Tanggal
18 juli 2019 daku diundang untuk berbagi cerita tentang buku Beragam dalam
Kebingungan, yang kutulis bersama sahabatku, Khoiril Arif Yaqub atau biasa
kusapa dengan panggilan kesayangan “jancuk”. Lokasi acaranya di Kota
Singkawang, sebuah kota Pariwisata khususnya untuk masyarakat Kalimantan Barat.
Aku bersama temanku Rusydi Aslam mengendarai sepeda motor sonic yang belum
genap dua tahun usianya. Perjalanan lancar sampai ketujuan, sekitar tiga jam
perjalanan melewati dua kabupaten memang sedikit melelahkan. Selain jok motor
sonic yang memang ramping cukup membuat bokongku mati rasa sepanjang
perjalanan.
Yang
agak menegangkan memang saat melintasi jalan yang selama ini dikenal angker,
bukan karena sering ada penampakan wanita berambut panjang, berbaju putih seperti
gamis, dengan wajah pucat pasi, tapi karena tempat itu seringkali menjadi momok
bagi tradisi tabrakan yang menggenaskan. Sebelum masuk ke jalan itu, aku
berbisik ke temanku, sesaat lagi kita akan memasuki kawasan yang selama ini
ditakuti oleh pengendara lintas kota. Ketakutan itu seakan setali dengan
bisikanku, karena tak lebih dari semenit ketika kami mulai memasuki jembatan
dengan ukuran sempit, menanjak dan membelok sekaligus, di tempat angker itu
kami melihat ada beberapa mobil yang antri. Kupikir sekadar macet, ketika motor
kami berada di atas jembatan itu, alangkah terkejutnya kami ternyata seorang
berbaju tentara telah terbaring tak berdaya di atas bak mobil pick-up, seorang
ibu –mungkin ibunya- tak menangis meraung-raung di tengah kesibukan beberapa
orang yang juga melakukan sesuatu pasca tabrakan.
Jembatan
Air Hitam, begitu masyarakat Kalimantan Barat menyebut, terletak di jalan Raya
Peniti, Desa Sungai Nipah, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah. Program Televisi “Mr. Tukul Jalan-jalan” beberapa
tahun yang lalu pernah menjadikan lokasi ini sebagai salah satu tempat angker
yang kemudian diilustrasikan melalui lusikan oleh Ust. Sholeh Pati. Tak perlu
mengeluarkan data berapa kali tabrakan di daerah terjadi dalam satu tahun, dan
berapa banyak sudah yang mati dengan tragis. Hal ini mengundang berbagai
spekulasi publik terhadap tempat itu, mulai dari permasalahan teknis hingga
kepada nuansa mistis. Inilah yang membuatku terus deg-degan ketika melakukan
perjalanan dari Pontianak ke Mempawah, Bengkayang atau ke Singkawang.
Dari
sisi teknis memang jembatan ini agak bermasalah, walaupun sebenarnya banyak
jembatan berjenis ini di beberapa lokasi. Keadaan jembatan yang berada pada
jalan tanjak menikung diperparah dengan luasnya yang lebih kecil dari beberapa
jembatan lain di jalan trans kota ini. Kondisi yang seperti ini tentu membuat
orang harus benar-benar hati dan waspada ketika melintasi. Membawa dengan
kecepatan tinggi mengharuskan pergerakan kendaraan mengambil garis edar yang
lebih luas, dan ini tentu melebihi luas jembatan, akibatnya sudah bisa ditebak,
tabrakan kerap terjadi karena pengendara keluar dari garis lajur yang
semestinya. Apalagi berkendara di jalan terusan seperti ini, kecepatan memang
seperti menjadi fardu ain bagi pengendara yang ingin segera sampai
tujuan.
Dan
di luar persoalan teknis itu, soal mistis tak kalah banyak diobrolkan oleh
warga setempat. Beberapa kesaksian pernah diutarakan oleh beberapa orang yang
–katanya- melihat sosok mistis menyeramkan yang kerap berkelindan saat larut
malam. Bahkan menurut sebuah berita yang beredar di media online beberapa waktu
lalu, seseorang melihat wanita (kuntilanak) menyeret peti mayat di atas
jembatan itu. Keesokan harinya tabrakan maut menelan korban mati di tempat. Karena
sedemikian angkernya tempat itu, jarak beberapa meter setelah turun jembatan,
kita akan menemukan tugu sepeda motor, dengan dua sepeda motor hancur lebur
saling berhadapan dengan tulisan peringatan bernada persuasif dengan dialek
Melayu Pontianak yang khas.
Komentar
Posting Komentar