Beberapa waktu lalu saya beroleh pinjaman buku yang kurang
lebih tiga tahun lalu saya “ngidam” untuk membacanya. Sebuah buku kontroversial
dan ditulis dengan penuh kesungguhan dan kecerahan berfikir seorang Habib
dengan kecakapan akademis yang sudah teruji oleh ruang danwaktu, beliau adalah
Prof. Dr. Muhammad Qurasih Shihab, MA.
Buku ini berjudul “Sunnnah – Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah?”. Bukan karena ditulis dengan pemaparan dan analisa yang memukau
khas penulisnya sehingga buku ini menjadi kontroversi, melainkan karena situasi
dan kondisi yang berkembang ketika buku melejit di pasaran. Isu Sunni dan Syiah
pada saat itu adalah gesekan dan kesalingbencian yang berujung pada konflik
silang sengkarut antara dua sekte dalam Islam ini.
Khusus di Indonesia, pertentangan Sunni – Syiah tidak
hanya terjadi dalam ruang akademis yang membicarakan ajaran serta ideologi
masing-masing yang “tampak” banyak sekali perbedaan, melainkan mengalir sampai
kepada tindak laku pemberangusan serta pembantaian yang tak manusiawi oleh mayoritas
Sunni yang mendominasi di lapangan. Sebaliknya oleh mayoritas Syiah di beberapa
titik di mana mereka mayoritas.
Buku ini secara keseluruhan adalah Ikhtiar dari Sang
Habib untuk terus menyuarakkan kedamaian bagi seluruh manusia tanpa memandang
agama atau status apapun yang melekat pada dirinya. Termasuk membangun sebuah
opini mendobrak dalam rangka mendekatkan Syiah dengan Sunnah dalam rangka
mengurangi atau menghentikan sama sekali konflik berkepanjangan antara dua
sekte ini.
Yang membuat buku ini begitu layak dibaca salah satunya
adalah bagaimana pribadi seorang M. Quraish Shihab benar-benar menampilkan
sebuah etika seorang ulama-akademisi yang begitu menawan. Hanya dengan membaca
pengantar dari buku ini, saya –sebagai pembaca- seolah sedang masuk dalam
sebuah lakon pemikiran cerah yang beliau ketengahkan. Dan mungkin karena alasan
inilah tulisan “ecek-ecek” ini saya buat.
Pengantar dalam edisi revisi yang beliau tulis sendiri
dengan bahasa yang memukau dan penuh dengan kerendahdirian ini ditujukan untuk
menanggapi kritik sebuah buku yang ditulis oleh beberapa penulis dari Pesantren
Sidogiri yang isinya ditujukan untuk buku beliau yang berjudul sebagaimana di
atas pada edisi sebelumnya.
Dengan bahasa yang begitu tulus, sopan serta penuh dengan
warna ke-Tawadhu’-an, beliau memberikan “tegur sapa” kepada para santri yang
menulis dalam sebuah buku yang diberi judul “Sunnah-Syiah, Mungkinkah dalam
Ukhuwwah?”. Layaknya seorang yang usianya lebih tua, alih-alih memberikan
sanggahan tajam terhadap sangsi yang ada di dalam buku terbitan Pustaka
Sidogiri Kraton Pasuruan (2007) itu, beliau (Habib Quraish) melangkah lebih
jauh kepada makna penting sebuah persatuan dan objektivitas berfikir serta
tatacara berinteraksi dengan ilmu yang lebih baik juga bagaimana membangun
kerangka dialektis antara ilmu (teoritis) dan amal (praktis) secara berimbang.
Dengan gaya penulisan yang merupakan representasi dari
kejernihan fikiran beliau, kita seperti diajak masuk dalam sebuah alur cerita
dalam sinetron yang membenturkan antara laku protagonis dan antagonis dalam
diskusi kritis buku ini dan secara spontan kita juga akan disuguhkan tampilan
yang sama sekali berbeda, bahwa pertentangan itu (protagonis dan antagonis)
adalah alasan untuk menampilkan keanggunan sebuah dialog dalam skenario ilmu
yang begitu luas di mana kemenangan serta kebenaran akan diperoleh setelah
proses dialog itu selesai.
Pada intinya, dari pengantar atas edisi revisi tulisan
ini, Habib Quraish berupaya menegaskan beberapa hal penting bagi pembacanya
tentang perdamaian serta persatuan yang harus selalu diupayakan oleh manusia
(siapa dan di mana saja) di tengah kondisi umat yang seringkali “bak tercebur
ke dalam lahar panas” dalam menghadapi perbedaan.
Kedua, seorang penuntut ilmu layaknya terus menimba ilmu
dari lautan tak bertepi ilmu Allah seraya terus berpegang pada tepian dermaga,
khawatir jika arus lautan itu akan menjadi hamparan celaka yang akan
menghanyutkannya ke tengah pusaran laut tak berhingga itu. Dengan kata lain,
berpegang teguh secara konsisten pada “maqashid al-Udzma”[1]
ilmu yakni “untuk memperbaiki manusia secara keseluruhan” mengharuskan ilmu
itu berbicara tentang perdamaian, mashlahat, persatuan dan menutup segala
kemungkinan (sadd adz-Dzariah) segala hal yang mampu bisa memecahbelah,
membenturkan serta mengundang mafsadat yang bisa menjerumuskan manusia
ke lembah kecelakaan.
Demikian untuk menjadikan ilmu selalu berada dalam rel
tujuannya, seorang seorang harus berjuang untuk menundukkan subjektifitas dan
mulai menimbang segala konsekuensi yang akan terjadi dalam setiap lontaran ilmu
yang dialirkan kepada umat.
Sekali lagi, tulisan ini bukanlah syarah atas
pemikiran luas yang dicurahkan Habib Quraish dalam bukunya itu, melainkan
sebuah refleksi umum atas etika keilmuan yang saya tangkap dan rasakan dari
kepribadian seorang M. Quraish Shihab dari pengantar bukunya. Semoga Allah
melindunginya dari segala keburukan!.
[1]
Istilah ini saya buat dan digunakan
sendiri untuk memberi istilah pada tujuan ilmu. Jangan disalahgunakan.
Komentar
Posting Komentar