Santri Dalam Kemelut




Beberapa tahun terakhir ini kita melihat bahwa pesantren mengalami berbagai macam pergeseran epistemologi dan tradisi. Setidaknya pergeseran itu tampak sekali pasca kasus al-Maidah 51 pada paruh terakhir 2016 sampai 2017. Pesantren yang awalnya tidak tampil dominan sebagai sebuah objek penting dalam struktur dan budaya politik di negeri ini, sekarang tampak bahwa pesantren memiliki daya yang begitu kuat bagi bangsa dan tentu bagi kekuatan politik tertentu dengan segala interes yang dibawa. Maka kontroversi akan kunjungan Harry Tanoesudibjo ke beberapa pesantren telah merangsang sebagian kalangan untuk mengutuk atau membenarkannya sama sekali. 

Pesantren juga semakin vital kemudian setelah Gerakan Ayo Mondok, Liga Santri dan terakhir lagu Ayo Mondok yang menduplikasi nada lagu yang begitu viral beberapa waktu lalu berjudul Despacito. Pesantren yang awalnya adalah sebuah pemukiman eksklusif dan menjadi sub-kultur bagi masyarakat Indonesia, hari ini mulai bergerak ke jantung dinamika sosial yang terjadi di negeri ini. Posisi pesantren-pun tidak bisa dianggap remeh dengan semakin vitalnya posisi pesantren dengan disahkannya Hari Santri Nasional yang bertepatan dengan 22 Oktober, hari di mana Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’Ari mengeluarkan resolusi Jihad guna membakar semangat para santri agar berjuang demi kedaulatan bangsa. 

Semakin tampak kilap cahaya pesantren hingga menembus berlapis-lapis struktur sosial yang tumpang tindih dan penuh dengan kelabu akhir-akhir ini. Tak lupa, bahwa salah satu realitas sosial yang kemudian banyak meraih sorotan kamera publik adalah kondisi politik akhir-akhir ini. Pertarungan politik nasional sejak naiknya Jokowi ke tampuk kekuasaan tertinggi pada 2014 lalu memang mengundang beberapa goncangan di beberapa lapisan masyarakat yang termakan berbagai propaganda tentang identitas diri Sang Presiden. Klaim tentang PKI, anti-Islam dan kedekatan dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) menjadi sasaran empuk untuk memperburuk citra Presiden ke 7 ini. Pertarungan terus akan berlanjut, bahkan menurut beberapa pengamat sospol, kericuhan dunia politik di negeri ini akan semakin bergolak untuk beberapa tahun ke depan. 

Situasi politik yang sarat motif itu tak lupa mengundang agama untuk menjadi bagian sentral dalam pergolakannya. Isapan jempol jika di masyarakat Indonesia berbicara isu sesentral politik tidak menyertakan agama, apalagi di daerah pedesaan di mana agama adalah bagian paling penting dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sensitifitas agama inilah yang kemudian menjadi instrumen penting guna memenangkan pertarunga politik hari ini atau ke depan. Ketika agama sudah menjadi bagian penting dalam sebuah dinamika, pesantren sebagai basis paling penting keislaman di negeri ini terseret untuk ambil porsi yang cukup dominan dalam derap perubahan kultur dan struktur politik itu.
Bagaimana pesantren masuk dalam ranah politik yang berjubah kelabu ini menjadi perbincangan begitu menarik mengingat pesantren di Indonesia memiliki keragaman dan preferensi tersendiri dalam melakukan interaksi sosial-politik yang berkembang. Ketika isu politik dan agama berbaur menjadi satu, pesantren menerima ujian berat untuk terus konsisten menjadi sub-kultur bagi masyarakat khususnya umat Islam Indonesia. Tentu tak berlebihan jika timbul rekomendasi bahwa santri harus memiliki kepekaan sosial serta kecakapan ilmu yang memiliki korelasi aktif dengan perubahan sosial yang ada di sekitar. Karena sebagaimana lazim dirasakan oleh sebagian besar santri, dunia pesantren yang ketat dengan perbincangan ilmu-ilmu syariat (fiqih) adalah tampilan sebagian dari wajah Islam yang selama ini dikenal. Dunia luar di mana Islam menjadi agama mayoritas yang dipeluk oleh rakyat Indonesia khususnya tidak pernah monolitik dalam sistem interpretasi hingga manifestasinya. Di sinilah letak tantangan itu. 

Nalar keagamaan yang dikembangkan pesantren seringkali bersifat positivistik bahkan dogamtis. Bagaimana pandangan sosial-keagamaan seorang Kiai dikonfirmasi oleh santri dengan semboyan sami’nahu wa ‘atho’nahu harus berhadapan dengan realita sosial keislaman di luar yang bisa tak bisa didamaikan dengan nalar agama positivis apalagi dogmatis. Contoh, ketika isu keislaman dan kebhinekaan diperbincangankan dalam diskursus keindonesiaan yang ketat, posisi Islam sebagai agama yang dipegang dengan begitu kuat di pesantren harus berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama lain, dalam hal ini Islam harus diletakkan dalam altar historis dan realita konkret tentang demokrasi dan Pancasila yang dihayati oleh bangsa ini dari ujung ke ujung. Mampukah santri mendudukkan dua persoalan ini secara proporsional dan mewujudukan dalam kehidupan nyata? 

Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan terakhir di atas sepertinya sulit, mengingat masing-masing pesantren memiliki kecenderungan tersendiri guna mengarahkan santrinya. Namun, kita bisa melihat secara kualitatif pesantren-pesantren yang hari ini bertabur di berbagai daerah khususnya di Pontianak. Tak sedikit dari santri-santri yang terlibat dalam beberapa pekan demo yang digawangi langsung oleh FPI saat isu DKI 1 bergolak, menunjukkan bahwa sebagian dari pesantren bahkan yang berbasis NU masuk ke dalam larutan Islam-Politik yang seharusnya harus didekati dengan nalar kritis agar keduanya bisa jernih dan tak tumpang tindih. Di sini, kita bisa melihat bagaimana pesantren tak mampu menjadi wadah gerakan pemikiran yang seharusnya menjernihkan masalah ini, bukan malah ikut dalam keruhnya kubangan konflik tersebut. 

Lebih jauh, kita juga melihat bagaimana alumni-alumni pesantren yang tak mampu melihat masalah Islam Politik ini dengan pendekatan kritis terjerembab dalam paradigma keislaman yang kaku dan tak dapat berdialog dengan fair dalam rangka mempertemukan dua diskursus kebangsaan yang penting yakni agama dan Pancasila. Ketidakrelaan sebagian dari alumni pesantren bahkan santri aktif terhadap kepemimpinan Ahok di DKI atas landasan beda agama adalah wujud dari penolakan terhadap kesamarataan hak dan kewajiban yang sudah dilindungi oleh negara ini secara resmi. Dari sini kita saksikan bagaimana santri masuk dalam kemelut sosial politik dengan penuh gamang dan tak menyumbangkan apapun selain menyempal pada dasar kepentingan satu arus politik yang sedang berkembang. (MHM)

Komentar