Indonesi sedang seru-serunya menyimak berita deklarasi
capres-cawapres yang baru diberitakan tadi malam. Walaupun hari ini saya tidak
membeli koran Pontianak Post yang menjadi andalan, namun haqqul yaqin ane
percaya bahwa di kolom terdepan soal ini pasti menjadi tranding-nya.
Dengan gagah berani, dua capres yang hari ini benar-benar berseteru dengan
tegang membacakan keputusan serta kesiapan untuk memimpin Indonesia lima tahun
mendatang.
Di kubu kanan, Jokowi –inkumben- yang diusung oleh
sembilan partai besar menggaet KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres yang akan
mendampingi pada pertarungannya 2019 nanti. Nama terakhir adalah representasi
ulama dengan otoritas tertinggi di negeri ini (secara konstitusional), beliau
adalah Ketua MUI Pusat, Rois Am PBNU dengan segala atribusi dan gelar
kehormatan yang disandang. Dengan hal ini Jokowi seperti sedang berusaha untuk
menggabungkan kekuatan nasionalisme religius sebagai poros dan fondasi untuk
membangun Indonesia sampai 2024 nantinya.
Sementara di Kubu Kiri, Prabowo sebagai petarung lawas
masih terus berambisi untuk mencapai RI 1 dengan berbagai manuver dan
langkah-langkah taktis. Meski hanya berkoalisi dengan empat partai –PAN,
PKS,plus partainya sendiri Gerindra- dengan penuh keyakinan Prabowo terus
melakukan konsolidasi terarah, meski Demokrat sepertinya akan lepas dari poros
yang dia bangun entah kenapa sebab.
Agak lama menunggu pengumuman dari pihak Prabowo soal
deklarasi tadi malam, hal ini mungkin karena perundingan, kontrak dan titipan
atau pertimbang-pertimbangan strategis benar-benar disiapkan, hal ini dilakukan
demi mencapai proyek besarnya “2019GantiPresiden”. Sekitar dua jam
seluruh masyarakat Indonesia yang menonton televisi menunggu dengan penuh
penasaran, siapa gerangan yang akan mendampingi Prabowo sebagai cawapres. UAS
sudah tak bisa diganggu gugat, Anies belum berkenan, AHY sepertinya kurang
tepat. Dan, kalau bukan demi Indonesia, “dinamika ini tak akan terjadi”
begitulah yang mungkin mereka ungkapkan melihat alotnya pertarungan 2019 nanti.
Ada satu hal yang patut kita catat dengan sangat baik dan
hati-hati untuk beberapa waktu ke depan. Bahwa poros ulama sangat mendominasi
dalam proses hitung-hitungan Pilpres nanti. Bayangkan, UAS yang notabene hanya
seorang ustadz –mantan dosen- yang kondang berceramah ke mana-mana harus
ditarik-tarik oleh kubu Prabowo untuk menjadi Cawapres-nya. Dia nyaris tak
memiliki basic atau sekadar pengalaman berurusan dengan Istana Negara. Hari ini
ribuan –atau mungkin jutaan- jama’ahnya mencintai, mengagumi dan terus
merindukan taushiyah-nya. Mereka akan kehilangan figur jika kemudian
Somad bersedia untuk menjadi Cawapres dan terlibat dan politik praktis yang
penuh dengan modus dan interest.
Penarikan koalisi Prabowo terhadap UAS ini tentu setelah
melihat kenyataan kubu kanan yang menggandeng Kiai Ma’ruf Amin sebagai
cawapresnya. Namun sayang, Prabowo seperti termakan oleh permainan yang
menjebak dirinya sendiri. Citra yang selama ini dia bangun, sebagai seorang
negarawan yang sangat berbakti dan mencintai ulama, ternyata krisis dukungan
dari ulama kecuali beberapa orang. Walhasil, pilihan jatuh kepada Sandiaga Uno.
Melihat dari sini, Prabowo seperti sedang bermain-main. Kok?
Siapa Sandiaga Uno, sebagai orang yang agak malas membaca
berita politik atau ulasan yang njelimet, secara pribadi Uno masih
terlalu dini untuk ditarungkan pada pilpres 2019. Wakil Gubernur belum tuntas
ini tak memiliki banyak syarat –di luar kelengkapan
administratif-konstitusional- untuk mendampingi Prabowo menumbangkan kubu kanan
yang terlihat semakin mantap. Belum lagi isu uang “kardus” yang bernilai
miliaran rupiah sebagai mahar dari Sandi agar terpilih sebagai cawapres. Selain
AHY tak terpilih, isu “jenderal kardus” ini menjadi satu sekian alasan kenapa
Demokrat tak tampak sama sekali saat deklarasi tadi malam.
Kita bisa mafhum, kenapa Prabowo tampak kurang digdaya
tadi malam, suaranya bergetar seperti sedang memendam sesuatu yang membuatnya
tak lagi menggelegar. Alasan kuatnya adalah –bisa jadi- karena keterpaksaan
memilih Uno sebagai cawapres karena memang tidak ada alternatif lain.
Alasan selanjutnya –mungkin benar- adalah Prabowo mati
langkah setelah melihat Jokowi menyanding Kiai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Rois
Amm PBNU ini adalah ulama yang sampai sekarang diakui kealiman oleh hampir
seluruh kiai-kiai NU di Indonesia. Tak mungkin membenturkan Kiai ini dengan
isu-isu negatif, kalau tak ingin NU bereaksi keras terhadap siapapun. Anda
masih ingat bagaimana kemudian Ahok harus minta maaf kepada seluruh nahdliyyin
karena berucap kurang sopan terhadap beliau?
Dengan masuknya Kiai Ma’ruf ini, praktis klaim
anti-ulama, anti-Islam, orang PKI, tak jelas agamanya dan lain-lain yang
ditujukan kepada Jokowi sejauh ini seperti tak bakal mempan. Bagaimana tidak,
wakilnya adalah representasi ulama dan Islam, baik secara konstitusional (MUI)
atau kultural (Rois Am)
Singkat cerita, jika Prabowo selama ini menghidupan
gerakan-gerakan seperti GNPF, PA 212, FUI dan organisasi keislaman lainnya
sebagai alat bantu oposisi dan pembangun citra keislaman sejatinya (karena
gerakan-gerakan itu dianggap masih ideal dan belum makan uang negara). Maka
sekarang, nyaris tiada satu ulama pun yang bersedia mendampingi Prabowo.
Alih-alih demikian, UAS yang dibidik kemudian menghindar. Saya tak mengerti,
kenapa bukan Salim Segaf yang dipilih. Mungkinkah karena kasus sebuah “kardus”?
Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Rowahu Ebiet).
Komentar
Posting Komentar