahan dunia lain bisa jadi lebih sering kalap, bahkan tanpa musim yang jelas.
Beberapa negeri di Arab, terus saja panas meski musim dingin mendekap. China
yang ekonominya menguasai dunia hari ini, faktanya manusia-manusia suci Uyghur
harus menderita karena dirampas hak kemerdekannya.
Orang Indonesia perlu
bersyukur, meski Wamena masih berbau darah, paling tidak negeri kita masih
menyimpan sejuta krisis lain dan isu-isu “berat” seputar KPK, makian politisi,
debat konyol di acara televisi, dan lain-lain. Walhasil, isu-isu perdamaian dan
kebebasan hak itu tak sebegitu “tampak” sebagai derita, karena tertutup oleh
tumpukan berkas birokrasi untuk daftar ujian skripsi di kampus-kampus kita.
Komentar
Posting Komentar