Delapan Jam Paca Deklarasi Politik



10/8/18

Indonesi sedang seru-serunya menyimak berita deklarasi capres-cawapres yang baru diberitakan tadi malam. Walaupun hari ini saya tidak membeli koran Pontianak Post yang menjadi andalan, namun haqqul yaqin ane percaya bahwa di kolom terdepan soal ini pasti menjadi tranding-nya. Dengan gagah berani, dua capres yang hari ini benar-benar berseteru dengan tegang membacakan keputusan serta kesiapan untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang.

Di kubu kanan, Jokowi –inkumben- yang diusung oleh sembilan partai besar menggaet KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres yang akan mendampingi pada pertarungannya 2019 nanti. Nama terakhir adalah representasi ulama dengan otoritas tertinggi di negeri ini (secara konstitusional), beliau adalah Ketua MUI Pusat, Rois Am PBNU dengan segala atribusi dan gelar kehormatan yang disandang. Dengan hal ini Jokowi seperti sedang berusaha untuk menggabungkan kekuatan nasionalisme religius sebagai poros dan fondasi untuk membangun Indonesia sampai 2024 nantinya.

Sementara di Kubu Kiri, Prabowo sebagai petarung lawas masih terus berambisi untuk mencapai RI 1 dengan berbagai manuver dan langkah-langkah taktis. Meski hanya berkoalisi dengan empat partai –PAN, PKS,plus partainya sendiri Gerindra- dengan penuh keyakinan Prabowo terus melakukan konsolidasi terarah, meski Demokrat sepertinya akan lepas dari poros yang dia bangun entah kenapa sebab.

Agak lama menunggu pengumuman dari pihak Prabowo soal deklarasi tadi malam, hal ini mungkin karena perundingan, kontrak dan titipan atau pertimbang-pertimbangan strategis benar-benar disiapkan, hal ini dilakukan demi mencapai proyek besarnya “2019GantiPresiden”. Sekitar dua jam seluruh masyarakat Indonesia yang menonton televisi menunggu dengan penuh penasaran, siapa gerangan yang akan mendampingi Prabowo sebagai cawapres. UAS sudah tak bisa diganggu gugat, Anies belum berkenan, AHY sepertinya kurang tepat. Dan, kalau bukan demi Indonesia, “dinamika ini tak akan terjadi” begitulah yang mungkin mereka ungkapkan melihat alotnya pertarungan 2019 nanti.

Ada satu hal yang patut kita catat dengan sangat baik dan hati-hati untuk beberapa waktu ke depan. Bahwa poros ulama sangat mendominasi dalam proses hitung-hitungan Pilpres nanti. Bayangkan, UAS yang notabene hanya seorang ustadz –mantan dosen- yang kondang berceramah ke mana-mana harus ditarik-tarik oleh kubu Prabowo untuk menjadi Cawapres-nya. Dia nyaris tak memiliki basic atau sekadar pengalaman berurusan dengan Istana Negara. Hari ini ribuan –atau mungkin jutaan- jama’ahnya mencintai, mengagumi dan terus merindukan taushiyah-nya. Mereka akan kehilangan figur jika kemudian Somad bersedia untuk menjadi Cawapres dan terlibat dan politik praktis yang penuh dengan modus dan interest.

Penarikan koalisi Prabowo terhadap UAS ini tentu setelah melihat kenyataan kubu kanan yang menggandeng Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Namun sayang, Prabowo seperti termakan oleh permainan yang menjebak dirinya sendiri. Citra yang selama ini dia bangun, sebagai seorang negarawan yang sangat berbakti dan mencintai ulama, ternyata krisis dukungan dari ulama kecuali beberapa orang. Walhasil, pilihan jatuh kepada Sandiaga Uno. Melihat dari sini, Prabowo seperti sedang bermain-main. Kok?

Siapa Sandiaga Uno, sebagai orang yang agak malas membaca berita politik atau ulasan yang njelimet, secara pribadi Uno masih terlalu dini untuk ditarungkan pada pilpres 2019. Wakil Gubernur belum tuntas ini tak memiliki banyak syarat –di luar kelengkapan administratif-konstitusional- untuk mendampingi Prabowo menumbangkan kubu kanan yang terlihat semakin mantap. Belum lagi isu uang “kardus” yang bernilai miliaran rupiah sebagai mahar dari Sandi agar terpilih sebagai cawapres. Selain AHY tak terpilih, isu “jenderal kardus” ini menjadi satu sekian alasan kenapa Demokrat tak tampak sama sekali saat deklarasi tadi malam.

Kita bisa mafhum, kenapa Prabowo tampak kurang digdaya tadi malam, suaranya bergetar seperti sedang memendam sesuatu yang membuatnya tak lagi menggelegar. Alasan kuatnya adalah –bisa jadi- karena keterpaksaan memilih Uno sebagai cawapres karena memang tidak ada alternatif lain.

Alasan selanjutnya –mungkin benar- adalah Prabowo mati langkah setelah melihat Jokowi menyanding Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Rois Amm PBNU ini adalah ulama yang sampai sekarang diakui kealiman oleh hampir seluruh kiai-kiai NU di Indonesia. Tak mungkin membenturkan Kiai ini dengan isu-isu negatif, kalau tak ingin NU bereaksi keras terhadap siapapun. Anda masih ingat bagaimana kemudian Ahok harus minta maaf kepada seluruh nahdliyyin karena berucap kurang sopan terhadap beliau?

Dengan masuknya Kiai Ma’ruf ini, praktis klaim anti-ulama, anti-Islam, orang PKI, tak jelas agamanya dan lain-lain yang ditujukan kepada Jokowi sejauh ini seperti tak bakal mempan. Bagaimana tidak, wakilnya adalah representasi ulama dan Islam, baik secara konstitusional (MUI) atau kultural (Rois Am)

Singkat cerita, jika Prabowo selama ini menghidupan gerakan-gerakan seperti GNPF, PA 212, FUI dan organisasi keislaman lainnya sebagai alat bantu oposisi dan pembangun citra keislaman sejatinya (karena gerakan-gerakan itu dianggap masih ideal dan belum makan uang negara). Maka sekarang, nyaris tiada satu ulama pun yang bersedia mendampingi Prabowo. Alih-alih demikian, UAS yang dibidik kemudian menghindar. Saya tak mengerti, kenapa bukan Salim Segaf yang dipilih. Mungkinkah karena kasus sebuah “kardus”? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Rowahu Ebiet).

Komentar