(14/8/18)
Sekitar 5 tahun yang lalu (2013), waktu itu kali pertama
saya menginjakkan kaki di kampus IAIN Pontianak, satu-satunya kampus Islam yang
berstatus negeri. Sebagai seorang santri yang masih belum mengetahui banyak hal
tentang dunia luar, gagap bin gugup stadium empat saya rasakan, terutama ketika
proses test tertulis dan mata pengawas mengintai setiap gerak-gerik peserta
yang waktu itu berbaris dengan bangku-bangku aneh yang belum pernah saya lihat
sebelumnya. Bangku dengan meja kecil seukuran buku, akhirnya saya tahu bahwa
meja kecil itu sebagai alas untuk menulis, menandatangi kartu hadir kuliah atau
untuk sekedar meletakkan pipi jika mengantuk saat kuliah.
Di situlah kali pertama, secara pribadi saya berkenalan
dengan seorang lelaki yang mengenalkan dirinya sebagai Dedi. Bertubuh sedang,
sedikit kurus, berkulit putih dengan wajah oriental. Belakangan diketahui bahwa
latar belakang keluarganya yang blaster Jawa-Dayak membuat gaya bicaranya
sangat khas. Lembut seperti Jawa, tapi cepat seperti dialek suku Dayak. Sejak awal
juga saya amat yakin, bahwa Dedi adalah sosok yang santai, suka mengalah,
pekerja keras dan apa adanya.
Setelah ujian tes masuk kuliah usai, saya dan Dedi
sama-sama mengalami insiden kecil. Kami tidak mengikuti tes terakhir sebagai
persyaratan kelulusan. Dengan berbagai negosiasi, akhirnya pihak akademik masih
memberi peluang pada kami untuk bisa melanjutkan ujian selanjutnya dan akhirnya
lulus.
Sejak awal saya tertarik dan membaca dengan penuh minat
buku-buku atau kitab-kitab kuning yang berkenaan dengan ilmu-ilmu keislaman dan
pemikirannya. Ini alasan kenapa saya memilih jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir
sebagai pelabuhan akademik yang dari sana saya berharap bisa belajar lebih
banyak dalam mengarungi samudera keislaman. Sementara, Dedi memilih Jurusan
Manajemen Dakwah, sebuah jurusan yang membedah ilmu-ilmu manajemen dalam
mengembangan dakwah keislaman. Perbedaan jurusan dan tentu saja kelas, inilah
yang membuat kami berdua kemudian waktu jarang bertemu. Selain itu, kesibukanku
dalam berorganisasi di PMII, dan Dedi yang sibuk survive untuk bertahan
hidup di Pontianak menjadi alasan lainnya.
Betapapun demikian, setiap kali berkesempatan bertemu,
kami selalu berbicara banyak hal. Saya sangat menghargainya sebagai sahabat,
kenalan dan teman pertama kuliah. Mungkin, tangannya adalah milik orang luar
pesantren pertama menyentuh tanganku yang pada waktu itu. Dari sorot matanya,
memang Dedi bukan tipikal cowok maco yang selalu kelihatan cool dan
kharismatik. Tutur katanya melambangkan, bahwa pandangan hidupnya sangat simpel
dan kebahagiaannya sangat mudah didapat.
Untuk bertahan hidup di Ibu Kota Kalimantan Barat ini,
Dedi bekerja membanting tulang, mulai buruh bangunan, tukang angkut gas sampai
pekerjaan kasar lainnya dia lakukan, hal ini karena dia tak ingin membebani
orang lain meski itu adalah saudara ibunya sendiri. Inilah sebabnya, kenapa
ketika momen wisuda yang mengharu biru kemarin (2018), Dedi terlihat santai dan
semakin tenang, hal ini karena dia merasa bahwa tanggungjawabnya telah usai,
kini saatnya dia bekerja, bertahan dan menjalani mimpi hidupnya yang sederhana.
Anak muda sederhana itu kini telah menyandang serjana S1
dalam bidang manajemen dakwah. Banyak kawan kelasnya tidak pernah menyangka, dia
bisa lulus meski sedikit terlambat. Bagaimana tidak? Dia tidak aktif ketika
diskusi berjalan di kelas, tidak pula nongol dalam seminar-seminar
tokoh-tokoh nasional yang biasanya diundang di kampus. Tidak aktif dalam dunia
organisasi yang bejibun. Bahkan, ketika dosen salah satu matakuliah
tidak hadir, dia akan pulang lebih awal dari kawan-kawan yang lain. Ini karena
dia harus bekerja, demi tidak meminta dan merepotkan orang lain.
Momen wisuda akhir juli 2018 kemarin menuntaskan
kerinduan kami berdua. Tiada yang berubah dari senyumnya, masih teduh dan gaya
bicara yang masih sama, tiada basi-basi dan penuh kejujuran. Bedanya, Dedi hari
ini adalah seorang serjana, sementara saya masih harus bertarung dengan banyak
hal, skripsi dan segudang urusan administrasi yang menjemukan. Dan ada yang
membahagiakan, kabarnya hari ini dia telah bekerja untuk sebuah lembaga sosial
yang bergerak menyalurkan dana kemanusiaan lumayan terkenal, yaitu Dompet Umat.
Dia bekerja sebagai sopir ambulan dengan gaji yang terbilang cukup bahkan untuk
mengarungi bahtera rumah tangga.
Tak lama dari momen wisuda itu, suatu malam saya
mengajaknya untuk menikmati secangkir kopi di sebuah warkop sekitar bundaran
Kota Baru. Ini karena beberapa hari terakhir, dia mengutarakan niatnya untuk nyantri
demi mendalami ilmu agama. Salut sekali saya mendengar, di tengah banyaknya
orang-orang yang jenuh pada yang bernama belajar, dia justru semakin
termotivasi oleh karena kesadaran diri terhadap kekurangannya. Yang lebih
mengejutkan, dia ingin menghafal al-Quran walau sedikit, dia sibuk mencari
beberapa pesantren yang fokus terhadap al-Quran. Dan sayang, pesantren tempatku
mengabdi tidaklah memfokuskan diri pada program tahfidzul quran.
Walhasil, saya sarankan dia untuk nyatri pada
pondok pesantren Darul Quran yang terletak di Jalan Ujung Pandang (Area jl.
Dr. Wahidin Pontianak). Saya mengenal, bahwa pesantren itu diasuh oleh KH.
Mukhlas Syafi’i yang kebetulan pernah mengampu mata kuliah untuk Qiroat Sab’ah
pada Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir beberapa tahun lalu. Dan salah satu teman
adalah alumni pesantren itu. Saya berdo’a agar Dedi selalu diberi kekuatan
untuk mengarungi kehidupan yang dilaluinya.
Sebelum pulang dia sempat berucap “hidup harus tetap
semangat, apapun yang terjadi.” Ucapan ini sontak mengisi ruas-ruas otakku
dan terpantulnya di dalamnya sebuah ucapan sama, hanya dengan penekanan dan
redaksi berbeda, sebuah ungkapan filosofis namun simpel yang dimiliki oleh
Presiden Jokowi –saya bukan jokower- bahwa “dengan bekerja kita akan
melahirkan karya.” Saya sedang menginternalisir dua ucapan canggih ini,
karena saya sangat membutuhkannya sekarang, minimal untuk meraih gelar S1. Semoga! (MHM)
Komentar
Posting Komentar