Ramadlan
2019 ini daku memutuskan untuk jarang keluar dari pesantren karena beberapa
alasan, penghematan dana sekaligus istirahat dari aktifitas. Terbilang sukses,
jadwal keluar kampung memang terbilang sedikit, dan kuupayakan untuk lebih
maksimal mengajar tafsir Surat al-Fatihah. Selain itu, aku mulai belajar
bagaimana cara menyajikan sebuah tafsir al-Quran yang secara berkala ku-upload
ke salah satu website milik Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat.
Daku
sadar bahwa dunia di luar sana sedang riuh dengan suasana politik yang belum
reda, apalagi pasca penetapan hasil rekapitulasi KPU yang diumumkan secara
mendadak dan misterius itu. Namun, daku tak mau mengomentari ini karena begitu
menggelikan dan menjenuhkan. Paling tidak, beberapa kosakata baru seperti pipelpawer,
kuikon, rilkon, c1,terstruktur, masif, setan gundul, dan lain-lain adalah
istilah baru yang masuk ke daftar kamus masyarakat. Walhasil, hari ini rakyat
Indonesia mendadak paham dengan beberapa istilah-istilah teknis pemilu yang
berat-berat itu.
Karena
kondisinya begitu, daku putuskan untuk lebih banyak tinggal mendekap di kamar,
sesekali turun untuk melaksanakan aktifitas mengajar, ke masjid atau sekadar
cari udara segar. Tapi, pesan pribadi yang kuterima dari dua teman kelas saat
di bangku kuliah tak bisa kuhindarkan untuk menghadiri bukber teman seangkatan
yang diselenggarakan di rumahnya. Daku salut dengan kokampakan teman-teman IAT
2013 ini, meski sebagian besar sudah ada yang lulus s-2, pengusaha, guru,
pemimpin pesantren, pemilik bisnis menengah dan lain-lain, namun urusan
solidaritas dan soliditas dari sejak dulu memang selalu tangguh dan militan.
---
Rahman
panggilannya, dia yang pertama kali memberikan informasi kalau besok (21 Mei)
aku harus datang untuk buka bersama. Yang unik, teman-teman kelasku dari dulu
tak pernah mengemas konsep berbuka puasa di rumah makan apalagi restoran,
selalu di rumah, kontrakan atau kos-kosan, sederhana namun berkesan. Beberapa
tahun terakhir ini memang selalu di rumahnya Rahman. Temanku yang satu ini
adalah pasangan muda yang sebentar lagi akan segera mendapatkan momongan, daku
turut berbangga, ternyata kejantanannya tak perlu dipertanyakan, meski
kuliahnya juga senasib –walau lebih – sependeritaan denganku, belum wisuda.
Yang
kedua adalah Anisa, gadis manis berasal dari Jeruju Besar, berprofesi sebagai
guru sekolah, dia yang mengharuskanku untuk hadir juga. Meski berita di grup wa
sedang asyik-asyiknya, tapi aku memang jarang untuk mengikuti perbincangan
mereka, bukan karena apapun, melainkan karena malas saja. Informasi keduanya
ini sangat penting, sampai aku harus berbuka puasa di jalanan dengan se-kotak
kecil milo yang kubeli di Indomaret.
Ternyata,
waktu magrib sudah dekat, dan aku masih di perjalanan, sampai suara adzan
kurang dua menit, aku berada di dalam alfamart dan membeli Milo seharga lima
ribuan. Aku tahu, di tempat Rahman pasti sedang riuh rendah suara teman-teman
sedang bersantap takjil. Aku berbuka puasa di pinggir jalan kemudian melaju
kencang untuk mengejar ketertinggalan menuju jalan Swignyo, tempat mertua
Rahman.
Di
rumah Rahman, dugaan benar, sudah berkumpul kawan-kawan yang wajah dan suaranya
tak asing bagiku, minimal tiga tahun yang lalu. Ada Mudesir, ketua tingkat
pertama, menjadi leader di saat mayoritas mahasiswa semester pada waktu
itu sedang menjalani masa transisi dan proses adaptasi, dengan kematangan
berfikir, kharisma serta usianya yang memang di atas rata-rata angkatan, dia mampu
menjadi pemimpin yang baik dalam mengurus proses belajarnya perkuliahan selama
satu semester, sampai saat ini kawan angkatan IAT 2013 ramai masih memanggilnya
dengan Pakwe (Pak Ketue).
Ada
juga Wendi, mahasiswa yang semasa kuliah memang dikenal ulet, disiplin serta
berperilaku baik, dia baru saja menyelesaikan S-2-nya pada Program Pascasarjana
di UIN Yogyakarta beberapa bulan lalu dalam jurusan yang sama. Dia meraih
predikat sebagai lulusan tercepat dan terbaik. Tesisnya tentang Tafsir Baisuni
Imron, mampu diselesaikannya dengan sempurna. Wendi memang terkenal ulet dan
lurus. Semasa kuliah, dia adalah mahasiswa yang paling rajin ke Perpustakaan,
sesekali ke Kantin Bu Karim, dan tanpa sedikitpun tergoda untuk masuk ke dalam
organisasi apapun bentuk dan namanya. Maka wajar, kalau studinya komplit dalam
usia yang masih terbilang muda, sekitar 23-24 tahun.
Selain
itu, ada Nanang yang baru saja bertunangan dengan wanita idamannya orang
Mempawah. Ada Maryun yang baru saja resmi menjadi suami bagi seorang wanita
cantik yang dipersuntingnya beberapa bulan lalu. Ada juga Lara Sendary, gadis
Jawa, dari Rasau Jaya, berkacamata, baru saja menyelesaikan sidang skripsinya
beberapa waktu lalu. Terlihat juga Iis Syamsiyah, gadis Jawa berasal dari
sanggau. Dia keluar dari bangku akademis sekitar semester lima. Hari ini dia
sudah menjadi seorang ibu dengan anak laki-laki yang imut, hasil pernikahannya
dengan Bahriyadi, kawan kampus juga. Yang tak kalah penting juga adalah
kehadiran Mas’udi, seorang laki-laki kalem berasal dari Tanjung saleh,
berperawakan sederhana dan tulus. Dia baru saja berencana untuk menyelesaikan
skripsinya beberapa bulan ke depan.
Sebenarnya
masih banyak yang ingin kusebut, tapi sebagian besar dari mereka tak sempat
hadir pada acara bukber 2019 ini. Di antaranya tentu ada Zia, Herman, Ilham,
Hanafi, Zulfikar, Nahrudin, Mbak Aniz, Kak Sri, M Nur, Kak Rohimah, Kak Homsah.
Tentu karena sebagian sudah bersibuk ria dengan tugas sebagai orang tua,
berkarir, pergulatan akademis, dan lain-lain. Dan aku sibuk mencatat
hari-hariku, untuk hari ini, besok lusa dan selamanya.
Aku
berdoa, semoga tahun-tahun selanjutnya kami masih diperkumpulkan kembali.
Komentar
Posting Komentar