Bagi kader PMII, seharusnya 1 Oktober tidak hanya
dimaknai sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Lebih dari itu, tanggal ini
selayaknya juga dijadikan sebagai Hari Kesaktian PMII sebagai sebuah organisasi
yang telah hadir mengisi tiap-tiap momen kemerdekaan bangsa ini, sejak 57
tahun. Karena pada tanggal yang sama, seorang guru agung rakyat Pergerakan juga
berpulang, sebagaimana para Pahlwan Revolusi juga harus gugur di Lubang Buaya. Ketua
Umum PB PMII Pertama, namanya diabadaikan bagi sebuah gedung megah “Graha
Mahbub Junaidi” sebagai Sekretariat Pengurus Besar PMII hari ini.
Pria tampan berjuluk “Pendekar Pena dari Kebon Kacang”.
Orang Betawi asli, aktifis NU tulen, essais terkemuka, satu-satunya orang yang
“berani” mengajak KH As’ad Syamsul Arifin (Ulama kesohor NU nan penuh kharisma)
untuk jalan-jalan ke Pantai Kuta, Bali. Entah, apa yang dipikirkan Bung Mahbub
dan apa yang dirasakan oleh Kiai. Yang jelas, istilah “kriminalisasi ulama”
atau “penistaan” belum ditemukan pada waktu itu. Sehingga, rakyat Indonesia
masih terus bahagia walau berada di bawah rezim yang menyebalkan.
1 Oktober 1995, jalan-jalan di Bandung dipenuhi dengan
club-club motor, dada para penunggangnya sedang dirundung pilu karena harus
melepas seorang yang telah dianggap sebagai bagian dari keluarga besar mereka. Mahbub
Djunaidi, seorang yang semasa hidupnya menorehkan amal bakti bagi PMII, bagi NU
dan bagi cakrawala literasi Indonesia, ternyata
harus berpulang kehadirat Allah Swt.
Si Bung memang sudah pergi, tapi namanya masih terus
menggema dalam aula-aula sederhana, di mana PMII konsisten melakukan kaderisasi
dan regenerasi demi tersemainya nilai-nilai luhur keislaman dan keindonesiaan. Dia
memang harus pergi, demi menyaksikan, apakah “anak-anak ideologisnya” mampu
membaca apa yang tak sempat dia baca. Apakah kader-kader PMII mau melanjutkan
gagasan-gagasan yang belum sempat dia tuliskan. Dia pergi bukan untuk apa-apa, melainkan
sekadar untuk melihat mereka dari sana. Lalu sesekali dia akan
berbincang-bincang dengan malaikat:
“Bung, nih pahala buat lo, kiriman dari
kader-kader PMII IAIN Pontianak yang kemarin ngadain PKD” kata Malaikat
sambil tersenyum.
“Balikin aja, Kat! Jawab Bung Mahbub singkat.
“Loh, why?” si Malaikat kaget, karena baru kali
ini ada “ahlil qubur” menolak kiriman pahala.
“Gue tau, mereka-mereka ntuh, ngadain PKD kagak
gaplok modal. Palingan pade ngutang. Mendingan loe balikin sono!”.
Tanpa menunggu instruksi lanjut, malaikat itu kemudian
segera berkemas untuk ke bumi lagi, sesaat sebelum Si Bung memanggilnya; “Tapi,
ntar dulu, Kat!”
“Apa’an?” sahut si malaikat setengah kaget.
“Lo kasih ke kader-kader yang aktif same yang
rajin baca dan nulis aje ye!, bukan yang doyan ngurusin proyek!
Kata Si Bung sambil kepalanya menoleh ke belakang.
“Siap laksanakan, Bung!”
“Bung Mahbub memang sudah pergi, tapi dia tak pernah
melupakanmu,” itu kira-kira pesan malaikat bagi “keturunan ideologisnya Si Bung”
yang lagi enak-enakan dengan handphone sambil tidur-tiduran.
Memanggil “Ruh” Si Bung
1 Oktober 2018, di berbagai tempat, di tengah “rimbunnya”
instan’s story WhatsApp dengan ucapan “Selamat Hari Kesaktian
Pancasila”, beberapa kader PMII sedang sibuk mempersiapkan terlesenggaranya
agenda “Haul Mahbub Djunaidi”. Puisi-puisi dibacakan, kesenian ditampilkan,
film dokumenter dipertontonkan, sayup-sayup terdengar suara ratapan yang
meminta agar Si Bung hidup lagi di tengah semakin “kurang bahagianya” anak-anak
bangsa hari ini. Logika mereka buang, ilmu pengetahuan dicampakkan, budaya dan
keindahan tak lagi mengesankan. Wajar, jika kemudian “anak-anak idelogis” itu
merindukan Si Bung, setidaknya untuk sekadar berbagi “humor cerdas, sarkas dan
pedas” bagi nestapa hidup hari ini.
Sampai di sini, kerinduan terhadap sosok Mahbub Djunaidi yang
dirasakan oleh kader-kader PMII adalah sebuah kewajaran. Bagaimanapun, Si Bung
yang dikenal memiliki selera humor yang gak ketulungan -baik secara
verbal atau literal- dalam mengutarakan kritik dan mensosialisasikan
pandangannya, sangat diperlukan untuk melawan fakta semakin “kakunya” realita
sosial, agama dan politik kita hari ini.
Gesekan sosial tak lagi dihargai sebagai sebuah instrumen
dialektis, malah yang terjadi adalah bentrokan sosial. Agama tak lagi dijadikan
sebagai ladang “Fastabiqul Khoirot”, alih-ali demikian, agama justru
menjadi instrumen untuk saling menghunjamkan. Begitu pula politik, kompetisi
yang ditampilkan tak lagi menjadi ladang persemaian gagasan, wacana
pembangunan, kritik konstruktif dan lain sebagainya. Bahkan lebih nista, politik
hanya seputar rebutan kekuasaan yang ditentukan oleh sejauhmana kekuatan modal
yang diberlindung di belakang, kecakapan mengolah isu dengan bungkusan “agama,
suku dan sentimentalitas publik”.
Namun, romantika semacam itu tak akan pernah melahirkan
apapun, bahkan sangat naif jika dilakukan oleh mereka-mereka yang mengaku
sebagai anak ideologis dari Bung Mahbub. Janganlah kita jadikan nestapa kita
sebagai mantra-mantra untuk “memanggil ruh Bung Mahbub!” Karena, Si Bung hanya
akan tersenyum menahan “pedih” di sana, sambil bergumam lirih:
“Kenapa kau cengeng sekali, nak?, dengan mata
berkaca-kaca.
“Namanya juga generasi milenial, bung!” Sahut malaikat
tanpa diminta.
“Mereka cuma bisa main game online, chatingan bareng kopri-kopri
aduhai, ngopi samb..”
“Cukup!” kata Si Bung sambil mengarahkan jari telunjuknya
tepat di depan mulut si malaikat.
“Siap laksanakan, Bung!” Ujar malaikat yang berdiri tepat
di samping Si Bung.
Bung, Apakah Anda Berbahagia?
Jika “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati
meninggalkan gading”, maka Si Bung pergi meninggalkan warisan pemikiran,
tulisan dan tradisi intelektual, semuanya itu dikemas dalam sebuah Budaya
Pergerakan. Ditunjuk sebagai Ketua PB PMII pertama, di tengah banyak mahasiswa
dengan latar belakang nahdliyyin lainnya yang takkalah gemilang. Tentu
sebuah tanggungjawab yang berat, dengan ketekunan dan ketelitiannya, dia harus
bertugas menancapkan basis ideologi, nilai dasar pergerakan serta haluan
gerakan yang tak hanya akan dipakai setahun dua tahun, bahkan sampai seumur
organisasi yang sudah lebih dari setengah abad ini.
Sebenarnya, tak banyak atribusi sosial yang disandang
oleh Si Bung dalam karirnya sebagai seorang organisatoris sejati. Sepanjang
kita lihat sejarah, membaca tulisan-tulisannya dan juga sepak terjangnya,
mungkin kita akan lebih terperangah dengan apa yang dimiliki oleh kader-kader
NU lainnya seperti Gus Dur, KH Saifuddin Zuhri, KH Mustofa Bishri atau lainnya.
Letak keunggulan Si Bung adalah kemampuannya untuk komitmennya untuk tetap
berada pada barisan gerakan yang berorientasi pada kemahasiswaan.
Oleh karenanya, bisa jadi kita akan kesulitan untuk
menemukan nama Mahbub Djunaidi dalam beberapa nama tokoh terkemuka negeri ini.
karena nama Bung Mahbub lebih banyak hidup dalam dada mahasiswa. Sebagai jiwa
yang menjunjung tinggi idelisme, aktif dalam setiap pusaran perubahan dan
memiliki tanggungjawab sosial yang teruji ruang dan waktu. Mungkin inilah
alasannya, kenapa Bung Mahbub memilih untuk tetap setia berada pada garda
terdepan barisan mahasiswa.
Selain itu, sebagai seorang penulis yang handal –bahkan sampai
mendapat gelar “Pendekar Pena”- Bung Mahbub tak hanya jago melakukan kritik
terhadap berbagai kondisi bangsa yang kritis, tapi dia juga mampu melahirkan
unsur-unsur satiris dalam setiap tulisannya yang “mendesis”. Pembaca setianya
tak hanya diajarkan bagaimana cara berpikir yang baik, mengajukan pendapat
dengan kuat dan logis, lebih jauh, Si Bung mengajarkan kepada kita agar senantiasa
tak melupakan tawa yang akhir-akhir ini harganya semakin “miris.” Bung Mahbub
tetap bahagia, meski kondisi pada waktu dililit duka.
Sok tau lo, Has! Kata Bung Mahbub sewaktu
malaikat menyodorkan tulisan ini. Malaikat yang berdiri di sampingnya “laksana
Paspampres mengawal Kaesang” hanya diam, sambil memandang tulisan itu, entah
dia bisa baca tulisan latin atau tidak. “Kopi!” ujar Si Bung tanpa menoleh, si
malaikat sigap menjawab
“Siap laksanakan, Bung!”
Untuk Bung Mahbub, Lahumul Fatihah..!
Komentar
Posting Komentar