(8/8/18)
Sejak lama kita mengenal istilah “Islam KTP” untuk mereka
yang mengaku Islam namun jarang bahkan tak mau melaksanakan ibadah dan tuntunan
agama. Meski demikian, jika mereka ditanya tentang agama yang dianut, dengan haqqul
yakin mereka akan menjawab dengan tegas “agamaku Islam”. Bukti keislamannya
bukan dengan aktifitas ubudiyah yang dia tonjolkan, tapi dengan kolom
agama yang ada di Kartu Tanda Penduduk mereka. Agama: Islam.
Keislaman gaya seperti ini sah dari sisi administrasi dan
diakui dalam ruang sosial. Namun, bagaimana jika kemudian, keberislaman
ternyata tak hanya sekadar berhenti pada urusan administrasi yang sifat begitu
ekstrinsik? Sebab, antara seorang yang rajin melaksanakan salat lima waktu dan
melaksanakan tuntunan Islam secara komprehensif dalam kehidupannya ternyata
juga memiliki KTP dengan kolom Islam, sama dengan mereka yang hanya bermodal
KTP tapi tak melaksanakan anjuran Islam. Dalam posisi ini kemudian, kita layak
bertanya, manakah yang lebih Islam dari keduanya? Jawabannya sangat mudah,
tentu mereka yang secara legal beragama Islam serta dibuktikan dengan
perilakunya sehari-hari dalam beragama. Di mana “si Bung” yang hanya bermodal
KTP tadi?
Untuk mengetahui keislaman seseorang, tak cukup hanya
dengan melihat KTP yang dimiliki, lebih jauh dari itu, perilaku sehari-hari
secara langsung bisa menjelaskan bagaiamana keberislamannya.
Di zaman dan tempat di mana Islam disuarakkan dengan
sangat lantang oleh sebagian orang, seperti tak terhindarkan bahwa agama ini telah
menyentuh dan masuk dalam pusaran sosial, ekonomi politik yang semakin komplit
problemnya. Di negeri ini, di tengah perubahan zaman yang semakin menanjak
naik, sementara di bawah masih menyisakkan problem-problem yang paradoksal,
banyak orang-orang kemudian menjajakan “jamu-jamu” yang diharap bisa membantu
mengobati negeri ini dari segala derita dan paradoks yang dihadapi. Ya,
ruang hidup kita telah menjelma menjadi pasar tradisional, di mana setiap orang
meneriakkan jualannya seraya menjelekkan dagangan orang lain yang menyainginya.
Di pasar itu, sebuah warung dengan paling banyak
pelanggan tampak riuh oleh suara transaksi, tawar menawar, dil dilan,
sampai urusan hutang. Islam menjadi branding-nya, sehingga wajar saja
kalau pelanggan seperti tak putus-putus, bak sarang tawon. Para karyawan di
warung ini semuanya tahu, bahwa Islam memiliki nilai tawar dan harga pasar yang
sangat laris kalau mampu dikomodifikasi menjadi seperangkat produk. Apalagi,
hampir 70 persen lebih, pembeli ternyata beragama Islam, semakin larislah toko
itu. Toko lain minder lalu gulung tikar, kalau tidak demikian, berarti dia
memutuskan untuk terus berperang. Persitegang dan perpecahan terjadi. Pasar
bubar!
Begitulah, sedikit demi sedikit agama mulai rusak dan
menjadi sumbu dari kekacauan, karena terlalu rakusnya pemilik warung dengan
urusan dunia, sehingga agama dijadikan komoditas dagangan. Sebuah cerita layak
kita renungkan, bagaimana pemalsuan hadis (ucapan, sifat, perilaku atau
ketatapan rosul) mulai menyebar hanya karena ditengarai oleh kepentingan
untuk melariskan barang dagangan seseorang. Sebuah cerita yang mempertemukan
antara pedagang madu dan terong dalam sebuah pasar plural, namun banyak yang
muslim. Persis Indonesia.
Pedagang madu di sebuah pasar berteriak dengan lantang di
tengah kerumunan manusia untuk memenuhi hajat sehari-harinya. “belilah madu,
karena Rasulullah bersabda: madu adalah obat dari segala penyakit”.
Ditambah lagi dengan mengutip surat an-Nahl yang sangat terkenal itu,
bahwa di dalam lebah terdapat obat yang sangat ampuh bagi orang yang beriman.
Walhasil, tak butuh waktu lama untuk kemudian madu yang dijualnya laris manis.
Luar biasa, hadis dan ayat yang dia kutip ternyata mampu menarik pundi-pundi
keuntungan yang besar bagi dia. Nasib pedagang terong bagaimana?
Iri membara di hatinya, dalam masalah bisnis dan
berjualan seperti membuatnya lupa, bahwa iri adalah sebagian dari penyakit
hati, atau bisa jadi dia tak mengetahui bahwa berbohong adalah sebuah sifat
tercela. Esoknya, dengan gagah berani pedagang terong berteriak tak kalah
lantang dengan saingannya “makanlah terong, karena Rasulullah bersabda: li
badzinjan, dawa’un li kulli da’in (dalam terong ada obat untuk segala macam
penyakit).” Sontak kerumunan pembeli terbagi dua, ada yang menggadrungi terong
dan ada pula yang suka madu.
Yang harus kita tahu, bahwa hadis tentang khasiat madu
memang ada, begitu pula rahasianya dalam al-Quran juga disebutkan. Sebaliknya
tak ada hadis atau ayat yang menjelaskan hal yang sama tentang terong. Pedagang
terong telah mengarang satu hadis demi tak kalah saing urusan pembeli dari
penjual madu. Sebuah hadis akhirnya dibuat demi mengelabui masyarakat. Inilah
satu dampak jika agama dijadikan sebagai satu branding di tengah
kubangan sosial, ekonomi lebih-lebih politik yang sangat lekat dengan interesting
seseorang yang punya ambisi. Setelah pembeli terbelah, kita tahu bahwa kemudian
hadis-hadis palsu sangat cepat persebarannya hingga mengisi lembar-lembar
ilmiah literatur keislaman yang berkembang sampai saat ini. Naifnya, hal ini
ditengarai oleh –salah satunya- sebuah terong.
Kisah singkat di atas merupakan satu dari sekian sampel
untuk beberapa kejadian serupa yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia,
di mana kepentingan pribadi atau kelompok telah menyeret serta nilai-nilai
universal seperti kedamaian, kerukunan dan ketentraman dalam kubangan pasar
yang penuh dengan teka-teki. Akhirnya, agama yang menjadi inspirasi dari
perdamaian harus ditransaksikan dalam semakin berkembangnya pola pasar bebas
yang membebaskan segala macam bentuk jual beli, tak perduli apakah merugikan,
menipu atau sekadar memberi harapan palsu. Pada intinya, agama dan nilai-nilai
dihargai dan ditawar sejauh menguntungkan dan dikemas dengan managemen
advertensi yang baik.
Di dalam dunia “pasar” yang seperti inilah agama kita
(Islam) berjibaku, sesiapun harus jeli dalam melihat antar isi dan kemasan,
agar tidak tertipu. Terlalu banyak komoditas yang bisa diberi stempel halal
ala MUI, namun sedikit yang benar-benar thoyyib untuk kita. KH
Zainuddin MZ (Almaghfurlah) berkata dalam sebuah ceramah beberapa tahun
lalu “hari ini banyak minyak babi cap onta”. (MHM)
Komentar
Posting Komentar