Hari
ini seluruh Republik Indonesia seperti tertelan duka, seorang ulama yang begitu
mencintai tanah air karena kedalaman ilmu agamanya baru saja berpulang
keharibaan Allah. KH. Maimoen Zubair, beliau meninggal dalam usia 90 tahun,
pada hari selasa 5 Dzul Hijjah 1440/6 Agustus 2019 di kota suci Mekah. Luka
mendalam tentu dirasakan oleh seluruh keluarga besar beliau, santri-santri,
pengikut dan semua manusia yang merasakan keteduhan kasih beliau selama ini.
Musytasyar PBNU ini satu-satunya ulama sepuh nan masyhur yang dimiliki oleh
umat Islam di Indonesia.
Sewaktu
sedang membaca kitab Riyadlul Badi’ah karya Syekh Muhammad Hasbullah di
Pesantren Baitul Mubarok (selasa 6 agustus 2019), kabar duka itu begitu saja
menghentak alam pikiranku, seperti tak percaya, sosok kharismatik dan teduh
yang selama ini menjadi soko guru ulama NU telah tiada. Segera kututup kajian
dan mulai membaca Yasin dan Tahlil sebagai hadiah terakhir kami, salah satu
dari sekian ribu santri di Indonesia.
Mbah
Moen meninggalkan ribuan jejak indah yang telah dirintis oleh ulama salaf.
Beliau membekaskan itu kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Beliau menguasai
berbagai disiplin ilmu, oleh karena itu beliau tak pernah berhenti mengajar dan
memberikan kajian atau ceramah. Suatu saat ketika beliau pergi, duka tak lagi
bisa terbendung, bangsa baru saja kehilangan salah satu ulama kekasih Allah
yang entah siapa penggantinya.
Mbah
Moen merajut anyaman bangsa ini sejak lama, seolah tiada lelah mempertemukan
Islam dan Indonesia. Di tengah banyaknya pemikiran Islam yang sibuk-sibuk
menjelaskan dengan berbagai teori tentang relasi bangsa dan agama, Islam dan
negara, Mbah Moen hanya membahasakannya dengan sederhana, sesekali gelak tawa.
Seperti gabungan huruf PBNU yang menurut beliau merupaka singkatan dari
“Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Undang-undang 1945”.
Luapan
nasionalisme Mbah Moen memang sangat kental, meski berjalan harus menggunakan
kursi roda, turun naik musti dibopong, namun semangat “hubbul wathon” yang
tinggi, membuat beliau mampu berdiri tegak selama lagu Indonesia Raya
berkumandang di sebuah acara. Mbah Moen benar-benar merasakan bagaimana ulama
negeri ini berikhtiar melalui segenap usaha mereka untuk menjadikan negeri
sebagai representasi dari baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Pasca
Pemilu 2019 yang penuh intrik dan polarisasi keras, identitas digoreng-aduk
sedemikian rupa, keislaman dan kebangsaan disilangkan oleh para aktor perusak,
Mbah Moen berangkat dengan tenang di bulan dan tempat yang suci, sesuci
hatinya. Semua orang seperti lebur dalam duka, Indonesia seperti sedang kembali
ke khitthah kebangsaannya. Negeri Untaian Zambrut Khatulistiwa sedang
memendam duka dalam keheningan.
Komentar
Posting Komentar