(7 Agustus 2018)
Sudah agak lama memang saya tidak pernah ngopi bareng sama salah seorang senior organisasi yang giat
membaca dan mendiskusikan isu-isu gender, yakni Kak Putriana. Aktifitasnya yang
belakangan ini disibukkan dengan kuliah S2 Jurusan Pendidikan di Pacasarjana
IAIN Pontianak, membuat aktifitas perempuan langka ini harus sering berkubang
dengan aktifitas kampus layaknya mahasiswa seperti biasa. Hal ini mungkin yang
mendorongnya untuk melahap dan mempertajam kembali bacaan dan analisanya
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan gender dan feminisme mulai dari
Barat sampai Timur.
Sejak mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat PB
KOPRI pada Kongres PMII 2017 lalu, Kak Putri -begitu para junior memanggilnya-
memang sudah menarik diri dari jajaran struktural PMII baik di tingkat PB atau
PKC. Ini mungkin sudah bagian dari garis tangan seorang kompetitor, ketika
kekalahan ditelan, dia harus memutuskan untuk pensiun dini alias menjadi senior
sebelum waktunya. Bagaimanapun, kaliber Nama Putriana di PMII tingkat daerah
(Kalbar) bahkan Nasional sudah tidak diragukan lagi. Dia adalah kader terbaik
pertama di Kalbar yang berani bertarung dikancah Nasional, maka wajar
sepertinya, kalau senior menjulukinya sebagai Ibu Khofifah-nya Kalimantan.
Siang itu (6/8/18), aktifis alumni Ponpes Walisongo ini
mengundang saya secara pribadi untuk menikmati segelas pancong susu di kantin
SF. Bercerita seputar banyak hal tentang organisasi bahkan hingar bingar kampus
yang sudah dinikmatinya sekitar satu tahun lebih. Tak berhenti di situ, bahkan
Kak Putri juga menceritakan tentang respon beberapa alumni pesantrennya yang
sangat terusik dengan sikap politik yang dia ambil pada Pilkada beberapa bulan
lalu. Dia menjadi timses untuk pasangan nomor urut dua: Karoline-Gidot, suatu
yang dianggap tabu oleh sebagian santri lantaran kedua paslon itu berstatus
non-muslim.
Akrobat politik Kak Putri ini bagi saya termasuk langkah
yang berani di tengah “terkotak-kotaknya” masyarakat Kalbar dalam hal agama dan
suku. Keberaniannya untuk dengan berani menyatakan sikap sebagai relawan bahkan
timses dari Pemenangan Paslon nomor urut dua minimal menjadi garis yang
menyelinap di sela-sela dan menghubungkan antar kotak-kotak misterius yang bisa
jadi berisi bom yang bisa meluluhlantakkan Kalbar. Langkah ini harus dibayar
mahal dengan teror di berbagai media yang dia dapatkan dari beberapa haters setia.
Alhasil, dia sempat menghapus akun fb-nya untuk beberapa saat ketika paslon
terkait dinyatakan kalah. Resiko perjuangan!
-----
Kasus serupa sebenarnya tidak hanya dialami oleh Kak
Putri, saat momen-momen pemilihan seperti ini memang lagi trend-nya
perpecahan terjadi akibat soal prefrensi atau haluan politik yang dilakukan
oleh seseorang. Masih lekat seperti bagaimana gubernur Lombok (Tuan Guru
Bajang) yang waktu itu selalu dipuja-puji karena sinar religiusitas yang selalu
ditampakkan dalam aktifitasnya sebagai kepala daerah waktu itu.
TGB –singkatannya- hampir menjadi idola banyak pecinta
politik identitas di Indonesia, bahkan dia menjadi kandidat yang cukup kuat dibincanga
sebagai salah satu bakal cawapres dari kubu oposan (Prabowo) dan jejaringnya.
Namun, setelah dalam satu kesempatan dia menyampaikan dukungannya terhadap
Jokowi untuk lanjut dua periode, ribuan haters bermunculan, bahkan
kata-kata tak wajarpun keluar dari mulut-mulut mereka. Beberapa atribut yang
selama ini disanggul oleh TGB seperti hafidzul Quran, politisi berilmu
dan hebat dalam masalah agama harus berhadap-hadapan dengan komentar-komentar
netizen atau tokoh yang bahkan tak mengerti ja’a zaidun. Begitulah
kemudian youtube dibanjiri dengan seruan-seruang kebenjian terhadap
gubernur berwajah teduh itu.
Contoh-contoh yang lain masih banyak, bisa Anda list sendiri
bagaimana kemudian haluan politik seseorang ternyata bisa membentuk sekat-sekat
dan menjadi bibit dari menjamurnya kebencian hari ini, paling tidak di media. Apa
yang dialami oleh Kak Putri hanya sekadar gambaran, bahwa agama –dalam hal ini
Islam- ketika masuk ke dalam ruang politik hanya sisi ideologisnya saja, maka
siap-siap dia akan jadi alat untuk saling menjatuhkan dan melenyapkan
kebersamaan. Sisi ideologis dalam konteks ini adalah merembesnya nilai-nilai
Islam dalam bentuknya yang legal-formalistik ke dalam politik. Karena bentuknya
yang demikian inilah, maka nilai-nilai agama itu kemudian menjadi hilang fleksibilitasnya.
Sisi legal-formal dari Islam adalah produk-produk fiqh
yang dalam satu aspek saja bisa terjadi puluhan perbedaan pendapat antar satu
pemikiran. Hal ini bergantung dengan konteks spesifik serta bias ideologis yang
kerap menyertai satu produk hukum. Di sisi sebaliknya, politik adalah ruang
plural, hampir semua agama, suku bahkan organisasi memiliki orientasi, persepsi
dan konsepsi berbeda seputar politik. Benturan ideologis tak terelakkan. Hal
ini kemudian melibatkan benturan antar agama, antar suku atau antar ormas,
walau masih dalam satu naungan agama.
Akibat masuknya yang ideologis dari Islam ini, kita
menyaksikan bagaimana kemudian sejarah panjang kekhilafahan dalam Islam, selain
dihiasi dengan berbagai kemajuan yang mengagumkan, juga diisi dengan
pertumpahan darah yang tak terhindarkan. Hal ini dikarenakan sisi ideologis
adalah seperangkat doktrin yang dipatenkan, di dalamnya termuat visi misi yang
jelas dan mengikat begitu saja. Dari sinilah sisi ideologis itu mudah untuk
disulam menjadi senjata yang bisa digunakan untuk menyingkirkan siapapun,
dengan dalih tak sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkan.
Hari ini, di Kalimantan Barat atau mungkin banyak lagi
daerah lain di Indonesia, Islam sebagai ideologi dalam politik kembali
menemukan momennya untuk menampakkan diri. Satu demi satu korban berguguran,
salah satunya Kak Putri yang setiap kali ngopi tak pernah bosan untuk
membayarkan kopi juniornya, apalagi “kader proletar” sepertiku.
(Baitul Mubarok)
Keren.......
BalasHapus