“Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak
ada, minumlah air putih karena ia suci,” (HR At-Tirmidzi).
Hadis di atas
menunjukkan kesunnahan bagi orang yang berpuasa agar berbuka dengan sesuatu
yang manis seperti korma dan lainnya. Selama ini, sudah menjadi tradisi di
tengah kita di mana buah korma menjadi menu ta’jil yang selalu
diutamakan karena adanya hadis sebagaimana disebutkan di atas.
Di Indonesia
sendiri, korma terkadang tidak begitu diminati oleh sebagian orang karena tidak
membuat bugar seorang yang berpuasa dengan seketika. Sebagian orang yang
berpuasa bahkan lebih tergiur dengan panganan khas ramadhan seperti kolak,
cincau, es teler dan lain-lain dari pada korma. Apakah mereka yang mendahulukan
takjilan khas lokal seperti di atas tidak melaksanakan sunnah?
Ada baiknya
dalam memahami hadis di atas kita baca pandangan Imam Mubarokfuri dalam kitab Tuhfatul
Ahwadzi sebagai berikut,
Yang artinya “Disyariatkan
buka puasa dengan kurma karena ia manis. Sesuatu yang manis dapat menguatkan
penglihatan (mata) yang lemah karena puasa. Ini merupakan alasan (‘illat)
yang paling baik. Adapula yang berpendapat bahwa sesuatu yang manis ini sesuai
dengan iman dan melembutkan hati. Apabila ‘illat kesunahan buka puasa dengan
kurma itu karena manisnya dan dapat memberikan dampak positif, maka hukum ini
berlaku untuk semua (makanan dan minuman) yang manis. Demikian menurut pendapat
As-Syaukani dan lainnya.”
Dalam pandangan di atas jelas bahwa kolak, es buah serta
berbagai macam takjil yang mengandung unsur manis dihukumi sunnah layaknya
korma. Karena yang dianjurkan secara umum dalam hadis sebagaimana disebutkan di
muka adalah berbuka dengan sesuatu yang manis. Dan tidak hanya korma yang
memiliki rasa manis, setiap orang memiliki selera tersendiri yang dianggapnya
bisa memberikan rasa manis untuk lidah dan penyegar untuk tenggorokan selama
satu hari.
Komentar
Posting Komentar