Manusia Pasca- Sarjana



Dia masih saja gemuk, mesti setiap kali menjawab ketika ditanya soal pekerjaan “aku penangguran”. Dia tak berdusta, karena beberapa minggu sebelum ini dia terlihat membawa map dengan ijazah s-1 di dalamnya. Dia sedang mencari pekerjaan, basic sarjana hukum Islam yang baru dia gondol sekitar setahun yang lalu memang tak banyak berpengaruh terhadap kehidupannya, selama beberapa bulan ini. Namun, orang satu ini tetap sehat dan terlihat sangat bahagia.

Problem pasca selesai s-1 memang bukan hanya dimonopoli oleh dia seorang. Masih ribuan jumlah pengangguran dengan latar akademis yang mumpuni bahkan cemerlang, tapi ketika toga wisuda mulai dilepas dan dilipat rapi dalam kemarin, begitu pula ketika foto-foto saat yudisium telah selesai dipajang atau di-upload ke medsos, segera tantangan berat merintang di depan. Perjuangan tentu masih sangat panjang, dan pasti lebih panjang dari periode di mana dia memakai almamater.

Temanku yang hari ini sedang menikmati kopi hangat yang baru saja dipesan itu paling tidak telah memilih untuk memulai lebih dulu menghadapi realitas kehidupan di depannya. Ini tentu lebih baik –dariku dan- bagi mereka yang sampai hari ini belum juga menyelesaikan perkuliahannya.

Problem pekerjaan menjadi hal yang paling menakutkan bagi sebagian besar serjana yang ada di negeri ini. “Kalau hanya bermodal ijazah s-1 sulit untuk memperoleh pekerjaan yang baik dan menjanjikan di masa depan”, begitu sebagian orang-orang berpengalaman berkata. Bab pekerjaan memang tak pernah habis menjadi problem manusia, bahkan dia begitu primordial bagi dirinya. Bekerja bukan hanya sekadar untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah, tapi juga soal prestise yang erat kaitannya dengan status sosial seseorang.

Beberapa teman-teman ngopi kadang kala berpendapat bahwa mengajar di Pesantren sepertiku merupakan pekerjaan yang cukup tinggi strata sosialnya, dengan segala hormat dan perlakuan spesial yang diberikan oleh para santri yang tentu berbeda dari sudut pandang tertentu dengan sekadar siswa. Meskipun mengajar di Pesantren –apalagi dalam konteks mengabdi seperti yang kujalani- bukanlah sebuah profesi yang cukup menjanjikan dalam hitung-hitungan rupiahnya. Tapi, seorang teman selalu saja berkata “bahwa Anda laksana Brahma, yang hari-hari membaca Weda untuk mencerahkan manusia-manusia menuju jalan Nirwana”. Padahal, secara finansial dia lebih kaya dariku.

Begitulah orang-orang memandang sebuah pekerjaan bukan hanya sekadar sebuah rutinitas primordial dalam hal kebutuhannya terhadap biaya hidup, tapi juga merupkan sebuah gambaran utuh dari kecenderungan yang selama ini dia inginkan. Temanku yang gemuk dan baru saja bergabung di deretan bangku Warkop pagi ini, ke sana ke mari mencari peruntungan untuk menjadi seorang lawyer sesuai dengan ijazah s-1 yang dia bawa. Tapi, sejarah dalam otakku mencatat, bahwa hobi menulisnya pernah mengantarkan dia untuk menjadi wartawan Tribun selama sepekan, meski pun dia harus resign dini oleh karena “koran itu tak lagi senarai dengan idealisme pers yang dia genggam selama ini”.
Menjadi wartawan bagi seseorang yang basis akademiknya adalah hukum tentu bukan perkara asing. Beberapa guru sewaktu aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas adalah lulusan serjana teknik atau ilmu eksak, yang kemudian menjelma dengan hebat menjadi guru Bahasa Indonesia, mereka berjasa mengenalkanku beberapa istilah: kalimat induktif, kalimat deduktif, prosa, cerpen, opini, fakta dan beberapa istilah ilmiah yang erat dalam kajian bahasa Indonesia.

Gerak dunia yang semakin sulit sekali ditebak ke mana arahnya, membuat alam kerja seperti diladan likuifaksi. Seorang tukang bangunan tiada yang tahu bahwa dia adalah lulusan serjana s-1 di Fakultas Ushuluddin, manakala dia bertopeng dan sibuk dengan mengaduk semen-pasir di tengah terik matahari siang ini. Begitu pula, orang-orang di kampus “itu”, dengan dasi melilit lengkap dengan jas dan sepatu pentofel, tak ada yang tahu bahwa dia adalah “maling” yang berprofesi sebagai tukang sunat anggaran.

Bekerja memang citra utama dari manusia, Marx –ideologi besar komunisme itu- memposisikan pekerjaan sebagai citra diri paling otentik dari manusia. Karya adalah hasil dari sebuah karsa yang mengendap dalam otaknya kemudian mewujud dalam sebuah produk otentik dari dirinya. Ketika hal ini mulai dirampas, produksi sudah dikuasai oleh segelintir orang, melalui penguasaan alat-alatnya, maka kapitalisasi berkembang dan merampas otentitas manusia dan segenap karya cipta yang murni dari dirinya. Marx kemudian mengelus jenggot dan mulai sebuah proyek pemikiran besarnya, dan terus bersemai sampai hari ini.

Kapitalisasi yang berawal dari perempasan terhadap hak otentik manusia ini, pada akhirnya terus membengkak dan merendam hampir semua lini kehidupan. Analisis mendalam yang diberikan Marx terhadap kapitalisme memang begitu canggih, meski pun doktrinnya tentang beberapa hal yang “utopis” prihal hilangnya peran negara lalu dunia akan bergerak dalam nalar komunal. Semua tentang impian Marx ini kemudian dipaksa “kenyataan” dengan doktrin revolusi yang menemukan nyawanya di bawah kendali Lenin dan tokoh revolusioner lainnya.

Tak elok berasan-rasan tentang Marx yang sudah tenang di bawah batu nisannya, khawatir ia terganggu untuk kemudian bangkit kembali dengan brewok angkernya. Mungkin kita diperkenankan “ghibah” mereka yang hari ini sedang duduk manis di pojok-pojok kantor DPR dan masih membahas berbagai agenda pasca diteror oleh Mahasiswa beberapa waktu lalu. Yang perlu kita tahu, mereka juga sedang bekerja –atau mungkin mengerjai- untuk kita.

Untuk aku, dia, mereka dan kita yang hari ini lagi begitu intim dengan status pengangguran dan kejombloan, sesedikit mungkin perlu untuk memandang dunia kerja ini dengan mode idealis dan material. Dua terminologi filsafat itu kerap mengundang persilangan ketat yang seolah tiada titik bagi keduanya untuk bertemu. Padahal keduanya begitu dekat dengan kita, apa yang selama ini dianggap idealisme dalam kerja, merupakan sisi lain dari materialisme pandangan yang mengisi tiap-tiap jengkal para pekerja.

Seorang pemuda semester tujuh, baru saja merapat untuk ngopi siang ini. Dia rajin membaca dan aktif dalam agenda-agenda gerakan mahasiswa di kota ini. Bercengkrama dengannya seperti memutar memoriku kepada 3-4 tahun sebelum ini. Wacana intelektual yang dibawa, pemikir yang sering dikutip, bahkan isu-isu ter-update semua dilahapnya. Tak ada yang menyangkal, bahwa dia jauh lebih mengetahui seluk-beluk isu yang ada di kampus bahkan skala nasional dariku. Ada idealisme pergerakan layaknya mahasiswa di dadanya. Keingintahuan bahkan sampai popularitas dan berbagai macam impian seperti tumpang tindih dalam otaknya dan antri untuk ditumpahkan di tengah-tengah warkop.

Begitupun, dia bukanlah sosok yang benar-benar anti kompromi layaknya Soe Hok Gie, idealisme hidup yang ingin dia capai adalah menjadi orang kaya. Dia sering mendeklarasi keinginannya di hadapanku, bahwa kelak dia ingin menjadi orang kaya yang tetap lurus dengan garis-garis prinsip nilai yang selama ini dia dalami dari berbagai literatur yang dia baca. Alasannya, “dengan menjadi kaya, maka segala hal bisa dia lakukan dan yang diinginkan bisa diperoleh” dengan cepat dan –mungkin- dekat.

Oleh karena keinginan untuk menjadi orang kaya itulah dia berkata, bahwa “tak mungkin untuk tidak berkompromi dengan tuntutan hari ini”. Idealisme gerakannya memang kurang konsekuen dia pertahankan, karena tujuan kaya yang diimpikan tak akan tercapai –menurutnya- kecuali turut serta dalam gejala kapistalisme di berbagai sektor yang hari ini kian tak terelakkan. Dia sadar, bahwa untuk bisa hidup di alam pasca s-1 tidaklah mudah, apa yang dia raup sejauh ini dari organisasi, yang konsisten menanam nilai-nilai kehidupan tak semuanya koheren dengan tuntutan ril yang ada di lapangan.

Idealisme tentang hidup memang sulit untuk dicerna dalam keseharian yang begitu materialis. Dalam diskursus filsafat, Marx adalah orang paling sukses dalam mendudukkan masalah materialisme pada tahap yang paling materi. Namun, kita juga tahu, bahwa karena begitu tajamnya renungan Marx terhadap realita materi ini, pemikirannya kemudian berputar arah dari materialisme dialektis, ke materialisme idealis. Bahwa dia bermimpi agar dunia tak lagi bergerak dalam sebuah sistem korup seperti agama, negara bahkan idealogi, adalah idealisme yang nyata!

Dan, hari ini, kita melihat bahwa materialisme dan idealisme telah menyatu erat dengan definisi yang kian ambigu. Dalam hal yang paling praktis dari kehidupan, dua istilah ini menjadi tidak penting lagi. Ah, aku mulai bisa membaca, bahwa gaya berpikir pragmatis seperti itu benar-benar ada, realistis, aktual dan bahkan faktual.


Komentar