Paradoks



Beberapa hari lagi rakyat Indonesia akan mengadakan Pesta Demokrasi, 17 April 2019. Sejak beberapa bulan terakhir, tanggal ini sepertinya paling ditunggu. Bahkan, belum pernah terjadi dalam sejarah demokrasi Indonesia sejak 2004 di mana rakyat dengan penuh antusiasi mengikuti setiap pekan-pekan debat Capres, liku-liku permasalahan nasional bahkan internasional, walau mayoritas masih saja mengeluarkan argumen sampah.

Ini efek perkembangan media sosial yang sangat masif sejak beberapa tahun ini. Seseorang bisa berpartisipasi dalam masalah apapun dengan begitu mudah. Mau jadi agen dakwah, belajar ilmu kesehatan, mengetahui teknik bela diri, sampai memberikan solidaritas ke Palestina, semuanya bisa dilakukan hanya dengan syarat like, komen and share, apalagi lagi ditambah dengan subscribe plus menyalakan lonceng. Dunia kita kita di sini adalah dunia mereka di sana.

Hilangnya sekat antar satu orang dengan yang lain di media sosial, bisa kita ibaratkan semacam lalu lintas di Pontianak yang tak dijaga oleh Polisi dengan traffic lamp yang tak berfungsi. Kemacetan terjadi, senggol-senggolan sudah pasti, beruntung tak ada yang mati. Semua orang merasa memiliki jalan itu, bahkan menaikkan sepeda motornya ke pinggiran trotoar, menerobos dari arah kiri dengan bahaya, sampai emak-emak dengan suara mengambang tertiup angin berteriak “bukan jalan moyang kau nih!”.

Ternyata, kebebasan serta keterbukaan juga berbanding lurus dengan kekacauan. Kita sepakat bahwa jalan adalah milik bersama, terbuka untuk umum, sama dengan kesimpulan bahwa yang berkuasa dan punya kekuatan tetap akan mengambil porsi lebih di dalamnya, dengan mengecualikan jika regulasi yang ditetapkan berjalan dengan normal dan baik.

Komentar