Berlari? No!



Apa aku yang terlalu lambat dalam menjalani hidup, atau mereka yang terlalu cepat berlari meninggalkan semua. Ini adalah serial tulisan ratapanku, di antara berbagai jenis tulisan yang pernah kucurah, jenis tulisan meratap adalah ulasan paling merana dalam keseharian dan tentu kesendirianku. Aku merasa benar-benar hidup dan menjadi diri sendiri kala menulis kondisi hati, kekeringan dan nestapa kehidupan yang sebenarnya tak lama.

Tiba-tiba saja pesbuk mengantarkanku menyaksikan berbagai proses kehidupan yang dilalui seseorang yang menjadi teman mayaku. Sebagian dari teman itu tentu adalah teman asliku juga di dunia nyata. Berbulan bahkan bertahun lamanya berteman, berbulan pula aku tak pernah lagi meng-update status, melainkan hanya sekadar ditandai oleh teman. Hari ini, aku memperhatikan beranda, kawan lama sewaktu nyantri di al-Jihad, hari ini telah bertransformasi, melampaui espektasi dan melaju kencang dalam hidupnya. Anda tentu belum tahu siapa dan bagaimana ia. Mari kuceritakan!

Tak perlu kusebut namanya, yang harus kita tahu bahwa seseorang bisa saja berlalu melaju melampaui kita, meski kita tahu bahwa dia tak lebih hebat dan pintar dari kita. So, nasib adalah pembagian dari Yang Kuasa, tiada yang bisa menghalangi apa yang hendak Dia berikan, sebagaimana tidak ada yang mampu memberi apa yang Dia halangi.

لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت
Seorang teman telah melanjutkan kehidupannya ke jenjang pernikahan, dengan pekerjaan yang baik serta pasangan yang cantik. Dia tampak bahagia, meski aku hanya melihat gurat senyum lewat pesbuk belaka. Sesekali dia akan mem-posting pekerjaannya, atau kemesraan dengan istrinya. Sebagai pasangan yang baru menempuh perjalanan rumah tangga, senyuman itu begitu bahagianya, seolah tiada yang lebih bahagia dari mereka berdua di bumi ini.

Bekerja dengan tumpukan kertas di meja, rambut tertata rapi, jas dan celana formal, adalah lambang pria karir yang berkharisma. Hal ini banding miring dengaku, di tengah usia yang lebih tua darinya, aku tak juga lulus kuliah, malah aku masih sering bolak-balik ke lokasi KKL sebagai syarat agar aku lulus meski di usia senja. Ketika dia sedang sibuk berjibaku dengan kehidupannya –tentu saja lebih produktif- ,aku hanya duduk di warung kopi, menulis sesuatu yang un-faedah, menunggu extrajoss susu menjadi tawar karena mencairnya bongkahan es. Lalu, aku akan meminum cairan tawar yang tak menyenangkan itu.

Beberapa teman telah memasuki kehidupan real berserta seluas problemnya, mereka jauh lebih berarti dan berani tentunya, segala risiko dan kepedihan bisa menjadi alat refleksi untuk merangsang kedewasaan. Aku bersyukur kepada Allah yang masih memberikan kesempatan untuk hidup, meski tak secepat mereka, aku ingin menjadi berarti dalam pilihanku sendiri. Dalam kesendirian ini, aku terus berpikir, memangkas, meski tak cepat, berjalan perlahan sesuai dengan takdir Tuhan.

Mengukur kebahagiaan dengan materi tentu naif sekali, namun hidup dalam sepi karena ketertinggalan dan kelambatan tentu nestapa yang lain lagi. Aku sungguh tak merasa kesepian, aku hidup dan berdiri di tengah kerumunan manusia-manusia luar biasa. Mengajar di pesantren, berkumpul dengan teman-teman sesama pegiat literasi, berdiskusi, bahkan berorganisasi. Hidupku seperti mengambil garis putus-putus di antara jarak pergaris yang sempit. Dan aku merasa, dalam pilihan ini aku gila, meski aku tak sendiri.



Komentar