Dunia permusuhan menampilkan sebuah adegan dengan narasi
panjang tiada terputus. Tampaknya ini alasan kenapa para filsuf sulit untuk
tidak mengisi detak waktu dengan kontemplasi dan refleksi kebingunan dan
keceerahan. Permusuhan adalah komponen penting dalam sebuah drama yang membawa
alur cerita dalam sebuah skenario secara keseluruhan. Tanpa adanya permusuhan,
titik klimaks dalam sebuah pot tak akan muncul dan tentu saja sebuah film akan
terasa hambar dan kehilangan estetikanya.
Demikian penting hadirnya musuh dalam tiap detik
kehidupan adalah syarat mutlak dari lahirnya dinamika kehidupan di dunia nyata.
Permusuhan adalah ide awal bagi manusia untuk hidup di dunia ini sejak pertama
kali. Untuk berdamai dengan alam liar, pada zaman dahulu orang-orang pra-sejarah
harus bermusuhan dan mengambil posisi berlawanan dengan “something new”
agar tak mati dimangsa “everything” di luar kendali mereka.
Mungkin sebuah film yang mencuat pada tahun 2013 lalu
berjudul the crood bisa kita jadikan referensi guna mengetahui betapa
buas kehidupan liar telah mengembangkan suatu paradigma baru bagi kehidupan
manusia pada waktu itu yakni “ketakutan adalah alasan kenapa seorang masih
tetap hidup”. Hal inilah yang membuat manusia pra-sejarah menetap di
goa-goa besar dan kecil serta sesekali keluar untuk berebut makanan di tengah
keganasan rimba raya dan cadasnya pegunungan.
Mengambil posisi bermusuhan dengan segala sesuatu yang
bisa memangsa hidup adalah strategi paling kuno manusia untuk bertahan hidup. Dalam
kehidupan modern, paradigma seperti ini tak hilang pula, dengan ketakutan
manusia telah berhasil menaklukan alam raya serta menjadi penguasa tunggal yang
dengan gagah berani memporak-porandakan bumi. Bukankah tindak eksploitasi
berlebihan terhadap sumber daya alam didorong oleh rasa takut akan lapar dan
kemiskinan? Demikian pula tindak kriminal atas nama apapun segalanya
dideterminasi oleh faktor ketakutan tidak mendapatkan.
Ketakutan melahirkan keberanian. Begitukah kesimpulannya?
Manakah yang lebih dahulu antara ketakutan dan keberanian, antara bermusuhan
dan berteman? Masing-masing dari dua terma itu bukanlah sebuah instrumen
filosofis yang darinya manusia bergerak. Tapi, lebih tepatnya masing-masing
adalah paradigma dan nalar yang bergerak di ruang bawah sadar dan membentuk
landasan filosofis serta kerangka epistemologis tentang bagaimana manusia harus
hidup dan cara bertahan di dalamnya.
Ketakutan dan keberanian. Dua hal ini tak terlacak
manakah yang lebih dahulu dimiliki oleh manusia. Tapi skenario tentang cerita
masyahur Adam dan Hawa mungkin bisa membantu menjernihkan. Bahwa ketika Adam
dan Hawa masih berdiam di surga, mereka harus terusir karena terbujuk setan
untuk makan buah Khuldi. Buah yang berkhasiat untuk mengekalkan mereka di dalam
surga yang penuh dengan kedamaian ini, harus mereka konsumsi karena takut kalau
ketenangan mereka (Adam dan Hawa) terusik. Setan sukses mengajak keduanya untuk
melanggar apa yang sebenarnya sudah dilarang oleh Allah Swt jauh-jauh hari
dengan memperkenalkan rasa takut akan ketidakkekalan.
Dari skenario singkat yang direkam dengan jelas di dalam
al-Quran itu, kita bisa melihat betapa rasa takut akan ketidakmemperolehan
segala sesuatu yang dianggap nikmat telah mengantarkan manusia untuk bergerak
sejengkal lebih maju dan terus lebih maju. Ketakutan telah melahirkan
keberanian. Demikianlah realita kehidupan di dunia ini. ketakutan akan segala
sesuatu telah mengantarkan keberanian manusia untuk melabrak segala kemungkinan
yang bisa menghambat keinginan mereka atas nama apapun.
Kembali ke skenario dalam film the crood yang
disinggung di depan, manusia pra-sejarah bergerak setelah terjadi semacam
kiamat kecil yang menghancurkan goa-goa tempat mereka berdiam. Hal ini memaksa
mereka untuk berlari ke daerah-daerah yang lebih terbuka dan mulai hidup
berpindah-pindah untuk bertahan dan menghindar dari marabahaya. Di sini
lagi-lagi kita temukan rasa takut adalah faktor determinatif dalam setiap
perubahan hidup manusia. Darinya keberanian muncul dan mengarahkan langkah
kaki.
Komentar
Posting Komentar